Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan dalam peringatan ulang tahun ke-36 yang jatuh pada tanggal 15 Oktober 2016 memaparkan kondisi pengelolaan lingkungan hidup di Sulsel yang dinilainya semakin memburuk. Kebijakan pemerintah dan aktivitas perusahaan semakin memperburuk kondisi ini.
Dalam sektor pertambangan, WALHI Sulsel mencatat saat ini terdapat 414 IUP di Sulawesi Selatan. Dengan jumlah tersebut sebanyak 27 IUP telah dicabut izinnya. Hingga saat ini masih terdapat banyak persoalan pengelolaan tambang di lapangan.
“Hingga akhir 2016, Kasus-kasus pertambangan yang menonjol melingkupi beberapa kabupaten, seperti Gowa, Maros, Barru dan Luwu Utara,” ungkap Asmar Exwar, di kantor Walhi Makassar, Sabtu (15/10/2016).
Di Kabupaten Gowa, pertambangan batu di Desa Bontosunggu dan Salajangki Kecamatan Bontonompo Selatan, telah memicu protes dari masyarakat. Pertambangan ini dinilai telah menyebabkan masalah terhadap sumber air, lahan pertanian dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar.
Di Kabupaten Barru, pelanggaran hukum dilakukan oleh PT. Conch Barru dengan membangun pabrik semen dan infrastruktur penunjang tanpa dilengkapi perizinan AMDAL dan Izin lingkungan. Sementara di Kabupaten Maros, pertambangan bahan baku semen dan marmer mengancam wilayah kelola rakyat serta situs-situs purbakala seperti yang terdapat di sekitar konsesi PT Bosowa dan Leang-Leang.
“Sebanyak 33 IUP berada di Kabupaten Maros, 6 diantaranya merupakan pertambangan batubara. Yang terbanyak merupakan tambang marmer dan batu gamping. Demikian juga di Kabupaten Pangkep, sebanyak 74 IUP telah mengancam lingkungan dan banyak wilayah kelola rakyat.”
Menurut Asmar dominasi penguasaan karst oleh industri tambang besar seperti Tonasa, Bosowa, Conch dan ekspansi Pabrik Semen Bosowa Barru, Semen Fajar Barru, harus dilihat sebagai upaya privat sektor dan pemerintah menaikkan produksi semen nasional. Padahal selama ini terjadi pemanfaatan non-ekstraktif ekosistem karst oleh masyarakat untuk pangan, budidaya peternakan, kebun yang sangat produktif. Bahkan, masyarakat dan kawasan karst sudah hidup berdampingan selama ratusan tahun yang lalu.
Ekspansi industri semen dan marmer justru mulai masuk ke wilayah-wilayah baru seperti Kabupaten Barru dan Enrekang. Di Kabupaten Enrekang, masyarakat menolak hadirnya perusahaan tambang marmer, PT. Tiar Bungin Elok di wilayah Buntu Batu, tepatnya di Desa Lunjen dan Pasui. Perusahaan telah mendapat izin usaha pertambangan eksplorasi dari Pemprov Sulsel dengan luas konsesi 75,20 Ha. Perusahaan ini ditolak warga karena mengancam 4 situs pemakaman raja-raja dan wilayah kelola rakyat.
Di Kabupaten Luwu Utara, kerentanan konsesi izin pertambangan berada dalam kawasan penyangga. Berada dalam kawasan hulu DAS Karama (Sulbar, Sungai Bitue) dan Hulu DAS Rongkong (Sabbang, Kasimbong)
Dari data yang diperoleh menyebutkan dari 10 perusahaan tambang yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati sejak tahun 2011 di Kabupaten Luwu Utara, 6 diantaranya berlokasi di Kecamatan Seko dengan luasan mencapai 121.390,22 hektar atau berdasarkan data Peta WIUP mencapai 90,937 hektar.
Saat ini terdapat konsesi IUP di wilayah Seko dan Rampi, masing-masing PT. Kalla Arebama, PT. Antam, PT. Sapta Cipta Kencana, PT. Andalan Prima Cakrawala, PT. Trisakti Panca sakti, PT. Dataran Seko Perkasa, PT. Citra Palu Mineral, PT. Seko Bukit Mas.
“Jika beroperasi, perusahaan tambang di wilayah kecamatan Seko dan Rampi akan menjadi ancaman bagi ekosistem di Dataran Tinggi Tokalekaju dan ancaman bencana ekologis bukan hanya di Kabupaten Luwu Utara akan tetapi juga di tiga provinsi lainnya, yaitu Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah,” jelas Asmar.
