Lestarinya Mangrove, Menghidupkan Masyarakat Pesisir Brebes 

Pagi hari itu langit tak bermendung. Matahari mulai terbit mengusir malam yang temaram. Nampaknya dalam udara pagi berhalimun burung – burung camar yang sibuk wara – wari di tepian pesisir pantai utara.

Begitu pula Mashadi (45) yang mulai mengawali hari dengan memeriksa ratusan bibit mangrove di pekarangan rumah miliknya. Sebagian bibit mangrove atau pohon bakau dari jenis api-api atau Avicennia marina dan Rhizophora mucronata nantinya akan dibawa ke kawasan perairan yang berjarak 1 kilometer dari kediamannya.

Kang Hadi, begitulah orang – orang memanggilnya, merupakan salah satu tokoh yang dituakan di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Maklum saja, dia adalah sosok yang mempelopori kegiatan getol menanam pohon mangrove di wilayahnya. 10 tahun sudah upaya serta usahanya dikerjakankan sebagai bagian dari pelestarian lingkungan.

Hadi menuturkan, latar belakang kegiatanya bermula ketika budidaya tambak yang dilakukan masyarakat telah merusak keseimbangan ekosistem. Padahal, tahun  1960 – 1980 silam, lingkungan di desanya masih terawat dan asri.

“Dulu memang masyarakat masih jarang menetap di kawasan ini. Adapun mereka menetap dan kemudian mereka melakukan berbudidaya di tambak. Mengeksplorasi timbulan tanah ataupun bataran Sungai Pemali yang akhirnya dijadikan tempat budidaya perikanan,” katanya yang ditemui pada Kamis (28/09/2016).

Kehidupan masyarakatpun sedikit demi sedikit mengalami perkembangan, kata dia, mata pencaharian mereka mengandalkan dari upaya budidaya ikan, kepiting hingga udang.

Antara 1980 hingga 1995 sambung Hadi, merupakan masa keemasan budidaya udang windu. Memanfaatkan momentum itu, kebanyakan masyarakat terus menggenjot produktivitas daripada budidaya mereka. Alhasil terjadi eksploitasi besar – besaran yang tidak terkendali dan dampaknya ekosistem menjadi terganggu.

“Penggunaan pakan buatan, penggunaan genset sampai alat alat dari pabrik. Itu mereka lakukan dan budidaya yang tadinya memperhatikan pola keberlanjutan. Kemudian pola itu tidak dijalani lagi dan aspek lingkungan kurang diperhatikan,” ungkapnya.

Dia menerangkan pada saat itu hampir tak ada pohon mangrove yang tersisa, karena habis dibabat untuk memperluas kawasan tambak. Saking intensif dan masifnya, budidaya udang windu menyebabkan tanggul tambak tidak bisa dijaga dengan baik hingga kondisinya mulai rentan.

Warga sedang melakukan pengecekan terhadap budidaya kepiting soka Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Karena ekosistem yang terjaga budidaya kepiting bercangkang lembek tersebut menjadi cepat antara 14 - 15 hari. foto : Donny Iqbal
Warga sedang melakukan pengecekan terhadap budidaya kepiting soka Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Karena ekosistem yang terjaga budidaya kepiting bercangkang lembek tersebut menjadi cepat antara 14 – 15 hari. foto : Donny Iqbal

5 tahun berselang kondisi lingkungan sudah tidak seimbang dan mulai terasa terjadinya abrasi. “Sudah 35 tahun sampai sekarang tambak kami sudah kehilangan 1100 hektar,” katanya.

Menurut Hadi, efek dari situasi tersebut juga mengakibatkan luas kawasan desanya yang tadinya terluas se-Kecamatan Brebes, akhirnya menjadi berkurang.

Mulai Menanam

Keresahan akan kondisi alam yang mulai berdampak pada kehidupan masyarakat pula yang mengilhami Hadi untuk melakukan terobosan. Tidak ingin hanya berdiam diri tanpa solusi, akhirnya waktu membawa dia bertemu dengan Rusjan, sesepuh sekaligus mantan kepala desa setempat.

Gagasan yang coba diusulkanya menarik Rusjan untuk berbuat hal yang sama. Lalu keduanya sepakat mendirikan kelompok Mangari sebagai langkah awal dimulainya pelestarian dengan beranggotakan 25 warga.

Tahun 2005 barulah awal dari ikhtiar Hadi menyandarkan masyarakat akan pentingnya peran lingkungan terhadap kehidupan. Penanaman coba dilakukan oleh kelompok Mangari dengan menyasar kawasan pesisir yang rusak.

“Awalnya masyarakat mengganggap bahwa kegiatan kami ini merupakan berbuatan yang aneh dan dianggap gila. Karena menurut masyarakat tindakan kami itu tidak ada gunanya,” ujar dia.

Dia berujar, persepsi yang berkembang di masyarakat waktu itu secara ekonomi tidak ada keuntungan menanam mangrove di tambak atau lahan. Karena memang masyarakat menilai mangrove tidak dapat menghasilkan dan juga tak bisa dimakan.

