Teruskan Tradisi, Inilah Sisilia Sii Penenun yang Masih Gunakan Pewarna Alami untuk Kain Ikatnya

Tenun ikat bagi warga masayarakat di pulau Flores maupun NTT merupakan sebuah kearifan lokal warisan leluhur. Hampir setiap kabupaten memiliki motif dan corak tenun ikat masing-masing. Bahkan dalam satu kabupaten setiap wilayah juga memiliki motif sendiri.

Adapun Ndona, nama sebuah tempat di Kabupaten Ende yang sejak dulu terkenal dengan kerajinan tenun ikatnya. Sentra tenun tumbuh subur di wilayah ini, dimana orang berlomba-lomba menghasilkan karya untuk dijual.

Sisilia Sii (75) nama itu tidak asing bagi pencinta tenun ikat di Ende. Saat dijumpai  Mongabay-Indonesia, tangannya masih lincah mengikat motif di benang. Di usia senjanya, matanya pun masih awas memperhatikan jari jemarinya melilit tali dari daun gewang pada benang membentuk motif.

Sebagai seorang penenun senior, ketekunan Sisilia selama bertahun-tahun telah didokumentasikan oleh Roy W. Hamilton peneliti asal Amerika Serikat yang melakukan penelitian tentang tenun ikat tradisional.

Selama tiga tahun di Flores, telah terbit bukunya yang berjudul “Gift of The Cotton Maiden, Textile of Flores and the Solor Islands“ dan “Weavers Stories from Island Southeasth Asia“ bagi Fowler Museum of  Cultural  History, University of California Los Angeles.

Bahkan konon, sebuah kain ikat bertuliskan namanya saat ini terpampang di sebuah museum seni di Paris, Perancis.

Sisilia belajar menenun dari sang ibu dan pertama menenun sendiri tahun 1959. Sejak itu, saban hari kerjanya hanya menenun saja. Tak heran, dirinya merupakan salah satu penenun senior yang menguasai dan mahir menenun motif apapun sesuai pesanan pembeli.

“Untuk permintaan khusus, saya dapat menenun sebuah kain selama setahun lebih. Memang sulit karena harus sesuai permintaan sehingga kain tenunnya dikerjakan dengan tingkat ketelitian tinggi,” sebutnya

Warga desa Manulondo saat ini setiap harinya dibantu anak perempuan sulungnya bernama Gresiana Wani (46) yang tinggal seatap dengannya di rumah sederhana berdinding bambu belah. Gresiana juga yang diwariskan Sisilia cara pembuatan kain tenun.

 

Benang berwarna merah yang sedang dijemur, setelah dicelupkan untuk mendapat pewarna alami. Foto: Ebed de Rosary
Benang berwarna merah yang sedang dijemur setelah dicelupkan untuk mendapat pewarna alami. Foto: Ebed de Rosary

Pewarna Alami

Dalam membuat kain tenun, Sisilia menggunakan bahan pewarna alami. Menurutnya dengan pewarna alami, jika tambah lama disimpan, warnanya akan semakin baik.

Adapun pewarnanya tetap menggunakan bahan dari alam sama seperti yang dilakukan leluhurnya dahulu. Untuk menghasilkan selembar kain, bila memakai pewarna alami bisa butuh waktu satu tahun.

“Saat ini sudah tidak ada yang menanam kapas sehingga benangnya kami beli di toko yang berwarna putih lalu kami warnai sendiri dengan bahan dari alam,” tutur Sisilia.

Menurutnya Sisilia, beberapa penenun lainnya sudah mulai enggan menggunakan pewarna alami, karena waktunya yang lama, dan lebih memilih cara praktis yaitu langsung menggunakan kain yang sudah berwarna dari pabrik.

Adapun tahapan pembuatannya hampir sama dengan di beberapa wilayah di Flores dimana dimulai dengan pete atau ikat guna menentukan jenis motif yang akan ditenun. Benang diikat dengan tali gebang (sejenis lontar) sesuai dengan jenis motif untuk mendapatkan warna putih.

Sesudahnya dilakukan dengan mencelup benang untuk mendapatkan warna dasar (biru). Bahan dasar yang digunakan adalah daun nila (tarum) untuk mendapatkan warna dasar biru atau hitam.

“Daun tarum ini direndam dulu dua malam untuk memisahkan ampasnya  baru dicampur dengan kapur sirih, diaduk lalu benangnya dicelup dan direndam. Benang tersebut biasanya direndam selama 3 hari baru dijemur di bawah cahaya matahari.”

