Muhammad Nasrul tergopoh-gopoh datang dengan motornya. Tanpa basa basi yang panjang ia mengajak masuk ke dalam rumah produksinya, dimana terpajang puluhan bungkus aneka makanan olahan laut dan pesisir, siap didistribusikan ke toko-toko.
“Kami baru produksi dan belum sempat bersih-bersih. Saya juga baru pulang dari pulau untuk pembinaan usaha kelompok,” ungkapnya kepada Mongabay, Minggu (09/10/2016).
Nasrul adalah Ketua Kelompok Cahaya Desa, sebuah kelompok usaha pesisir di Desa Pitue, Kecamatan M’arang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Kelompok berbasis usaha rumah tangga ini cukup sukses dalam produksi olahan hasil-hasil laut dan pesisir. Produknya dikemas secara modern dan telah memiliki izin Pangan Industri dan Rumah Tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan dan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Produk mereka memanfaatkan potensi lokal sebagai daerah pesisir, seperti kepiting, ikan bandeng, rumput laut dan beberapa jenis mangrove. Nama produknya pun dibuat menggunakan bahasa lokal dicampur Bahasa Inggris, sehingga terdengar unik dan lucu, seperti Puang Crab, yang ternyata kerupuk berbahan kepiting. Puang sendiri merujuk pada panggilan bagi bangsawan atau orang yang dituakan dan dihormati dalam masyarakat Bugis.
Ada juga produk yang dinamakan Arung Bolu terdiri dari produk-produk berbahan dasar ikan bandeng. Arung berarti bangsawan sedangkan bolu berarti ikan bandeng. Jenis produknya antara lain Kacang Bandeng Kriuk dan Kerupuk Keriting Bandeng. Ada juga produk yang dinamai Bang Ambo Bolu, berupa stikikan Bandeng, snack Mona Ikan Bandeng,abon dari ikan bandeng, dan ikan bandeng presto.
Untuk makanan yang berbahan dasar rumput laut diberi nama My Agara dengan produk berupa Kacang Molen Rumput Laut. Agara sendiri merupakan nama lokal untuk rumput laut.
Selain karena namanya unik, produk buatan kelompok ini memang terasa enak dan gurih. Harganya pun terjangkau, hanya Rp10 ribu per bungkus.
“Alhamdulillah sekarang sudah memiliki kemasan yang bagus dan kreatif, mungkin paling unik di Kabupaten Pangkep,” tambah Nasrul.
Kelompok Cahaya Desa sendiri dibentuk sejak tahun 2012 silam dengan anggota 10 orang. Di tahun yang sama kelompok ini mendapat dukungan dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam sehingga anggotanya bertambah menjadi 20 orang.
Dari program RCL Oxfam mereka mendapat bantuan alat presto ikan bandeng dan beragam pelatihan usaha dan keuangan. Sementara dari Dinas Kelautan Pangkep mereka memperoleh bantuan berupa peralatan olahan nugget.
“Sebelum adanya program Oxfam ini kami sudah produksi namun hasilnya masih terbatas, tidak seperti sekarang,” jelas Nasrul.
Di awal program, usaha kelompok ini hanya usaha kecil berupa ikan bandeng tanpa duri, binaan penyuluh Dinas Kelautan Kabupaten Pangkep. Setelah itu,kelompok ini mencoba berbagai inovasi dengan membuat berbagai macam makanan cemilan, sehingga lahirlah produk berupa Kacang Bandeng Kriuk, Stik Bandeng dan Keripik Keriting Bandeng.
“Ini terus berkembang sehingga kemudian muncul lagi inovasi lain berupa keripik kepiting dan Puang Crab yang sangat laris.”
Ide membuat produk berbahan kepiting ini ditemukan Nasrul saat ia berjalan-jalan di sekitar Desa Pitue dimana banyak ditemukan kepiting-kepiting kecil yang disebut kepiting sojo, yang dibuang nelayan karena dianggap tidak bernilai.
“Selama ini kepiting yang dianggap punya nilai ekonomis hanya kepiting rajungan, sementara yang kecil-kecil hanya dibuang saja seperti kepiting sojo ini.”