“Orang yang enggak punya kerja kok laut diurusi. Gila itu,” kata Hadi menceritakan respon masyarakat waktu itu.

Sosok Mashadi (45) merupakan penggiat lingkungan di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Berkat usaha dan kerja kerasnya bersama kelompok Dewi mangrove berhasil memulihkan ekosistem sekaligus menjadikan wilayahnya sebagai desa wisata. Foto : Donny Iqbal
Sosok Mashadi (45) merupakan penggiat lingkungan di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Berkat usaha dan kerja kerasnya bersama kelompok Dewi mangrove berhasil memulihkan ekosistem sekaligus menjadikan wilayahnya sebagai desa wisata. Foto : Donny Iqbal

Dia menuturkan minimnya sarana dan prasana menjadi tantangan tersendiri bagi dia dan kelompok kecilnya. Ketiadaan bibit serta biaya sering kali memicu permasalahan. Belum lagi cemoohan dari masyarakat  begitu deras diterimanya.

Hadi mengakui minimnya pengetahuan dan pengalaman tentang mangrove yang menyebabkan penanaman pertamanya mengalami kegagalan. Dikarenakan pada waktu itu, pihaknya menanam tanpa memperhitungankan waktu dan tidak melihat keadaan cuaca.

“Tahun pertama kami mengalami kegagalan.Kesalahannya bibit mangrove yang kami tanam berhadapan langsung dengan laut. Ditambah lagi pola tanam yang tidak sesuai teknis tetapi malah ditanam secara acak dan sporadis,” terangnya.

Guru terbaik adalah pengalaman, kata dia, bibit mangrove yang ditanam habis tersapu derasnya ombak. Dari sana dia mulai memakai strategi agar kejadian seperti itu tidak terulang kembali.

Kegagalan demi kegagalan dihadapinya. Namun, tidak membuat tekadnya mengendor. Hadi malah tertantang untuk terus berjuang melestarikan lingkungan. Beberapa sumber informasi dicarinya sebagai bahan refensi dan diaplikasikan secara otodidak.

Lambat – laun pemahaman tentang mangrove bertambah. Menurut Hadi, penanaman mangrove idealnya dilakukan satu kali dalam setahun. Waktu yang tepat untuk penanaman antara bulan Oktober sampai Desember. Dia melanjutkan dalam satu tahun pihaknya mampu menanam sekitar 1 hektar dengan jumlah bibit mencapai 1000 batang.

“Kami belajar dari kesalahan.Tahun kedua kami menanam di kakisung (kanan – kiri sungai) dan di tengah bekas tambak yang rusak. Mulai ada peningkatan waku itu,” papar dia.

Tantangan kembali menguji keseriusan Hadi dan rekan – rekan. Jumlah anggota yang tadinya 25 terus berkurang hingga menyisakan 11 orang. Pasca penanaman, Hadi pun kesulitan melakukan pengecekan terhadap perkembangan mangrove. Karena ketiadaan armada menjadi alasan terhambatnya proses tersebut.

Warga sedang memeriksa bibit mangrove yang berusia 1 tahun di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Keberadaan hutan mangrove selain dapat menghambat terjadinya abrasi juga berperan menjaga ekosistem perairan. Foto : Donny Iqbal
Warga sedang memeriksa bibit mangrove yang berusia 1 tahun di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Keberadaan hutan mangrove selain dapat menghambat terjadinya abrasi juga berperan menjaga ekosistem perairan. Foto : Donny Iqbal

Dia mengatakan tidak ada imbalan terhadap apa yang dilakukan. Hanya kadang jika sedang ada rejeki, biasanya diadakan acara makan bersama. Sambung dia konsepnya murni dilakukan sebagai bakti terhadap alam.

Publikasi

Akhir tahun 2008, jerih payah Hadi dan rekan – rekan telah membuahkan hasil cukup lumayan. Setidaknya 3000 bibit mangrove sudah disebarkan di lahan yang mencapai 3 hektar.

Namun, Hadi mulai berpikir untuk meneruskan perjuangan perlu adanya sosialisasi. Langkah tersebut digagas sebagai penyadartahuan terhadap masyarakat betapa pentingnya hutan mangrove. Terutama lanjut dia, ingin menyampaikan pesan tersebut kepada pemerintah agar mendapat dukungan.

“Ide awalnya ingin membuat sebuah rekaman yang bisa meyakinkan masyarakat tentang potret kondisi desa Pandansari,” ucapnya.

Dia menuturkan untuk membuat sebuah film dokumenter masih bingung oleh tidak adanya biaya. Hingga suatu ketika, Hadi mengajak tukang shooting pengantin untuk membantunya membuat film.

Dia mengakali untuk mendapatkan jasa tukang shooting, pihaknya mencari waktu luang untuk mengajak mereka memancing di desanya.

