Soal Styrofoam, Bagaimana Seharusnya?

Baru – baru ini styrofoam menjadi buah bibir di kalangan khalayak ramai.  Awalnya, mulai gaduh ketika pelarangan penggunaan berbahan gabus ini dicetuskan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil yang nantinya akan diberlakukan 1 November 2016 mendatang.

Berdasarkan infromai yang di dapat Mongabay, benda tersebut terbuat dari bahan utama yaitu polystyrene, yakni sebuah bahan plastik yang cukup kuat, disusun oleh erethylene dan benzene. Karakteristik barang ini ringan, mudah dibentuk, dan lentur. Dengan harganya yang relatif murah,  menjadikan styrofoam tidak hanya digunakan sebagai kemasan makanan dan minuman saja, akan tetapi juga dipakai sebagai alas pelindung barang – barang eletronik.

Namun, rupanya upaya Emil sapaan akrab Ridwan Kamil, cukup serius untuk menerapkan pelarangan tersebut. Pasalnya  Pemerintah Kota Bandung bakal segera membuat surat edaran perihal larangan styrofoam dalam kemasan makanan dan minuman.

“Alternatif itu sebetulnya sudah ada, namun belum jadi budaya karena merasa styrofoam ini mudah di dapat dan harganya murah. Hanya perlu mengubah cara pikir dari yang biasa gampang ke sesuatu yang butuh effort (upaya) sedikit,” ucap Emil di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana, Jumat (21/10/2016) lalu.

Aturan larangan penggunaan styrofoam dalam produk makanan hanya bersifat imbauan walikota, yang mengacu pada Peraturan Daerah K3 (Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan), serta Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. “Sampah styrofoam dan kresek (plastik) ini, menjadi penyebab banjir karena sering membuat mampet dan macet saluran air di Kota Bandung,”katanya.

Untuk yang sifatnya industri, Emil telah meminta Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung segera melakukan sosialisasi sekaligus imbauan serta mengajak berdialog pihak produsen agar  beralih dari styrofoam menjadi berbahan karton.

Meskipun hanya bersifat imbauan, penerapan sanksi bagi para pelanggar akan tetap dilakukan dengan skema tiga tahapan sanksi, pertama berupa teguran, kedua masih teguran dan yang terakhir mencabut izin usaha. “Himbauan ini ada aturannya, maka harus mengikuti norma perilaku berbisnis di Kota Bandung,” ucapnya.

Perlu Ada Solusi Lain

Ketua Greeneration Indonesia, Mohamad Bijaksana Junerosano, mengapresiasi adanya kebijakan perlarangan styrofoam sebab bisa memangkas permasalahan dari hulu. Dia melanjutkan secara visual styrofoam ini sudah banyak nyampah di lingkungan, mulai dari tempat umum, jalan dan di tempat pembuangan sementara yang tersebar di sudut kota.

Dikatakan dia, perilaku manusia zaman sekarang lebih menjurus kepada kepraktisan. Tentu karena kepraktisannya tersebut barang – barang seperti ini bersifat masal, dengan jumlah yang begitu besar dan ujung – ujungnya akan menjadi sampah.

Seorang pengemudi beristirahat di mobilnya yang berdekatan dengan tumpukan sampah di Jalan Soekarno - Hatta, Kota Bandung. Tumpukan sampah sering dijumpai di pinggiran kota yang kadang terlambat untuk diangkut ke TPA. Foto : Donny Iqbal
Seorang pengemudi beristirahat di mobilnya yang berdekatan dengan tumpukan sampah di Jalan Soekarno – Hatta, Kota Bandung. Tumpukan sampah sering dijumpai di pinggiran kota yang kadang terlambat untuk diangkut ke TPA. Foto : Donny Iqbal

Dia mencontohkan jenis barang yang mirip dengan styrofoam karena kepraktisannya itu salah satunya popok bayi. “Zaman semakin maju, barang yang dihasilkan dari teknologi untuk memfasilitasi kepraktisan manusia banyak ditemukan. Beda dengan jaman dulu, masyarakat masih membawa keranjang,” katanya saat di hubungi Mongabay via telepon.

Sano menerangkan pelarangan styrofoam merupakan kebijakan yang diambil oleh sebuah pemimpin. Ketika itu dicanangkan semoga telah dilakukan kajian – kajian secara menyeluruh dan siap dengan konsekuensinya.

Dikatakan Sano, konsekuensi yang akan dihadapi misalnya terjadi penurunan produksi styrofoam. “Sisi positif dari aspek lingkungan adalah berkurangnya sampah styrofoam itu sendiri, dari segi keberlanjutannya kan ada 3 yaitu lingkungan, sosial, ekonomi dan ketiganya ini harus menemukan titik yang seimbang,” jelasnya.

Dan apabila kebijakan ini bersifat tetap,  ada baiknya Pemerintah juga memiliki langkah konservasi dan melakukan pembinaan pihak industri styrofoam agar mereka juga punya opsi untuk berpindah ke bisnis yang lebih baik atau melakukan terobosan baru soal kemasan selain styrofoam.

