Anggapan bahwa Kalimantan Tengah merupakan kawasan yang memiliki hutan lebat kini sudah mulai luntur. Kerusakan lahan gambut terlihat nyata di hadapan. Alihfungsi lahan di tanah Borneo masif beberapa tahun belakangan. Jika berkendara dari arah Palangkaraya menuju Banjarmasin, maka deforestasi tampak terlihat jelas.
Keadaan tersebut diperparah dengan peristiwa kebakaran tahun lalu. Sehingga membuat kerusakan semakin nyata. Terasa gersang, meski beberapa pohon sudah mulai tumbuh menghijau di sela-sela tumbuhan perdu dan semak belukar yang terhampar luas.
Namun siapa sangka, kala sampai di Desa Tumbang Nusa Kecamatan Jabiren Raya tepat di KM 30,5 terdapat hutan gambut yang masih terjaga keasriannya. Pohon-pohon hijau tegak menjulang membuat rasa sejuk saat mata memandang sekelilingnya.
Nama hutan itu Jumpun Pambelom atau Hutan Sumber Kehidupan dalam bahasa Ngaju, seluas 18 hektar. Adalah Januminro (54) pemilik serta pengelolanya.
“Ini hutan gambut hak milik yang kami kelola sejak 1998. Dulu kawasan ini terbakar hebat di tahun 1997. Tahun itu adalah kebakaran terbesar dan pertama di Kalteng,” jelasnya saat dijumpai di area hutannya (10/10).
Di Jumpun Pambelom, tumbuh berbagai jenis pohon khas rawa gambut dengan ketinggian mencapai lebih dari 25 meter dan diameter batang 50 cm. Pohon-pohon seperti galam (Melaleuca leucadendron), tumih (Combretocaprus rotundatus), teretang (Campnosperma sp.). Selain itu juga tumbuh berbagai pohon lainnya seperti jelutung, ramin, pasak bumi, tanggaring, ulin, gemor dan gaharu.
Perpaduan pohon-pohon itu berkombinasi menjadikan kawasan tersebut hijau dan terasa teduh saat dikunjungi.
Hutan itu pun menjadi habitat beberapa satwa seperti babi hutan, kijang, beruang, kera, orangutan, burung dan tupai. Sementara jenis ikan rawa yang banyak ditemukan di dalamnya diantaranya ikan gabus, papuyu, kapar, sambaling, karandang dan tapah.
Januminro menyebutkan Jempun Pambelom merupakan hutan gambut hak pertama yang ada di Indonesia. Sehingga tak berlebihan jika ia disebut sebagai pelopor hutan gambut hak milik.
Menurut lelaki kelahiran Barito Selatan itu, hutan yang ia kelola dulunya bekas bagian sebuah perusahaan HPH yang beroperasi antara tahun 1973 hingga 1993. Lalu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, wilayah itu masuk dalam area program Pertanian Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar.
Menurutnya, pasca kebakaran 1997, kawasan ini rusak parah. Hampir seluruhnya terbakar dan seperti tak ada kehidupan.
Miris melihat situasi, Janminro tergerak. Perlahan sejak 1998, dia mulai membeli lahan tersebut dari masyarakat yang menguasai lahan. Awalnya seluas empat hektar. “Kita ambil alih, saya beli seharga Rp.500ribu hingga Rp.1 juta per hektar. Semua murni swadayanya.”
Januminro mengaku tak menjumpai kesulitan saat mulai mencoba mengambil alih lahan ini. Karena pada waktu tak ada seorangpun yang berminat untuk mengelola lahan gambut yang sudah terbakar.
Seiring berjalannya waktu, atas dukungan dari berbagai pihak kini luas hutan Jempun Pambelom terus bertambah hingga mencapai 18 hektar. Januminro berharap, luas hutan yang ia kelola bisa terus bertambah.
Menjaga Agar Lahan Tidak Terbakar
Menurut Januminro mengelola hutan miliknya tidaklah terlalu sulit, karena alam mampu menumbuhkan dirinya sendiri atau istilahnya suksesi alami. Terpenting, menjaga agar jangan sampai terbakar kembali.
“Kami kembangkan pertahanan api, yaitu membangun parit-parit kecil di kiri-kanan sebagai pembatas,” tuturnya.
Untuk itulah dia menggali sumur bor dengan jarak 100-150 meter. Totalnya sekitar 20 lebih sumur bor di dalam kawasan, dan di luar kawasan 100 sumur bor. Fungsinya untuk membasahi area yang rawan kebakaran, khususnya di tepi-tepi jalan.
Selain itu ia juga membangun sekat kanal, sebanyak tujuh buah yang terbuat dari kayu yang tahan dari pelapukan air, seperti belangiran. Harapannya agar sekat kanal bisa lebih lama dan tak cepat rusak. “Kami berharap umurnya paling tidak sampai 15 tahun. Jangan sampai cepat hancur.”