“Kami bilang ke mereka biaya mereka mancing gratis dan makannya kami sediakan. Mereka hanya tinggal bawa kamera dan handycam untuk membuat film. Jadi mereka sambil mancing juga sambil nyoting,” papar Hadi.

Kepiting bakau adalah anggota suku portunidae yang hidup di ekosistem hutan bakau. Kepiting yang mempunyai nilai ekonomis menjadi salah satu unggulan dari Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. foto : Donny Iqbal
Kepiting bakau adalah anggota suku portunidae yang hidup di ekosistem hutan bakau. Kepiting yang mempunyai nilai ekonomis menjadi salah satu unggulan dari Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. foto : Donny Iqbal

Akhirnya, dalam jangka waktu kurang satu bulan film tentang potret desa Pandansari pun selesai. Dengan durasi kurang lebih satu jam dua belas menit. Semua keadaan sosial, ekonomi hingga keadaan alam sudah terdokumentasikan.

“Kegiatannya 4 kali dalam satu bulan dan akhirnya jadi. Uniknya yang tadinya kami harus membayar Rp1,5 juta malah hanya digantikan uang copy film saja sebanyak 25 keping senilai Rp250 ribu. Mungkin karena mereka sadar akan pentingnya menjaga alam,” imbuhnya.

Setelah film tersebut jadi, Hadi dan rekan – rekan mulai “ngamen” mempromosikan hasil karyanya. Dia beranggapan bahwa prestasi tanpa promosi akan menjadi basi, maka dari itu pihaknya memutarkan film perdananya saat perayaan 17 Agustusan di desanya.

Dampak Positif

Promosinya pun kian gencar dilakukan hingga ke luar daerah. Pada saat itu pihaknya di undang ke acara Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) di Yogyakarta.

Hadi mengatakan dirinya yang juga masuk struktural IPPHTI mencoba mempromosikan kepada berbagai lembaga yang hadir. Dan banyak yang merespon atas kerja kerasnya, salah satunya Yayasan Konservasi Kenanekaragamaan Hayati Indonesia (Kehati).

“Pada acara 2008 itu saya bawa 15 keping CD film, kemudian saya bagikan.Kemudian saya bertemu dengan Kehati dan terus melakukan komunikasi untuk mengembangkan kegiatan konservasi mangrove,” kata dia.

Ditahun yang sama, kata Hadi, pihaknya mendapat bantuan dana sebesar Rp75 juta sekaligus resmi menjadi mitra Kehati bersama Bumi Karsa Bidakarsa Grup dan SMA Citra Buana Jakarta. Lewat kerja sama yang terjalin dari tahun ke tahun proses rehabilitasi mangrove di pesisir Desa Pandansari mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

“Sampai sekarang kami sudah menanam  sekitar 3,3 juta pohon mangrove di 210 hektare pesisir pantai. Dan ada 35 hektar tambak yang terlindungi dari abrasi,” ungkap Hadi.

Dampak penanam mangrove, kata dia, sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.Seiring kian lentarinya hutan mangrove, ekosistem yang dulunya rusak kini mulai tumbuh kembali. Berkat hijaunya hutan mangrove, biota laut yang hilang pun kembali dan menghuni perairan di desa Pandansari.

Hadi berujar, karena ekosistem yang mulai pulih, hasil budidaya maupun melaut telah mendongkrak perekonomian masyarakat. Bagi para nelayan yang menggunakan mesin tidak lagi melaut terlalu jauh sehingga bisa menghemat biaya operasional sedangkan bagi nelayan tradisional penghasilnya bisa mencapai 2 kali lipat.

Sebuah perahu di perairan Brebes, Jawa Tengah dengan latar belakang Gunung Slamet. foto : Donny Iqbal
Sebuah perahu di perairan Brebes, Jawa Tengah dengan latar belakang Gunung Slamet. foto : Donny Iqbal

Dia menerangkan pentingnya mangrove sudah mulai dipahami oleh masyarakat.Terbukti dengan terbitnya peraturan desa (Perdes) yang melarang penebangan pohon mangrove. Mereka, lanjut dia, membentuk satgas jaga sebagai upaya perlindungan kawasan serta mensosialisasikan agar tidak merusak mangrove.

“Pekerjaan di lingkungan itu adalah pekerjaan tiada tepi tiada akhir.Perlu orang – orang yang lahir dari bapak keikhlasan dan ibu ketulusan.Terkadang untuk menjaga lingkungan perlu jadigila, gila disini gerakan insan lestarikan alam,” kata Hadi ketika menutup perbincangan dengan Mongabay di Desa Pandansari yang berjarak 30 menit dari pusat Kota Brebes.

“Kedepan cita – cita kami ingin mengembangkan desa kami menjadi kawasan ekowisata mangrove. Ingin mengenalkan ke dunia luar bahwa Brebes punya hutan mangrove yang lestari. Walaupun masalah sampah masih menjadi kendala di pesisir pantai, yang jumlahnya berton – ton dalam sehari yang terbawa aliran Sungai Pemali,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,