Bangun Kesepahaman Bersama, Kejahatan Perikanan Itu Terorganisir dan Lintas Negara

“Selamat jalan, semoga tiba sampai di rumah dengan selamat. Jangan lupakan kejahatan perikanan. Kita masih harus berjuang melawannya.”

Begitu pesan itu Susi Pudjianstuti, Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pidato penutupan simposium internasional kejahatan perikanan II di Yogyakarta, Selasa (11/10/16). Sebanyak 46 negara termasuk Indonesia, dari lima benua, dengan peserta sekitar 250 orang mengikuti simposium ini.

Data FAO menyebutkan, perkiraan kasar tangkapan hasil laut dari praktik illegal fishing di seluruh dunia 11-26 juta ton setiap tahun, dengan kerugian US$10-23 miliar. Data World Wild Fund (WWF), illegal fishing seluruh dunia merugikan US$23,5 miliar per tahun.

Simposium ini bertujuan menyatukan langkah kerjasama antarnegara dalam memerangi kejahatan perikanan. Juga mendorong pemahaman kejahatan perikanan sebagai kejahatan transnasional.

“Pesan sudah disampaikan, kita akan melawan bersama-sama. Dengan menempatkan kejahatan perikanan sebagai kejahatan transnasional,” kata Susi.

Dia mencatat, simposium berhasil membangun kesadaran bersama negara-negara peserta, bahwa kejahatan perikanan merupakan kejahatan terorganisir lintas negara.

“Kejahatan perikanan ini bukan kejahatan biasa. Sangat serius, sangat kompleks. Ia merugikan lingkungan, ekonomi, dan mengancam kedaulatan serta pembangunan manusia dari sebuah negara,” katanya usai simposium.

Dia tak menampik kemungkinan masih ada oknum pejabat terlibat hingga kejahatan perikanan masih berlangsung.

“Kalau kita bilang tidak, ya namanya kita mengingkari, atau bohong. Masih ada. Tak mungkin kapal ikan dari negara lain masuk ke satu negara tanpa ada kerjasama dengan pebisnis, tokoh masyarakat, orang yang punya pengaruh, misal pejabat, atau bekas pejabat, bekas aparat. Pasti,” katanya.

 

 

Melawan balik

Sebelumnya, Susi mengatakan, ruang gerak pelaku kejahatan perikanan makin sempit. Meskipun begitu, para pelaku berusaha memanfaatkan celah untuk kembali.

“Tantangan bagi Indonesia, kapal penangkap ikan asing telah pergi. Hampir 99,9%. Masih ada beberapa dari negara tetangga, tetapi tak sebesar sebelumnya,” katanya.

Walau begitu, mereka sekarang menargetkan masuk melalui pemain lokal, yang sesungguhnya kepanjangan tangan mereka. “Sekarang mereka berupaya mendekati semua pintu untuk kembali melakukan illegal fishing di negara ini,” katanya.

Mereka juga mengembangkan opini bahwa perang melawan illegal fishing merugikan industri perikanan.

“Ini tak benar. Karena produktivitas industri perikanan meningkat. Ini tantangan yang saya hadapi sekarang.”

Selain menggunakan data ekonomi sumir, pelaku illegal fishing juga memanfaatkan media untuk menggerakkan opini menyerang perbaikan tata kelola perikanan Indonesia.

Menurut Susi, ada sebagian industri perikanan rugi dampak gerakan melawan kejahatan perikanan. Dalam jangka panjang, produktivitas perikanan bakal naik dan akhirnya mendukung industri perikanan secara keseluruhan.

Kegeraman Susi terhadap kejahatan perikanan cukup beralasan. Kejahatan ini merusak tata kelola laut, mengancam kesejahteraan, dan menyebabkan lingkungan dan keragaman hayati rusak.

sap hitam mengepul di langit Tanjung Balai karena empat kapal pukat trawl yang dibakar nelayan trandisional. Nelayan kesal, alat tangkap dilarang tetapi marak dan tak ada tindakan apa-apa dari aparat. Foto: Ayat S Karokaro
sap hitam mengepul di langit Tanjung Balai karena empat kapal pukat trawl yang dibakar nelayan trandisional. Nelayan kesal, alat tangkap dilarang tetapi marak dan tak ada tindakan apa-apa dari aparat. Foto: Ayat S Karokaro

Beberapa temuan, illegal fishing terkait perdagangan satwa langka. Mereka mengambil satwa langka dari Papua New Guinea, Papua, Timor, Maluku seperti kakak tua, dan cendrawasih. Begitupun dengan penyelundupan narkoba diperkirakan 80-90% melewati laut, pakai kapal-kapal illegal fishing.

“Mereka datang ke perairan dengan penjagaan lemah. Ke Afrika, Pasifik, Indonesia, Amerika Selatan. Ke negara-negara yang tak punya kemampuan mengawasi laut.”

“Kewarganegaraan bisa berubah enam hingga tujuh kebangsaan. Bahkan ada kapal yang kita tangkap memiliki 32 bendera di kamarnya. Mereka bisa mengubah setiap saat, di setiap negara. Awak kapal bisa dari lima negara,” katanya.

“Ini bukan hanya soal ikan, bukan hanya soal Indonesia. Ini berdampak ke banyak negara, mereka belum punya kapasitas untuk perang seperti yang telah dilakukan Indonesia. Kini setelah simposium Indonesia menjadi terbuka kepada dunia,” ucap Susi.

Indonesia, ingin berbagi pengalaman dengan negara lain, tentang keberhasilan melawan kejahatan perikanan. Tak ada negara yang berhasil melawan sendirian.

Dukungan Kapolri

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, juga hadir dalam konferensi pers mendukung langkah memerangi pencurian ikan, terutama dalam waktu dua tahun terakhir.

“Indonesia negara kepulauan terbesar. Penegakan hukum menjadi isu penting meningkatkan kesejahteraan, juga melindungi alam, dan menjaga potensi produk industri perikanan,” katanya.

“Polri bekerja sama Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, Angkatan Laut, dan Satgas 115.”

Berdasarkan Perpres Nomor 115 tahun 2015, telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal.

Satgas bertugas mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam pemberantasan penangkapan ikan ilegal.

Satgas bisa memanfaakan personil dan peralatan operasi, seperti kapal, pesawat udara, dan teknologi lain yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Badan Keamanan Laut, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PT Pertamina, dan institusi terkait lain.

Komandan satgas adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, sebagai kepala pelaksana harian Wakil Kepala Staf TNI AL.

“Satgas ini amat dikenal di Indonesia,” kata Tito.

“Kadang penenggelaman kapal menimbulkan pro kontra. Di dalam negeri langkah ini mendapat dukungan positif,” katanya.

Dia setuju memasukkan kejahatan perikanan sebagai kejahatan besar. “Skala persoalan bukan hanya nasional, tetapi internasional. Kejahatan perikanan harus dilihat sebagai kejahatan transnasional sama serius seperti terorisme, penyelundupan manusia, dan narkoba.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,