Seorang pemilik akun facebook berinisial CL mengunggah foto kuskus di grup “Informasi Jual Beli Anjing Ras/ Kampung Manado dan Sekitarnya”, Sabtu (08/10/2016). Dalam keterangan foto, CL menyatakan hendak menjual satwa liar yang baru dibelinya tersebut. Niat itu muncul karena dia mengaku tidak mengetahui bahwa kuskus merupakan jenis dilindungi.
Ketidaktahuan itu dijelaskan CL ketika dikonfirmasi Mongabay Indonesia, Sabtu (08/10/2016). “Belum tahu. Yang baru saya tahu (satwa dilindungi) hanya tarsius, anoa, yaki dan maleo. Kalau saya tahu, tidak mungkin saya beli, apalagi saya upload,” terangnya.
Dia mengatakan, kuskus itu dibeli dari seorang rekannya. Awalnya, ia berencana memelihara satwa tersebut, namun karena CL memiliki anak yang alergi ketika berinteraksi dengan kuskus itu, maka ia kembali ingin menjualnya.
“Ceritanya, kan saya juga baru beli tadi siang itu hewan kuskusnya. Saya beli dengan harga Rp500 ribu. Rencananya mau dipelihara karena lucu. Tapi, saya tidak tahu kalau hewan tersebut dilindungi, karena belum dapat sosialisasi atau mungkin karena saya kurang pengetahuan,” ujar CL.
“Rencananya mau dipelihara. Tapi karena anak saya alergi pas kontak dengan hewan tersebut makanya saya masukkan ke grup, tanya berapa harga kalau dijual untuk mengembalikan uang saya. Kalau saya tahu hewan tersebut dilindungi, tidak mungkin saya membeli dan menjual hewan tersebut,” demikian dia menyesali perbuatannya.
Setelah mengetahui bahwa kuskus merupakan jenis satwa dilindungi, ia urung memperdagangkan dan menyatakan hendak melepasliarkan satwa tersebut. “Atau, mungkin, saya akan kembalikan hewan tersebut pada pemilik sebelumnya, agar saya juga tidak dirugikan dalam hal ini,” terang CL.
Sebelumnya, dalam foto itu, CL memberi keterangan “Kuse (kuskus): Bole mo laku berapa ini kang?”. Namun, tak lama setelah diunggah, foto tersebut sudah dihapus dari grup.
Haruskah Pemilik Satwa Divonis Hukum?
Kuskus yang diunggah pemilik akun berinisial CL itu adalah jenis Ailurops ursinus atau Sulawesi bear cuscus (kuskus beruang Sulawesi). Oleh IUCN Red List, satwa ini dikategorikan rentan (vulnerable). Dalam lampiran PP 7/1999, nama Ailurops ursinus memang tidak tercantum. Dalam lampiran PP tersebut, jenis yang dilindungi disebut sebagai Phalanger Spp (semua jenis dari genus Phalanger).
Namun, dijelaskan Simon Purser, Advisor Program Satwa Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Ailurops termasuk dalam keluarga Phalanger. Sehingga, semua kuskus di Indonesia yang lebih dari 18 jenis termasuk dalam daftar dilindungi.
Menurut Simon, pelaku perdagangan satwa perlu ditindak tegas. Pendekatan edukatif dirasa hanya tepat dalam kasus dijadikannya satwa dilindungi sebagai peliharaan. Sebab, tambahnya, pendekatan edukatif dalam kasus perdagangan satwa memliki tingkat efektifitas yang berbeda-beda.
“Ada cara yang berhasil pada satu orang, namun gagal pada orang yang lain. Tergantung rasa kepedulian mereka,” demikian dijelaskan Simon. “Dilindungi atau tidak, perburuan satwa liar dari hutan untuk diperdagangkan, sulit mengetahui kejujuran pelaku.”
Senada dikatakan John Tasirin, pakar biodiversitas Universitas Sam Ratulangi. Dia menilai, pelaku perdagangan satwa dilindungi bisa segera ditindak aparat kepolisian. Terkait rencana pelepasliaran, dia menyatakan, proses itu memiliki prosedur semisal kemampuan satwa kembali hidup liar serta ada-tidaknya penyakit yang bisa membahayakan populasi di alam.
“Untuk yang bersangkutan, diserahkan pada kepolisian. Bisa saja setelah diinterogasi, dan mungkin dipenjara, diminta untuk tanda tangan surat pernyataan untuk tidak akan berbuat (memperdagangkan satwa dilindungi) lagi,” terangnya.
Meski demikian, John Tasirin menyatakan, Undang-Undang juga mengatur pemanfaatan tradisional oleh penduduk lokal. Sehingga, untuk kasus konsumsi tradisional bisa menggunakan pendekatan persuasif.
“Jika sudah mengandung unsur komersial, maka tindakan hukum sesuai arahan UU,” kata dia.
Di lain pihak, Hendrieks Rundengan, Kasubag Tata Usaha BKSDA Sulawesi Utara menyatakan, pendekatan persuasif masih bisa digunakan untuk menangani kasus ini. Syaratnya, pelaku harus mau menyerahkan satwa tersebut ke pihak BKSDA untuk direhabilitasi, sebelum dilepas-liarkan.
“Kalau boleh difasilitasi untuk pemilik bisa menyerahkan secara resmi kepada KSDA dan nanti akan diteruskan ke PPST,” ujar Hendrieks. “Menurut saya, perlu pendekatan dulu. Tapi kalau tidak mau, terpaksa akan kami serahkan ke penyidik untuk menyelesaikannya.”
Kemungkinan penggunaan pendekatan persuasif, dijelaskannya, sesuai pengalaman menangani beberapa kasus serupa. Karenanya, dia menyarankan CL segera menyerahkan kuskus beruang Sulawesi tersebut.
“Secepatnya. Kalau perlu penyerahannya dilakukan di kantor (BKSDA) dan disaksikan oleh media. Sehingga bisa terpublikasi dan bisa dilihat oleh masyarakat yang lain. Terakhir, kami terima macaca dari balai budaya dan diliput wartawan.”
Jika pelaku menolak, masih dikatakan Hendrieks, maka pihaknya akan meneruskan kasus ini ke penyidik. Sebab, perbuatan tersebut dinilai melanggar UU nomor 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Satwa tersebut jika di alam, merupakan obyek wisata bagi wisatawan asing, contohnya di Taman Wisata Alam Batuputih, Bitung. Karena menjadi obyek wisata, bisa meningkatkan pendapatan masyarakat dan Negara juga,” pungkas dia.