Presiden Joko Widodo mengatakan, kegiatan perikanan ilegal, tak terlapor dan tak teregulasi (illegal, unreported, and unregulated fishing) merupakan kejahatan transnasional berdampak buruk luar biasa. Dampak negatif, tak terbatas pada industri perikanan, juga masalah lingkungan. Dalam beberapa tahun ini, Indonesia menerapkan hukuman tegas bagi kejahatan perikanan, seperti penenggelaman kapal. Hasilnya, mulai terlihat, eksploitasi ikan menurun dan pasokan meningkat.
“Lautan kita menutupi 71% permukaan bumi terancam dengan adanya praktik IUU fishing,” katanya dalam pembukaan Simposium Internasional Kejahatan Perikanan (International Symposium on Fisheries Crime) II di Yogyakarta.
Simposium selama dua hari (10-11 Oktober) ini diikuti sekitar 250 pakar, akademisi, penegak hukum, pejabat pemerintah, dan pembuat kebijakan dari 45 negara.
Laut, kata Presiden, sumber pendapatan bagi 520 juta penduduk dunia, dan sumber pangan bagi 2,6 miliar orang. Praktik illegal fishing mengurangi stok ikan dunia 90,1%. Illegal fishing juga terkait kejahatan lain, seperti penyelundupan barang dan manusia, buruh ilegal, narkoba, dan pelanggaran peraturan perlindungan alam.
“IUU fishing berkembang menjadi kejahatan transnasional serius dan terorganisir,” katanya.
Presiden pun membeberkan sejumlah data. Pada 2014, menurut FAO, Indonesia di peringkat kedua produsen terbesar ikan laut dunia dengan tangkapan 6 juta ton atau setara 6,8% total produksi dunia untuk ikan laut.
“Kita yakin, angka-angka itu masih di bawah potensi maksimal Indonesia, karena masih ada praktik IUU fishing.”
Illegal fishing, katanya, mengakibatkan kerugian ekonomi Indonesia US$20 miliar pertahun dan mengancam 65% terumbu karang.
Sejak tindakan tegas melawan IUU fishing dalam dua tahun terakhir, termasuk penenggelaman 236 kapal pencuri ikan, hasil mulai terlihat.
Eksploitasi ikan di Indonesia, kata Jokowi, turun 30-35%. Stok ikan nasional naik dari 7,3 juta ton pada 2013 menjadi 9,9 juta ton 2015. Dari Januari-Juni 2016, ekspor produk perikanan Indonesia naik 7,34% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Presiden mengajak peserta simposium bekerja sama mencari solusi berkelanjutan, merencanakan aksi, menghadaopi IUU fishing. Tak hanya aspek penindakan, peraturan, juga teknologi.
Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutan mengatakan, agar menggalakkan perang kejahatan perikanan laut. Gilirannya, perlu dukungan tata kelola kelautan lebih terkoordinasi, baik kelembagaan maupun peraturan.
Jika memerangi kejahatan kehutanan dan pembanguan infrastruktur kelautan ditingkatkan, keselamatan dan keamanan lautpun akan meningkat. “Tak akan terjadi penyanderaan awak kapal oleh perompak di laut Indonesia.”
Presiden Joko Widodo, bersama Ibu Negara, sebelum pembukaan simposium. Foto: Nuswantoro
Kejahatan kemanusiaan
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti mengatakan, dari evaluasi dan analisa tangkapan 1.132 kapal asing mendapatkan gambaran, bahwa illegal fishing bukan sekadar kejahatan perikanan, juga kemanusiaan.
“Di situ juga terjadi human trafficking dan perbudakan. Juga terjadi drug smuggling dan arm smuggling. Drug smuggling merusak generasi muda yang akan melemahkan masa depan bangsa Indonesia,” katanya.
Menurut Susi, mereka juga berdagang satwa langka. Kejahatan perikanan, katanya, juga mengakibatkan negara rugi triliunan rupiah dari minyak yang mereka pakai untuk menangkap ikan ilegal.
“Masih ada pencucian uang, pidana korupsi, merusak tatanan good governance yang harus dilakukan negara menuju kemakmuran,” ujar dia.
Indonesia, katanya, mendorong kejahatan perikanan sebagai kejahatan lintas negara yang terorganisir. Sebab, hasil evaluasi KKP selama penegakan hukum perikanan, anak buah kapal (ABK) pencuri ikan dari berbagai negara. Kapal-kapal yang dipakai, katanya, memiliki persediaan bendera dari berbagai negara.
“Jadi bila disetujui United Nations Office on Drugs and Crime jadi kejahatan internasional terorganisir. Kami yakin pengakuan ini akan mempermudah kerjasama antar negara memberantas kejahatan perikanan,” ucap Susi.
Dia berharap, simposium ini menjadi salah satu wadah kerjasama antarnegara menjaga laut dunia dan Indonesia tetap sehat dan bermanfaat bagi masyarakat.
“Ini langkah menegakkan hukum bersama, karena pelaku illegal fishing ada di seluruh dunia. Kalau, tak ada kerjasama susah,” katanya.
Simposium pertama tahun lalu di Cape Town, Afrika Selatan, diikuti 198 peserta dari 31 negara. Kedua di Yogyakarta, peserta meningkat. Kegiatan ini kerjasama antara pemerintah Indonesia, pemerintah Norwegia, UNODC, dan Nelson Mandela Metropolitan University.