Soal Moratorium Sawit, Begini Perkembangannya…

Sejak April lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan, akan menghentikan sementara (moratorium) izin sawit dan batubara.  Urusan sawit dikerjakan terlebih dahulu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bikin evaluasi perizinan sampai draf aturan. Awalnya, kementerian ini menargetkan aturan moratorium rampung Juni, mundur Agustus 2016. Tampak tarik menarik antarkementerian. Alhasil, hingga kini, aturan moratorium sawit belum kunjung terbit.

Bahkan, ada kabar, kebijakan yang akan muncul dalam bentuk Instruksi Presiden ini bakal molor sampai awal 2017. “Kabarnya akan keluar awal 2017. Kami harap segera dan tak hanya berbentuk Inpres namun Peraturan Presiden,” kata Jefri Gideon Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch, akhir pekan lalu.

Dalam draf Inpres Moratorium, terdapat beberapa instruksi langsung kepada delapan menteri, satu kepala bagian, dua kepala badan, gubernur dan bupati. Beberapa  hal diatur dalam Inpres, seperti soal evaluasi perizinan, penundaan pemberian hak guna usaha (HGU), pemberdayaan petani, proses hilirisasi produk sawit dan persoalan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Perjalanan panjang beleid ini karena tarik-menarik kepentingan ekonomi. Sawit dianggap salah satu komoditi unggulan Indonesia di dunia Internasional yang tak jarang menyisakan kepedihan bagi lingkungan dan masyarakat. Sayangnya, soal konflik sosial, katanya,  belum masuk dalam draf aturan itu.

“Kita dapat edaran draf terkait moratorium sawit  namun belum ada nomornya,” katanya kepada Mongabay melalui saluran telepon.

Sejauh ini, dia baru diajak diskusi dan memberikan masukan secara informal. Dalam rancangan aturan itu, pertama, moratorium di kawasan hutan, khusus hutan produksi dan lindung.

Kedua, lahan kritis atau tak produktif di wilayah hutan boleh  dikelola. Untuk perkebunan sawit di kawasan hutan akan diambil alih pemerintah.

Jefri menyayangkan, aturan ini hanya mengakomodir pemasalahan sawit di hutan. ”Evaluasi dan audit perizinan harus menyeluruh. Data kami ada 18 juta hektar sawit perlu dievaluasi,” katanya.

Pemerintah, katanya,  sebagai regulator perlu menindak tegas pelanggaran. “Bila kita mengingat kebakaran hutan dan lahan, itu sebuah instropeksi bagi Indonesia. Sawit-sawit yang berada di gambut, khusus gambut dalam perlu dihentikan. Apalagi mereka dalam skala besar,” katanya.

Senada dikatakan Maryo, Kepala Kampanye  Sawit Watch.  Seharusnya, katanya, tak perlu ada pengecualian dalam moratorium.

“Jika mau moratorium sawit, itu menyeluruh, tak hanya di wilayah produktif juga tak produktif. Momentum ini harusnya menjadi ajang berbenah,” kata Maryo.

Zenzi Suhadi, Juru Kampanye Walhi Nasional menyebutkan, proses panjang karena ada kompromisitas antara pemerintah dengan para pengusaha sawit terutama tekait substansi yang khawatir akan mengganggu aktivitas usaha.

“Harusnya pemerintah membuka pintu berimbang atas tekanan kepentingan ini dengan duduk bersama dengan organisasi masyarakat sipil,” katanya.

Menurut dia, ada empat hal penting perlu diperhatikan dalam pembuatan regulasi ini. Pertama, implementasi proses penertiban izin, terutama yang dikeluarkan kepala daerah. Percepatam izin dimungkinkan terjadi masif seiring proses pilkada. “Ini salah satu yang menjadi katalisator.”

Kedua, substansi harus bersifat mutlak. Artinya, tak ada perluasan izin baru, peningkatan status izin dan pengampunan izin bagi pelaku yang melanggar. Moratorium, katanya, harus mengakomodir tak hanya di kawasan hutan, juga alokasi penggunaan lain (APL)  dan kawasan yang dilindungi masyarakat.

“Penolakan dari pelepasan kawasan menurut KLHK hanya 900.000an hektar (948.418,79 hektar, red.), sedangkan kelompok pengusaha sawit ada 4 juta hektar,” katanya. Angka positif KLHK ini, diharapkan tak menutupi selisih 3,1 juta hektar yang belum dilihat.

Ketiga, terkait strategi. Kelompok pengusaha berusaha ambil bagian dalam perumusan regulasi. Tujuannya,  agar tak menjadi penghalang mereka.

Kebun sawit dibangun diduga di kawasan hutan dan di gambut dalam dengan pengusaha sebagai 'aktor bapak angkat'. Apakah praktik-praktik macam ini bisa tertangani dengan moratorium sawit?
Kebun sawit dibangun diduga di kawasan hutan dan di gambut dalam dengan pengusaha sebagai ‘aktor bapak angkat’. Apakah praktik-praktik macam ini bisa tertangani dengan moratorium sawit?

