Upaya Markus Hayon Hijaukan Kawasan Sekitar Mata Air, Untuk Selamatkan Tiga Desa dari Kekeringan

Perjalanan siang itu menuju mata air Wai Keloba dengan berjalan kaki sungguh menyejukkan mata. Melewati rumpun bambu dan rimbunan pohon mahoni dan jati yang tinggi. Tempat ini sungguh asri, namun siapa sangka dahulunya tempat ini tidak terlihat seperti ini. Kering kerontang.

Adalah seorang Markus Hayon (38), warga desa lokal yang memulihkan debit air Wai Keloba. Bersama Damianus, saudaranya, selama 18 tahun ini, mereka menanami sekitar enam ribu pohon jati dan tiga ribu pohon dan kemiri. Belum termasuk pisang yang sudah dapat dinikmati hasilnya.

Markus pun senang pohon yang dia tanam, sekarang kayunya dapat dipergunakan berbagai kepentingan, termasuk fasilitas umum, seperti kantor desa dan rumah ibadah.

Krisis sumber air terjadi di Tanah Tukan, dimulai sejak gempa tahun 1985. Debit mata air di sebelah bawah pegunungan Kewali Kelewo ini menurun drastis dari sekitar 100 liter/detik hanya tinggal dua liter/detik saja. Kondisi ini tentunya mengancam kehidupan sekitar dua ribuan warga di tiga desa: Tana Tukan, Wotan Ulumado dan Samasoge di Kecamatan Wotan Ulumado, Kabupaten Flores Timur.

Adapun kerabat Markus, Damianus Pelada yang membuka inspirasinya. Damianus menyebutkan saat dirinya di Kupang dia melihat padang belantara yang ada di daerah tersebut ditanami aneka pepohonan dan tidak dibiarkan terlantar, meski menjadi area penggembalaan ternak.

“Saat saya pulang saya coba-coba tanam pohon di padang dan setelah 2 tahun berhasil saya mengajaknya bersama untuk menanam di padang luas yang dibiarkan terlantar ini,” ungkap Damianus kepada Mongabay Indonesia.

Dua kerabat ini pun mulai menanam di padang belantara di bagian bawah mata air; yang membentang sejak kaki bukit di dekat pantai hingga bukit tandus di atas jalan raya yang berjarak sekitar 3 kilometer dari mata air.

Pembibitan pun mereka lakukan di rumah dengan polybag. Setelah bibit setinggi sekitar 50 sentimeter baru ditanam di padang pada lubang sedalam 30 sentimeter.

Pada mulanya, bibit diperoleh Markus dari Dinas Kehutanan Flores Timur seharga 500 rupiah per polybagnya.

Apa yang dilakukan oleh Markus dan saudaranya ini, awalnya dianggap aneh oleh sebagian besar orang. Bahkan warga desa pun menganggapnya tidak waras sebab uang hasil usaha mengojeknya banyak dibelikannya polybag hanya untuk hijaukan padang belantara yang selalu dibakar.

Bagi sebagian masyarakat di Flores Timur, sejak turun temurun, padang rumput (bahasa lokal: nepa) sepanjang Desa Samasoge hingga tanah Tukan kerap dibakar sehingga hanya ditumbuhi rerumputan dan terlantar. Begitupun kawasan di pegunungan Kewali Kelewo yang gersang.

Markus Hayon (kanan) bersama Damianus Pelada. Dua bersaudara yang hijaukan kawasan Way Keloba. Foto: Ebed de Rosary
Markus Hayon (kanan) bersama Damianus Pelada. Dua bersaudara yang hijaukan kawasan Wai Keloba. Foto: Ebed de Rosary

Peralatan Dibakar Orang dan Hingga Tanaman Dimakan Kambing

Walau bekerja secara sukarela tanpa ada kepentingan apapun Markus kerap mendapat tantangan. Masih banyak warga masyarakat yang saban tahun membakar padang secara sengaja, pun masih ada masyarakat yang menebang kayu di sekitar mata air.