Bapak tiga orang anak ini menyadari betul bahwa dalam pengelolaan Jempun Pambelom harus melibatkan masyarakat sekitar. Karena itu, berbagai program yang ada di dalamnya dirancang secara kolaboratif bersama masyarakat sekitar.
Upaya pelibatan masyarakat ini ia buktikan dengan membentuk sukarelawan Serbu Api. Pelembagaanyan secara resmi terbentuk pada tahun 2010. Tugasnya selain menjaga kawasan Jempun Pambelom, juga melakukan aktivitas pengendalian api di luar kawasan itu. Tak urung mereka bekerja pada malam hari untuk mencegah api yang cepat membesar.
“Kami juga menyediakan nomor panggil. Jika masyarakat melihat ada kebakaran bisa langsung menghubungi kami baik melalui sms maupun telepon,” katanya.
Bahkan, Januminro mengaku kadang membagikan pulsa gratis kepada masyarakat di lokasi rawan bencana. Tujuannya agar mereka melaporkan titik-titik api jika terjadi kebakaran.
Dengan berbagai upayanya tersebut, pada tahun 2015 wilayah Jumpun Pambelon pun luput dari bahaya kebakaran. Saat peristiwa Karhutla tahun lalu, Jumpun Pambelom juga dijadikan posko pemadaman api dengan relawan serbu api yang selalu siap siaga.
Bentuk pelibatan masyarakat lainnya untuk menjaga lokasi sekitar Jumpun Pambelom dilakukan lewat kegiatan persemaian bibit pohon. Warga sekitar Jumpun Pambelom diajak untuk menjadi petani bibit. Nantinya, bibit-bibit pohon dari masyarakat sekitar akan dibeli oleh pihak Jumpun Pambelom.
Bibit yang dibeli dari masyarakat seharga Rp 2.500 per bibit, itu digunakan untuk program adopsi pohon. Januminro mengatakan, banyak pihak yang tertarik untuk mengadopsi pohon di Jumpun Pambelom.
Mencari Dukungan Pendanaan
Dari program adopsi pohon itu lah, pria yang menamatkan studi di jurusan Manajemen Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat 1986, pascasarja di Fakultas Ekonomi Universitas Palangkaraya 2011, itu bisa membiayai operasional kegiatan Jumpun Pambelom termasuk operasional relawan serbu api.
Bagi siapa saja yang tertarik untuk mengadopsi pohon, akan dikenai iuran Rp.10 ribu per pohon. Pohon-pohon yang diadopsi nantinya akan ditanam di area Jumpun Pambelom.
Sumber pendanaan lain yang didapat untuk operasional Jumpun Pambelom berasal dari CSR berbagai perusahaan. Menurut Januminro, hingga saat ini banyak perusahaan yang tertarik untuk ikut serta ambil bagian dalam upaya menjaga kelestarian Jumpun Pambelom. Selain itu, juga bantuan dari lembaga lain seperti UNDP, KLHK, Pemkot Palangkaraya, Pemkab Pulang Pisau dan lain-lain.
“Ada juga dukungan dari donator pribadi. Sehingga ini cukup memadai untuk kita mengembangkan ini,” ucapnya.
Dana-dana yang dihimpun itu, kemudian ia gunakan untuk mengembangkan kegiatan serupa di wilayah lainnya. Januminro mengatakan, pihaknya sudah membeli lahan seluas 50 hektar yang lokasinya hanya terpaut 500 meter dari Jumpun Pambelom. Nantinya lahan tersebut juga akan dijadikan hutan kembali dan dirawat dengan baik.
Selain fokus mengelola Jumpun Pambelom, Januminro juga sering mengadakan pelatihan pencegahan Karhutla di berbagai daerah. Di Riau ia sudah mengadakan pelatihan untuk 50 desa rawan kebakaran. Juga di Kalbar 150 desa.
“Kalau di Kalteng sudah lebih dari 150 desa. Pelatihan yang diberikan mengenai pengendalian Karhutla, pembuatan sumur bor, juga sekat kanal,” katanya.
Atas apa yang sudah ia lakukan, Yayasan Kehati memberikan penghargaan pada tahun 2014. Ia dianggap sebagai sosok pendorong kelestarian keanekaragaman hayati. Penghargaan serupa juga didapat dari presiden Joko Widodo.
Pada tahun 2015, Januminro menerima penghargaan Kalpataru sebagai pengabdi lingkungan.
“Saya berharap, hutan ini bisa dikunjungi oleh banyak orang. Karena Jumpun Pambelom ini memang konsepnya hutan pendidikan. Kami tak memungut biaya jika ada orang berkunjung ke sini. Silakan datang yang penting bisa menjaga kawasan, menjaga kebersihannya, dan tak merokok saat masuk ke hutan. Mudah-mudahan ini jadi semangat kami memberikan sumbangsih bahwa hutan itu bisa menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya,” tandasnya.