Selanjutnya, kain yang sudah kering dicelup memakai minyak kemiri yang berasal dari perasan kemiri yang sudah ditumbuk halus. Proses berikutnya menghasilkan warna merah.

Abu dapur dicampur dengan air sebanyak dua gayung diaduk lalu ditiriskan. Tirisan abu dapur ini dicampur segelas minyak kemiri lalu dimasukan juga daun pacar, daun akar kuning, sirih pinang, lombok dan garam.

Sesudahnya akar pohon mengkudu ditumbuk hingga halus dan diperas airnya. Air ini pun dicampur dengan minyak berwarna merah yang sudah dibuat sebelumnya dan diletakan di dalam periuk tanah. Setelah itu benang dicelup dan direndam selama kurang lebih seminggu baru dijemur.

“Selama direndam kain harus diaduk supaya warnanya benar-benar merata. Bila warnanya belum merah maka prosesnya harus diulang lagi. Benang yang telah diwarnai ini dijemur di bawah cahaya matahari hingga benar-benar kering dan biasanya  selama 10 hari sampai 2 minggu lamanya.”

Setelah kering, benang tadi dicelup kembali dan dijemur, begitu seterusnya hingga sampai 8 kali celup agar warnanya tidak luntur atau cepat pudar. Sesudahnya benang yang sudah berwarna tadi disimpan 2 sampai 3 bulan baru ditenun.

Menurut Sisilia setiap harinya dia melakoni rangkaian proses menenun mulai jam 7 pagi hingga jam 5 sore dengan rehat 1,5 jam untuk sarapan dan makan siang.

Sisilia Sii sedang mengikat motif pada kain tenun sebelum dicelup untuk diberi warna. Foto: Ebed de Rosary
Sisilia Sii sedang mengikat motif pada kain tenun sebelum dicelup untuk diberi warna. Foto: Ebed de Rosary

Saat ditanya berapa harga jual kain tenunnya. Sisilia menyebutkan,

“Saya tetap menjualnya dengan harga yang wajar. Kain tenun saya dibeli saja sudah merupakan sebuah kebanggaan bagi saya. Pak Roy (Roy W. Hamilton, red) menyarankan karena proses pembuatannya rumit dan lama, jangan jual kain dengan harga terlalu murah.”

Umumnya, selembar kain tenun dijual seharga 1 sampai 3 juta rupiah serta selendang seharga 5 juta rupiah. Ukuran untuk orang asing biasanya panjang kain tenunnya 2 meter dengan lebar 50 sentimeter. Permintaan khusus terkait motif dan tulisan pun dilayani setelah harga khusus disepakati.

Motif Warisan

Seorang tokoh budaya Ndona, Jailani Aksa menjelaskan, motif tenun ikat Lio sebenarnya menceritakan segala bentuk kehidupan masyarakat yang diturunkan melalui cerita lisan secara turun-temurun.

Ada motif Nggaja, Semba, Pea, Jara, Soke, Soke Mataria dan Soke Mataloo.

Motif nggaja atau gajah mendeskripsikan tentang kehidupan para Dewa India Malaka yang datang ke Ende, dimana nggaja merupakan kendaraan para Dewa untuk bepergian. Sama dengan jenis motif jara atau kuda dimana para dewa sering menggunakan dua jenis hewan ini.

Semba adalah selendang kebesaran para Mosalaki dan Ria Bewa (para tetua adat) yang dipakai pada upacara adat dan pembuatannya pun cukup rumit karena persyaratannya banyak.

Semba terdiri dari 2 lembar yang dijahit menjadi satu lembar selendang semba dimana posisi motifnya saling berhubungan.

Sementara pea, terdiri dari dua jenis yakni pea biasa dan pea kanga karena terdapat penambahan motif kanga atau jari pada bagian tengah motif. Ada yang mengatakan bahwa nama sarung ini diambil dari nama si pembuat pertama motif sarung ini yaitu Ine Pea.

Ada pula yang mengatakan pea adalah pi’a atau dipotong pada motif lawo pea sehingga arti dari nama sarung tersebut adalah dipotong. Bisanya sarungnya berwarna dasar hitam.

Motif jara, bentuk motifnya yaitu jara atau kuda yang juga diantara kuda ditambahkan motif mata saliwu. Sarung ini digunakan oleh kaum wanita pada saat acara keluarga dan acara keagamaan dimana cara memakainya harus sesuai dengan motif kuda berdiri sehingga tidak terbalik

“Sedangkan soke mata ria adalah motif daun sukun yang besar sementara soke mataloo daun sukun kecil. Kedua sarung ini biasanya dipakai pada acara keluarga dan acara adat baik yang resmi maupun tidak resmi,” jelas Aksa.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,