Liputan Gili Matra : Ancaman Pariwisata Massal terhadap Lingkungan Gili Matra (Bagian 2)  

Sejak 2011, Pemerintah Indonesia menjadikan Lombok dan Gili Matra (Gili Meno, Gili Ayer dan Gili Trawangan) sebagai salah satu dari dua Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) di Nusa Tenggara Barat.

Kawasan Gili Matra sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada 2009.

Tulisan kedua ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang meliput ke Gili Matra. Liputan untuk melihat dampak pariwisata terhadap kawasan koonservasi Gili Matra.

***

Gili Trawangan masih sepi ketika Salim, 60 tahun, tiba di pulau ini sekitar 35 tahun lalu. Belum banyak penduduk di pulau seluas 340 hektar ini. Penduduk yang tinggal di pulau hanya ratusan di sisi timur pulau.

Waktu itu Salim datang bersama 25 orang dari Lombok Utara, berjarak sekitar 30 menit dengan perahu mesin. Mereka kemudian menetap di Gili Trawangan bekerja seperti penduduk lain sebagai nelayan dan petani. Jagung dan singkong menjadi komoditas utama sekaligus sebagai makanan utama.

Beras harus beli dari luar pulau, terutama Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bagi Salim dan warga lainnya, itu bukan hal mudah. Selain karena susahnya transportasi ke Lombok juga karena tidak ada uang. “Sakitnya dulu kita di sini tidak ada makanan. Kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak. Makan sekali saja sudah syukur,” katanya.

Setelah 35 tahun berselang, Gili Trawangan kini berubah melampaui apa yang dulu pernah Salim bayangkan. Dari semula menjadi nelayan dan petani, sebagian besar penduduk kini bergantung pada pariwisata. Begitu pula Salim. Setelah berjualan es di Pelabuhan Gili Trawangan, kini dia mengelola kios kecil di sisi utara pulau.

Ribuan turis yang berkunjung tiap hari mendatangkan rezeki bagi warga pulau ini. Turis-turis itu pula yang membuat pembangunan Gili Trawangan berkembang pesat.

(Baca : Ancaman Pariwisata Massal terhadap Lingkungan Gili Matra, Bagian 1 )

Tapi tak hanya pembangunan yang melesat, harga tanah di pulau ini pun demikian. Saat ini, harga tanah mencapai Rp300 juta per are. Padahal, saat Salim baru tiba, harga tanah hanya Rp150 ribu per hektar.

Meroketnya harga tanah di Gili Trawangan terjadi bersamaan dengan kian populernya pulau ini sebagai tempat pariwisata. Setelah sebelumnya dikenal hanya sebagai sarang nyamuk dan tempat pembuangan narapidana, Gili Trawangan lalu menjelma menjadi pulau favorit bagi para pelancong.

Tanah menjadi komoditas paling mahal di Gili Trawangan. Bersamaan dengan itu, sejumlah konflik tanah pun muncul. Salim mengingat pernah terjadi tiga kali bentrok antara tentara dan polisi dengan warga setempat akibat konflik tanah.

Maraknya jual beli tanah di Gili, NTB mengakibatkan harga tanah makin-mahal. Foto : Anton Muhajir
Maraknya jual beli tanah di Gili, NTB mengakibatkan harga tanah makin-mahal. Foto : Anton Muhajir

Menurut website UtaraKita, penggusuran terhadap warga lokal di Gili Trawangan pernah terjadi pada 1992, 1993, dan 1995. Penggusuran tersebut buntut dari konflik puluhan tahun antara warga lokal dengan pemerintah dan investor.

Konflik antara warga dengan pemerintah dan investor terjadi antara lain melawan PT Generasi Jaya dan PT Rinjani Tambora terkait kepemilikan 100 hektar lahan. Konflik ini terjadi sejak 1983 setelah warga mengajukan hak guna usaha atas tanah telantar yang tidak dikelola kedua perusahaan di bidang perkebunan tersebut. Sengketa ini tak berakhir dengan jelas sampai saat ini.

Pada 1988 muncul pula sengketa dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) yang ingin membangun hotel namun kemudian batal. Tanah telantar kemudian digunakan warga hingga saat ini. Konflik tanah lain yang kemudian muncul juga terjadi dengan PT Wanawisata Alam Hayati yang juga menelantarkan tanahnya dan kemudian diklaim sebagai milik warga.

Warga yang menggunakan lahan telantar itu untuk membangun rumah, hotel, ataupun restoran. Hingga saat ini, sengketa tanah masih menjadi masalah bagi sebagian warga di Gili Trawangan, bahkan bagi Kepala Dusun Gili Trawangan, Lukman, sekali pun. Dia kini tinggal di tanah yang dulunya merupakan wilayah milik PT GTI.