Dia berharap, di tengah proses kental tekanan pengusaha ini, pemerintah tetap bikin regulasi serius untuk fungsi pengawasan, pengendalian dan penghentian kejahatan lingkungan hidup.

”Pengusaha berupaya menyamarkan kejahatan lingkungan hidup dan hutan dengan intervensi substansi dalam regulasi.”

 

 

 

Tak selesaikan persoalan sawit

Pemerintah, katanya,  sedang bikin program reforma agraria. Dia berharap, momen moratorium dan reforma agraria ini bisa menyentuh penyelesaian konflik lahan di perkebunan sawit.

“Jadi tak hanya bergelut perizinan, juga konflik sekitar konsesi.”

Dia bilang, Inpres Moratorium bukan barang baru. Untuk itu, penting reforma agraria masuk dalam bagian itu hingga jadi kebijakan yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat.

Bahkan, katanya, kalau perlu ada badan khusus reforma agraria guna mensukseskan pembangunan jangka menengah dan menyelesaikan .

Maryo, Kepala Kampanye  Sawit Watch, dalam rilis media menyatakan, sejak awal Presiden menyampaikan akan moratorium izin sawit. “Kami sangat setuju dan mendukung rencana ini. Yang menjadi catatan kami setelah mendapatkan draf instruksi, hanya fokus persoalan lingkungan, masalah sosial tak jadi sorotan,” katanya.

Sawit Watch mencatat, lebih 700 kasus dalam empat tahun terakhir terjadi di perkebunan sawit. “Seharusnya ini jadi perhatian pemerintah untuk menyelesaikan.”

Selain itu, kata Jefri, mandat Badan Restorasi Gambut, merestorasi pasca kebakaran 2015. “Mereka (pemerintah, red.) lupa memasukkan BRG. Padahal badan ini harusnya bersinergi dengan beleid moratorium sawit itu,” ucap Jefri.

Seharusnya, melalui aturan ini pemerintah mendorong penguatan BRG terutama dalam penindakan hukum. Badan ini,  menjadi garda terdepan dalam penyelesaian sawit di gambut. ”Inipun menjadi evaluasi seberapa besar kita membutuhkan luasan untuk menanam sawit.”

Indonesia pun perlu berkaca bahwa sawit tak hanya di negeri ini. Beberapa negara Asia mulai menanam hingga pasokan dan permintaan dalam negeri perlu diperhatikan. Secara ekonomi, menanam sawit di lahan gambut tak akan produktif dan biaya lebih tinggi.

Jadi, Indonesia perlu menyikapi persaingan dengan peningkatan sektor hilir.

Saat dikonfirmasi kepada Menteri LHK, Siti Nurbaya, mengatakan, draf moratorium sawit di tangan Kementerian Perekonomian. Dia tak tahu kapan keluar.

Sepanjang jalan dari Mamuju hingga Mamuju Utara, yang berjarak sekitar 280 km, pemandangan alam didominasi perkebunan sawit. Sawah, gunung dan sekitar pantai beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Wahyu Chandra
Sepanjang jalan dari Mamuju hingga Mamuju Utara, yang berjarak sekitar 280 km, pemandangan alam didominasi perkebunan sawit. Sawah, gunung dan sekitar pantai beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Wahyu Chandra

 

 

Kata pakar

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodiharjo melihat ada satu kelemahan mendasar terkait moratoriun sawit.

“Kelemahan moratorium ini, selalu yang diisukan terhentinya proses perizinan. Semestinya tema moratorium memberikan waktu tertentu membenahi sesuatu. Setelah itu dibenahi kemudian dibolehkan lagi,” kata pakar kebijakan dan tata kelola kehutanan dan sumber daya alam ini, pekan lalu.

Dia mengatakan, ide Presiden mengeluarkan moratorium karena alasan kerusakan lingkungan hidup sangat relevan. Namun , pandangan berbeda menyatakan moratorium dapat menghambat investasi.  “Nggak nyambung.”

Moratorium, katanya, penting dalam konteks pembenahan, supaya investasi sawit tetap berkembang tanpa konflik. “Lambatnya ini (keluar aturan) karena perdebatan nggak nyambung,” ujar dia.

Agenda moratorium yang perlu dibenahi,  menurut Hariadi, terutama skema perizinan, dan implikasi pengembangan sawit, yang kerap menimbullkan konflik dengan warga serta menjadikan masyarakat sipil sebagai korban.

“Ada persoalan sosial politik. Perusahaan punya kewajiban seperti bayar pajak dan pengembangan berkaitan dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Persoalan ini tak bisa selesai menurut hukum saja, tapi non litigasi,” katanya.

 

 

 

Ketimpangan agraria

Moratorium sawit saat ini jadi urgen karena penguasaan lahan semakin timpang dan memunculkan konflik agraria dimana-mana.