Ancaman lain terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berupa hadirnya perusahaan tambang pasir laut. Rencana penambangan pasir laut di wilayah kecamatan Galesong Utara, Galesong, Galesong Selatan, Sanrobone. Terdapat 4 perusahaan yang telah mendapatkan kosnsesi yakni PT. Hamparan Laut Sejahtera, PT. Yasmin Resources Nusantara, PT. Mineratama Prima Abadi, dan PT. Pasir Laut Sejahtera.
Hamparan Laut Sejahtera telah mendapatkan izin usaha pertambangan eksplorasi pasir laut dari Pemkab Takalar dengan luas konsesi 940 HA, wilayah explorasi 4.144, 62 Ha. Sedangkan PT. PT. Mineratama Prima Abadi Telah mendapatkan izin usaha pertambangan eksplorasi pasir laut dari Pemkab Takalar 4.716 Ha.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir, kasus reklamasi CPI masih terus berjalan dalam ranah hukum, setelah WALHI Sulsel dan ASP banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Namun demikian itikad pemprov untuk menghormati proses hukum dianggap tidak ada.
“Ini dapat dilihat dari tetap berjalannya proses pembangunan CPI. Pada tanggal 28 Juli 2016 pihak Pengadilan TUN Makassar menyatakan tidak menerima Gugatan WALHI meskipun terdapat kondisi dissenting opinion dalam keputusan ketiga hakim PTUN.”
Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang wajib dipenuhi oleh pemerintah daerah belum ada. Sementara AMDAL yang masih berupa addendum.
“Selain itu, tidak adanya rekomendasi dan izin dari KKP semakin menambah fakta bahwa proyek CPI sangat tergesa-gesa dan menafikan azas kehati-hatian.”
Proyek pembangunan infrastruktur juga dinilai mendatangkan dampak bagi lingkungan dan masyarakat. Pembangunan KIMA II di Kabupaten Maros berupa gudang seluas 250 ha mengubah lahan-lahan produktif masyarakat berubah menjadi kawasan pergudangan. Alih fungsi lahan produktif dan daerah resapan air untuk kawasan pergudangan meliputi 6 desa yakni Desa Marumpa, Desa Takkalasi, Desa Pabbentengan, Desa Abbulosibatang, Desa Tennapaduae dan Desa Tellumpocoe.
“Kegiatan pembangunan telah berlangsung 2 tahun ini telah melakukan penimbunan persawahan dan pengerukan perbukitan Corawali. Diperkirakan luas lahan sudah mencapai 200 Ha terdiri dari lahan sawah dan perbukitan.“
Terkait dengan pencemaran lingkungan berupa arsenik dan sianida, kasus warga keracunan setelah mengkomsumsi tude atau kerang, dimana 63 warga menjadi korban keracunan di Dusun Bungungpandang, Desa Mallosoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, akhir Agustus 2016 lalu.
Kasus keracunan warga ini dinilai sebagai peristiwa luar biasa karena hilangnya nyawa 2 orang. Hingga saat ini warga masih khawatir mengkomsumsi kerang dan hasil laut di wilayah pesisir Bangkala.
“Dari mana sumber bahan pencemar logam berat berasal hingga saat ini belum diketahui.”
Di Kabupaten Pinrang, kasus perubahan atau alihfungsi kawasan hutan menjadi kawasan wisata di wilayah Desa Sali-Sali, Kecamatan Lembang. Pembangunan Objek wisata Puncak Karomba atau Villa Donadei, yang dimiliki oleh Donnatus Marru merupakan kawasan hutan produksi terbatas dengan ketinggian 1200 mdpl. Kawasan hutan yang dibuka berkisar kurang lebih 80 Ha. Pembangunan kawasan wisata ini belum memiliki kejelasan perizinan.
“Dari catatan diatas kami belum melihat adanya keseriusan pemerintah dalam melakukan upaya-upaya untuk melakukan pencegahan terhadap masifnya kerusakan lingkungan oleh kebijakan sektoral yang mengancam keselamatan rakyat. Disisi lain, penanganan perkara kasus lingkungan juga jalan di tempat. Pembangunan haruslah mampu mencegah risiko lingkungan terjadi dan tidak meningkatkan ancaman bencana ekologis dan kemanusiaan.”