“Barang itu sifatnya netral, styrofoam tidak salah , yang salahnya itu yang buang sampah sembarangan. Penggunaan berlebihan lah yang keliru, perilaku nyampah kita dan manajemen persampahan yang belum bagitu baik, mengakibatkan permasalahan bertambah,” papar Sano.

Pengusaha styrofoam yang masih produksi, harus mempunyai responsibility dan rasa tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan, misalnya membuat manajemen pengolahan styrofoam dari proses pengumpulan hingga sampai daur ulang, yang sering disebut dengan sistem ekonomi yang melingkar.

Penurunan Sampah Berbayar

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Mongabay, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung telah melakukan kajian penggunaan plastik berbayar dan hasilnya berkurang sekitar 40% sejak awal ditetapkan.

Menanggapi data tersebut, Sano menganggap kebijakan penggunaan kantong plastik sangat efektif. Menurutnya sistem kantong plastik berbayar ini adalah sebuah upaya polluter pay principle (prinsip pencemar membayar).

Kebiasaan warga untuk buang sampah pada tempatnya dinilai masih kurang terlihat dari kemasan styrofoam yang dibiarkan tergeletak begitu saja di warung makan di Jalan A.H Nasution, Ujung Berung, Kota Bandung. Berdasarkan imbauan Ridwan Kamil per 1 November Mendatang penggunaan styrofoam akan dilarang. Foto : Donny Iqbal
Kebiasaan warga untuk buang sampah pada tempatnya dinilai masih kurang terlihat dari kemasan styrofoam yang dibiarkan tergeletak begitu saja di warung makan di Jalan A.H Nasution, Ujung Berung, Kota Bandung. Berdasarkan imbauan Ridwan Kamil per 1 November Mendatang penggunaan styrofoam akan dilarang. Foto : Donny Iqbal

“Saya mencontohkan, saya nyampah kantong plastik, tapi ini ada uang Rp200 dari setiap pembelian kantong plastik, saya berharap uang tersebut bisa digunakan untuk mendukung upaya manajemen pengolahan sampah agar pencemaran lingkungan bisa diatasi. Dan menjadi tugas pemerintah bagaimana membangun regulasi uang yang Rp200 ini bisa ketemu pada tujuan tersebut,” terang Sano.

Kejelasan Payung Hukum

Dia mengatakan meskipun sekarang sudah diberhentikan penggunaan kantong plastik berbayar karena tidak adanya kejelasan payung hukum. Padahal menurutnya payung hukum merupakan sebuah bentuk kejelasan.

“Kalau saya melihat pihak dari Asosiasi Pengusaha Peritel Indoensia (Aprindo) maunya aturan ini sama berlaku nasional. Biar gak bingung merekanya. Di daerah harus sama dan seragam.  Sebenernya Aprindo juga bisa mengambil sikap bila peduli lingkungan tidak usah menunggu ada aturanya dulu. Tapi ini merupakan sebuah dinamika dan harus dicarikan solusi terbaiknya dari berbagai pihak,” pungkasnya.

Mengganti Dengan Kemasan Lain

Di lain tempat, Astri (34) berprofesi sebagai pedagang jajanan khas Bandung yaitu seblak dan lumpia basah mengaku telah mengetahui imbauan walikota. “Muhun atos nguping teu kenging nganggo styrofoam kanggo ngabungkus emameun (iya sudah mendengar larangan memakai styrofaoam untuk mebungkus makanan),” kata dia saat ditemui di warungnya di Jalan Tamansari, Kota Bandung.

Dikatakan dia, setiap hari mampu menjual lebih dari 50 porsi seblak dan lumpia basah. Sekalinya belanja bahan untuk kemasan, dirinya mengeluarkan modal sekitar Rp.45.000.

“Untuk bahan pokok mah suka ada yang nganter. Kalo untuk kemasan mah saya beli ke pasar, uang 45 ribu itu cukup buat beli sendok plastik, sumpit, mika plastik dan styrofoam. styrofoam Styrofoam harganya Rp300 per pieces,” kata Astri yang sudah berdagang satu tahun ini.

Penjual sedang membungkus seblak menggunakan styrofoam di Jalan Tamansari, Kota Bandung. Sejumlah pedagang mengaku sudah tahu soal larangan menggunakan bahan tersebut untuk makanan dan minuman. Foto : Donny Iqbal
Penjual sedang membungkus seblak menggunakan styrofoam di Jalan Tamansari, Kota Bandung. Sejumlah pedagang mengaku sudah tahu soal larangan menggunakan bahan tersebut untuk makanan dan minuman. Foto : Donny Iqbal

Astri mengatakan banyak pembelinya yang enggan menggunakan styrofoam karena tahu ada kandungan zat yang berbahaya. Untuk mengakali hal itu, dia menggunakan kemasan lain seperti plastik untuk membungkus jajanan yang berkuah. Sedangkan yang tidak berkuah dirinya memakai mika plastik.

“Sebagai warga yang baik saya akan mengikuti imbuan itu, tapi mungkin kami pedagang seblak juga bingung soal kemasan yang baik seperti apa. Jika pake daun pisang itu kadang suka beda, suka ada yang komplen juga dan harganya mahal. Harapan saya mah dicarikan solusi yang kiranya sederhana, maksudnya tidak hanya melarang tapi dicarikan juga alternatif yang kongkrit gitu,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,