Menurut Ahli Kebijakan Pertanian dan Pangan, Dwi Andreas Santosa, meskipun saat ini pertanian menjadi penyedia lapangan pekerjaan terbesar dan penyumbang kedua terbesar produk domestik bruto (PDB)– atau nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi suatu negara–, namun kondisi petani makin terpuruk.

“Kebijakan pembangunan pertanian bias pemodal,” katanya.

Saat ini, hanya 0,2% penduduk menguasai aset nasional, sebagian besar berupa tanah. Lahan pertanian pangan menghidupi 91,9 juta jiwa hanya bertambah 2,96% selama 25 tahun terakhir (1986-2012). Sedangkan lahan perkebunan, dimiliki sedikit orang, bertambah 144%.

Ketimpangan penguasaan tanah terjadi antara rumah tangga tani (RTT). Menurut data BPS 2013,  hanya 12,4% petani menguasai 49,7% tanah pertanian dengan luas lebih dua hektar. Sebaliknya, 56% petani punya 13,3% tanah pertanian luas rata-rata 0,5 hektar. “Kesejahteraan petani juga terus merosot.”

Rata-rata pendapatan RTT hanya Rp1.030.000 perbulan, lebih rendah dari upah minimum provinsi terendah di Indonesia. Tercatat Agustus 2016, dari 28,5% penduduk miskin Indonesia, sebanyak 63,08% petani atau masyarakat tinggal di pedesaan.

Pada periode 2003-2013, sekitar lima juta keluarga tani terpaksa keluar dari dunia pertanian dan beralih ke sektor informal atau jadi bagian miskin masyarakat kota.

Usaha pertanian pun makin tak menarik. Petani berumur diatas 50 tahun lebih banyak (60,8%), petani muda atau kurang 35 tahun hanya 12,9%.

Lahan petani Sogo, yang mengalami turun produktivitas dan lahan warga makin terdesak kala sawit datang. Foto: Elviza Diana
Lahan petani Sogo, yang mengalami turun produktivitas dan lahan warga makin terdesak kala sawit datang. Foto: Elviza Diana

 

Apa dampaknya?

Ahli kebijakan agraria dan pertanahan Budi Mulyanto mengatakan,  apa yang disebut ketimpangan agraria akibat tata kelola daerah yang amburadul, mengancam penyediaan pangan dan keberlanjutan pertanian Indonesia.

Hingga Agustus 2016 ada 27 Perda Penataan Ruang di 33 provinsi di Indonesia. “Kenyataan lapangan menunjukkan tak ada hubungan antara keberadaan perda dengan banyaknya konflik penggunaan hutan dan lahan,” katanya.

Dalam 15 tahun terakhir, perkembangan industri ekstraktif seperti tambang dan sawit telah mengurangi fungsi kawasan hutan negara, menghilangkan lahan pertanian tanaman pangan produktif secara signifikan.

“Secara nasional, kawasan hutan yang menjadi migas 15.000 hektar dan tambang sampai 23 juta hektar. Itu berarti ancaman bagi pertanian tanaman pangan, bukan hanya karena lahan berkurang tapi pasokan air juga makin menyusut.”

Apakah ini yang menyebabkan banyak bencana alam? Khusus Pulau Jawa, katanya,  dengan frekuensi bencana tertinggi di Indonesia, salah satu karena daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah melampau batas.

Menurut kajian IPB, ada 122 Perda yang justru mendukung eksploitasi oleh industri ekstraktif di Jawa.

“Kemendagri sejauh ini hanya mencabut perda yang membebani investasi untuk kegiatan ekonomi, namun tak mencabut perda perusak lingkungan hidup,” ucap Dwi.

Solusi?

Ketiga Guru Besar IPB ini tengah menyusun buku bertajuk Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia: Integrasi Kebijakan Nasional Menjawab Permasalahan Kedaulatan Pangan. Mereka sepakat, peningkatan kesejahteraan petani adalah solusi.

Peningkatan kesejahteraan petani akan meningkatkan produksi pangan, minat orang muda di dunia pertanian dan menurunkan beban kota.

Salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan petani, katanya, dengan perubahan pola subsidi dan bantuan serta penjaminan harga di tingkat usaha tani.  Selain itu, perlu akurasi data pangan untuk menekan gejolak harga.

“Reforma agraria, termasuk pemberian lahan kembali pada petani kecil perlu terus diupayakan. Bisa dengan pemberian hak atau penguatan hak,” ucap Budi seraya mengatakan, diikuti akses pengembangan lahan seperti bimbingan budidaya, subsidi pupuk, dan lain-lain.

Tak kalah penting, kata Hariadi, upaya pencegahan korupsi (pemberi izin) dan pemenuhan kewajiban perusahaan besar pengguna hutan dan lahan.

“Kita tak bisa melihat masalah pertanian ini soal pertanian saja, juga sosial politik.”

draf inpres moratorium

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,