Mongabay Travel: Kenangan Tak Terlupakan di Pulo Aceh

Pulo Aceh yang merupakan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, letaknya ada di ujung barat Indonesia. Kecamatan ini terdiri dari 17 desa yang merupakan gugusan dari 10 pulau. Namun, hanya Pulau Breuh dan Pulau Nasi saja yang ditempati masyarakat, sekitar 5.000 jiwa. Dari pelabuhan nelayan Lampulo, Banda Aceh, perjalanan dapat ditempuh sekitar 90 menit.

Di Pulo Aceh terdapat wisata Pantai Nipah, Pantai Deumit, Pantai Deudap, Pantai Alue Reuyeng, dan sejumlah pantai alami lainnya. Di sini, pantai terjaga rapi. Tidak ada pondok untuk berteduh atau tempat untuk memesan makan minum. Jika ada yang datang, hanya wisatawan atau masyarakat yang ingin memancing saja.

“Di sini, ikan sangat banyak dan terumbu karangnya sehat. Masyarakat tidak diizinkan menggunakan alat yang dapat merusak seperti bom atau racun. Kami hanya menggunakan jaring atau pancing,” tutur Munzir, warga Pulo Aceh, awal Oktober 2016.

Perjalanan menuju Polu Aceh melalui jalur laut sekitar 90 menit. Foto: Junaidi Hanafiah
Perjalanan menuju Polu Aceh melalui jalur laut sekitar 90 menit. Foto: Junaidi Hanafiah

Munzir mengatakan, nelayan atau masyarakat setempat tidak boleh menangkap ikan-ikan kecil yang bermain di karang. Sehingga saat menyelam, pengunjung dapat melihat jelas berbagai jenis ikan berenang. “Saran saya, kalau memancing, baiknya bertanya dulu kepada masyarakat setempat. Karena, pada waktu tertentu ikan akan dengan mudahnya didapat.”

Rinaldi, warga Banda Aceh yang sudah beberapa kali berkunjung ke Pulo Aceh mengatakan, ada 21 tempat snorkeling mengagumkan di wilayah ini. “Pulau Breuh dan Pulau Nasi sangat terpelihara lautnya.”

Menyeberang ke Pulo Aceh, pengunjung hanya membayar biaya kapal Rp20.000 per orang. “Jika membawa sepeda motor, wisatawan dikenakan tambahan Rp35.000 untuk ongkos menaikkan dan menurunkan motor,” ujar Alek, nakhoda kapal.

Indahnya Pulau Breuh di sore hari. Foto: Junaidi Hanafiah
Indahnya Pulau Breuh di sore hari. Foto: Junaidi Hanafiah

Mercusuar

Di Pulau Breuh, pengunjung tidak hanya dimanjakan indahnya hamparan pantai dan deburan ombak serta penampakan menggoda matahari tenggelam. Di sini, berdiri tegak Mercusuar William’s Torren setinggi 85 meter yang dibangun Belanda pada 1875.

Mercusuar ini di tepi tebing Desa Meulingge, tujuan awalnya untuk persiapan pembangunan Pelabuhan Sabang. Kembaran mercusuar ini ada di Kepuluan Karibia yang melegenda berkat film “Pirates of the Caribbean” yang dibintangi Johnny Deep atau lebih dikenal Jack Sparrow.

Nama William’s Torren diambil dari nama Raja Luxemburg, Willem Alexander Paul Frederich Lodewijk. Pada masa itu, ia dikenal sebagai raja yang ikut membangun perekonomian dan infrastruktur kekuasaan Hindia Belanda. Meski umur mercusuar sudah 139 tahun, pengunjung masih bisa menapaki setiap sudut bangunan bergaya eropa tersebut. Bangunannya kokoh dan digunakan sebagai petunjuk kapal yang melewati Samudera Hindia.

Mercusuar William’s Torren setinggi 85 meter yang dibangun Belanda pada 1875. Foto: Junaidi Hanafiah
Mercusuar William’s Torren setinggi 85 meter yang dibangun Belanda pada 1875. Foto: Junaidi Hanafiah

Tokoh masyarakat Desa Meulingge, Mustafa menyebutkan, pembangunan menara dilakukan setelah Belanda menyatakan perang dengan Kerajaan Aceh. “Masyarakat lokal dipaksa menjadi budak untuk membangun menara yang kami sebut lampu ini. Banyak yang meninggal. Namun, yang memilukan adalah setelah bangunan rampung, Belanda menamainya dari salah seorang nama raja mereka.”

Mustafa menceritakan, kedalaman pondasi menara tersebut, sama dengan ketinggiannya, sekitar 85 meter. Pondasinya yang begitu kokoh, tidak membuatnya bergeming saat gempa 9,0 SR mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004 silam. “Tebal dindingnya satu meter lebih, saat kita dipuncak, menara tidak goyang sedikit jua. Pengunjung akan terkagum melihat Samudera Hindia dan Selat Malaka, serta indahnya Pulau Aceh dengan pasir putih saat berada di puncak.”

Menurut Mustafa, sekitar 100 meter dari mercusuar pernah ada ada pelabuhan yang dibangun Belanda. Tapi, karena tidak terawat dan dihantam tsunami, pelabuhan itu hancur. Selain penuntun kapal, komplek mercusuar yang luasnya sekitar lima hektare ini dulunya juga sebagai benteng tentara Belanda. Banyak terdapat pos penjagaan yang jaraknya sekitar 500 meter dari bangunan utama. Kompleks ini dilengkapai asrama yang lengkap dengan ruang pesta.

Pemandangan lepas yang terlihat jelas dari puncak Mercusuar William’s Torren. Foto: Junaidi Hanafiah
Pemandangan lepas yang terlihat jelas dari puncak Mercusuar William’s Torren. Foto: Junaidi Hanafiah

Maslan Putar Putar, petugas yang dikirim Distrik Navigasi Sabang untuk menjaga lampu tetap menyala di malam hari menjelaskan, mercusuar ini dikelola Kementerian Perhubungan.

Saat awal mercusuar dibangun, lampu penerangnya berbentuk kristal yang beratnya sekitar tiga ton. Kaca lampunya setebal lebih lima sentimeter. Meskipun masih bisa digerakkan, namun, saat ini sudah tidak bisa menyala. “Sekarang, lampu yang lebih kecil digunakan sebagai pengganti lampu kristal yang sudah tidak berfungsi,” ujar lelaki yang sudah 20 tahun menjaga menara ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,