Markus bahkan cuma bisa mengelus dada dan merasa miris. Pernah tahun 2003, 16 buah drum plastiknya yang dibeli secara swadaya 175 ribu per buah, hangus terbakar. Padahal drum-drum ini berfungsi untuk menampung air hujan dan digunakannya untuk menyirami tanaman.

Namun demikian Markus tidak patah arang. Kehilangan drum plastik diakalinya dengan mengumpulkan botol-botol plastik air mineral yang didapatnya di kota Larantuka.

“Bersama pak Damianus kami targetkan minimal setahun harus tanam lima ratus pohon, tapi biasanya sampai seribu pohon jati. Kami juga sudah tanam seribu pohon mahoni di sekitar mata air,” ucap Markus.

Selain membakar lahan, banyaknya hewan ternak yang dilepas juga menjadi masalah. Masyarakat masih beranggapan lahan tersebut merupakan padang ternak bersama. Inilah yang membuat penanaman yang dilakukan oleh Markus di tiga tahun awalnya berkiprah menjumpai kegagalan.

Memasuki tahun ke empat dan kelima, Markus pun mengubah strategi. Dia memilih jati lokal yang tidak disukai oleh kambing. Menurutnya, keuntungan lain dari tanaman jati, yaitu setelah besar tanaman ini masih dapat tumbuh kembali saat padang dibakar sekalipun.

Padang di perbukitan yang dulunya gersang sudah dipenuhi pohon jati. Foto: Ebed de Rosary
Padang di perbukitan yang dulunya gersang sudah dipenuhi pohon jati. Foto: Ebed de Rosary

Rangkul Tetua Adat

Dari hasil kerja kerasnya, Markus lalu terpilih menjadi Kepala Desa pada tahun 2013. Hal pertama yang dia lakukan adalah merangkul para tetua adat untuk melakukan gerakan penghijauan. Dia pun membuat aturan desa untuk melarang penebangan dalam radius tiga kilometer dari mata air. Adapun yang melanggar akan kena sanksi adat.

“Saya hidupkan kembali ritual adat. Awalnya itu tiga tahun sekali, saya minta ke tetua agar dilaksanakan setiap tahun dan mereka setuju. Lalu, hutan adat yang awalnya hanya sekitar mata air, saya minta diperluas sehingga masyarakat tidak berani lagi menebang pohon sembarangan di dalam kawasan itu,” tutur Markus.

Lelaki yang cuma mengenyam pendidikan hingga formal kelas 1 SMP ini pun mengakui sejak diadakannya penghijauan, debit mata air meningkat drastis. Bahkan, saat banyak masyarakat yang membuat bak penampung air dan memasang pipa baru, debit air tetap stabil dan mengalir deras.

Kedepannya, Markus berencana untuk membangun bak penampung di tiap dusun, agar air dapat dipergunakan untuk menyiram tanaman kebun sayuran di rumah warga. Satu pemikiran yang sekarang sedang dia galakkan.

Di tengah kesibukannya sebagai Kepala Desa, Markus tetap setia menanam. Dia mengaku akan terus menghijaukan semua padang belantara dan tanah ulayat adat yang tidak digarap, jika perlu hingga ke desa tetangga bila diijinkan.

“Dari segi ekonomi saat pohon sudah berumur 4 sampai 5 tahun dahannya bisa kita bisa pakai untuk kayu bakar, tapi yang terpenting bisa menyelamatkan mata air sehingga debitnya jangan lagi berkurang,” jelasnya.

“Kalau debit terus menurun, jangankan menyelamatkan anak cucu, kita saja kalau sudah tua pasti alami krisis air. Jangan sampai anak cucu kita hidupnya nanti mengalami kemenderitaan,” tutup Markus menjelaskan dasar pemikirannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,