Saat itulah muncul pemikiran mengolah kepiting tersebut agar tidak dibuang percuma begitu saja. Nasrul kemudian melakukan negosiasi harga dengan nelayan pengumpul untuk membelinya dengan harga Rp5000 per kg.
“Kepiting jojo ini kami inovasi dengan membuatkan sarinya untuk kemudian diolah menjadi kerupuk. Kami coba pasarkan dan ternyata laris manis. Awalnya pemasaran hanya di warung-warung sekitar rumah sini dan sekolah-sekolah. Sekarang sudah dijual kemana-mana, termasuk di Makassar.”
Dari program Oxfam mereka juga sempat diikutkan dalam studi banding ke daerah yang dianggap sukses dalam hal pengelolaan usaha berbahan baku mangrove.
“Dari studi banding ini kami mendapat ide untuk membuat snack api-api dari mangrove jenis api-api atau Avicennia sp. Ini cocok dikembangkan di Pangkep karena potensi pesisir yang sangat panjang. Lalu kita juga coba sirop dari mangrove pedada, kue brownies api-api, dan teh kalli-kalli.”
Ketiga jenis mangrove tersebut memang sangat mudah ditemukan di Desa Pitue. Mangrove sejenis pedada atau Sonnera caseolaris sp bahkan bisa ditemukan di hampir semua rumah yang ada di Desa Pitue. Bentuk pohonnya yang tinggi lebat dengan buah berbentuk bulat, memiliki rasa asam dan aroma yang khas, serta tekstur buah yang lembut.
Berkembangnya kelompok ini secara pesat dalam dua tahun terakhir bukannya tanpa hambatan. Di awal kegiatan para ibu-ibu rumah tangga yang terlibat kurang mendapat dukungan dari suami, karena dianggap tidak memberi manfaat secara ekonomi.
“Di awal memang produksi kita masih sangat sedikit sehingga tak banyak keuntungan usaha yang bisa dibagi kepada para anggota. Penghasilan Rp10 ribu – Rp20 ribu sekali produksi nilainya sangat kecil. Namun seiring dengan semakin berkembangnya usaha, kini suami mereka yang malah banyak membantu.”
Seluruh anggota kelompok yang berjumlah 20 orang masih aktif sampai sekarang. Upaya meyakinkan para anggota kelompok untuk terus bertahan bukanlah hal yang mudah, apalagi tanggung jawab para ibu rumah tangga itu di keluarga masing-masing.
“Tapi kami tidak pernah putus asa untuk membuktikan bahwa semua yang kami lakukan ini akan berbuah hasil yang baik. Alhamdulillah sekarang mereka sudah ada yang bisa mendapatkan penghasilan Rp400 ribu – Rp500ribu per bulan.”
Dalam sebulan omzet usaha kelompok ini bisa mencapai Rp8 juta – Rp10 juta. Produknya pun tidak lagi hanya sebatas produksi dari Kelompok Cahaya Desa, tapi juga dari produk mitra usaha mereka, kelompok-kelompok lain yang ada di Kecamatan Ma’rang.
“Kelompok Cahaya Desa kini berfungsi tidak hanya sebagai pusat pengolah tapi juga pengumpul, dan pemasar produk perikanan. Produk kelompok lain kami beli secara curah yang selanjutnya dikemas. Di kemasan, nama kelompok mitra tetap dicantumkan. Omzet penjualan hasil dari mitra ini biasa sampai Rp4 juta per bulan.”
Kesuksesan pengelolaan Kelompok Cahaya Desa membangun usaha ini telah mengantarkan Nasrul mendapatkan penghargaan tingkat provinsi dan nasional. Pada tahun 2015 lalu ia terpilih sebagai Juara 2 Wirausaha Muda tingkat Provinsi Sulsel dan Juara 3 untuk tingkat nasional di tahun yang sama. Pada tahun 2016 ia menjadi finalis Pemuda Pelopor tingkat Provinsi Sulsel dan salah satu peserta Duta Tani Muda 2016.
Ke depan, Nasrul berharap Kelompok Cahaya Desa bisa berkolaborasi dengan Bumdes di Desa Pitue sehingga bisa membantu lebih banyak lagi kelompok usaha lain di Desa Pitue dan sekitarnya.