Carut Marut

Konflik tanah hanya salah satu dari masalah sosial dan lingkungan di Gili Trawangan. Dalam pengelolaan tata ruang, hal itu pun terjadi.

Peta zonasi Gili Matra di Gili Trawangan. Foto : Anton Muhajir
Peta zonasi Gili Matra di Gili Trawangan. Foto : Anton Muhajir

Kawasan tiga pulau yang masuk Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara ini sebenarnya telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Wisata Perairan (KKPN TWP) Gili Matra. Kawasan konservasi Gili Matra seluas 2.954 hektar dengan 665 hektar di antaranya wilayah darat. Selebihnya perairan laut.

Penetapan kawasan Gili Matra sebagai kawasan konservasi sudah dilakukan sejak 1993. Setelah sempat berganti-ganti, dasar hukum terakhir penetapan Gili Matra sebagai KKPN adalah Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) No. Kep.67/MEN/2009. Berdasarkan SK tersebut, pengelolaan TWP dilaksanakan oleh Direktur Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) yang menugaskan UPT Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang sebagai Unit Pelaksana Teknis yang bertanggung jawab di lapangan.

Pihak UPT BKKPN Kupang Wilayah Kerja Gili Matra sendiri tak bisa dihubungi untuk wawancara terkait bagaimana pengelolaan wilayah ini, setelah Mongabay berkali-kali mencoba menghubungi.

Sebagai wilayah konservasi, TWP Gili Matra memiliki penataan tata ruang, termasuk zonasi. Pembagian zonasi meliputi Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Perikanan Berkelanjutan Non-Karang, Zona Perlindungan, Zona Rehabilitasi, dan Zona Pelabuhan. Untuk wilayah pemanfaatan itu antara lain untuk kegiatan pariwisata.

Pembangunan salah satu kafe di tepi pantai Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir
Pembangunan salah satu kafe di tepi pantai Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

Di tingkat lapangan, zonasi itu menjadi panduan termasuk bagi para penyedia layanan menyelam (dive operator) ataupun pemandu snorkeling.

“Secara teori sudah baik. Masyarakat jadi lebih tahu. Tidak sembarangan. Mana yang bisa untuk nelayan mana untuk wisata,” kata Lukman, Kepala Dusun Gili Trawangan.

Namun, Lukman menambahkan, dalam praktiknya banyak kendala terutama di biaya operasional. “Praktiknya kurang maksimal. Secara kasat mata memang masih bagus tapi sebenarnya makin banyak yang rusak karena kegiatan pariwisata, pembuangan jangkar yang sembarangan, maupun arus,” ujarnya.

Kurang berjalannya tata ruang di Gili Matra juga terlihat secara kasat mata dari acak adutnya penataan kawasan pantai. Menurut peraturan, sebenarnya kawasan di pantai tidak boleh ada bangunan permanen. Kenyataannya, bangunan-bangunan permanen terutama kafe, restoran dan toko terus tumbuh di sisi timur pantai.

Berdasarkan pendataan oleh pemerintah Dusun Gili Trawangan, saat ini ada sekitar 150 bangunan yang tidak memiliki izin di sepanjang pantai. Menurut Lukman mereka tak punya dasar hukum untuk menggunakan lahan pantai tersebut. “Tidak ada dasar hukumnya. Mereka menggunakan tempat itu karena mereka punya modal besar saja,” ujarnya.

Lukman mengatakan pengaturan penggunaan pantai sebenarnya sudah ada sejak dulu. Tapi, tidak ada yang melaksanakan. “Kita sebenarnya ingin ada juga penataan. Perlu ada pengawasan tata ruang agar lebih tertata,” katanya.

Kerusakan pantai dengan bangunan yang berada di pantai Gili Trawangan. Foto : Anton Muhajir
Kerusakan pantai dengan bangunan yang berada di pantai Gili Trawangan. Foto : Anton Muhajir

Samba Villa termasuk salah satu fasilitas pariwisata yang menggunakan pantai untuk restorannya. Di sisi utara pantai Gili Trawangan ini mereka punya restoran yang persis berada di pinggir pantai. Bangunan lain berderet-deret di sekitarnya.

Mazhar, Manajer Samba Villa and Restaurant, mengatakan pembangunan di pantai sebenarnya memang tak boleh. Mereka juga sudah mendapatkan peringatan. Tapi, seperti juga ratusan usaha lain di sepanjang pantai tersebut, mereka masih tetap menggunakan kawasan tersebut.

“Kalau digusur akan banyak PHK (pemutusan hubungan kerja). Akan banyak pengangguran. Kami misalnya punya 50-an staf. Kalau ini digusur, mau kerja di mana,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,