Suara Bergelora Robi “Navicula” di Bumi Hijau Indonesia

Enerjik, terus bergerak di atas panggung. Tanpa henti, membakar semangat penonton melalui lagu cadas bertema lingkungan. Ada lagu Orangutan, Di Rimba, Metropolutan, Busur Hujan, juga Harimau! Harimau! Pada jeda nyanyian menghentak jiwa itu, terdengar orasi penuh makna.

“Pembangunan, kita tidak anti-pembangunan. Tapi, kita ingin pembangunan yang peduli pada manusia, ramah pada alam, dan bermanfaat bagi masa depan. Tiga syarat ini, adalah kunci pembangunan ideal. Apa artinya ekonomi bila merusak alam. Apa gunanya ekonomi bila hanya menguntungkan segelintir orang. Apa fungsinya juga bila percepatan pertumbuhan ekonomi justru menghancurkan alam Indonesia. Hidup bukan hanya membangun, tetapi juga melestarikan,” ucapan menghujam dari Gede Robi Supriyanto.

Robi yang tidak pernah lelah menyuarakan isu lingkungan karena lingkungan adalah kita. Foto: Rahmadi Rahmad
Robi yang tidak pernah lelah menyuarakan isu lingkungan karena lingkungan adalah kita. Foto: Rahmadi Rahmad

Di menit berikutnya, Robi kembali mengumandangkan suaranya. Kali ini mengenai hutan, yang tidak hanya bermanfaat bagi manusia tetapi juga tempat hidupnya tumbuhan dan satwa liar. “Lagu Di Rimba ini saya buat ketika menginap lima hari di hutan. Sembari berendam di sungai yang dipenuhi kabut, saya mendengar beragam suara yang merupakan orkestra hutan. Satu di antaranya suara orangutan, spesies ikonik Indonesia yang tanpa diminta selalu menjaga ekosistem belantara,” ujar vokalis Navicula, band asal Denpasar, Bali ini.

Aku bermalam di rimba
Ditepi sungai suara
Dibuai kedamainan sempurna

Dikaki kayu raksasa
Dipundak batu perkasa
Kurangkai kunci bagi pencipta

Di Rimba
Di Rimba
Di Rimba kucumbu semesta

 

Apa yang membuat Robi bersama Navicula, tidak pernah lelah menyuarakan isu lingkungan?

Lingkungan adalah permasalahan semua. Bukan hanya pemerintah, swasta, perusahaan, LSM, atau segelintir orang. “Lingkungan adalah kita,” ujar Robi, usai konser di gelaran acara “Pemuda Bicara: Untuk Lingkungan, Budaya dan Siaga Bencana di Bumi Tambun Bungai,” di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (16/10/2016).

Untuk menciptakan lingkungan yang baik, harus ada aturan hukum yang berfungsi sebagai rem. Pertanyaan muncul, mengapa pembalakan liar masih tinggi dan kebakaran hutan masih terjadi? Ini “gara-gara” hukum belum tegak sebagaimana mestinya. “Lagu-lagu yang kami nyanyikan bukan untuk melawan hukum atau pemerintah, justru menyuarakan supremasi hukum.”

Band Navicula yang secara konsisten berkarya untuk kelestarian alam Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad
Band Navicula yang secara konsisten berkarya untuk kelestarian alam Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Suara lingkungan

Lagu-lagu Navicula memang dikenal bercorak lingkungan. Ada tentang hutan hujan, pencemaran, satwa, dan lainnya. Menurut Robi, semua itu merupakan sebuah sudut pandang yang bila disatukan, semuanya akan menyentil pada keseimbangan ekosistem yang patut dijaga.

“Secara alami, saya dikelilingi orang-orang yang peduli lingkungan. Lingkungan saya bekerja di luar musik adalah LSM. Saya juga konsultan media, baik di Bali, Asia Tenggara, maupun belahan bumi lain. Kami selalu terbuka untuk setiap inspirasi yang ada, yang selanjutnya dieksekusi dengan gayanya Navicula.”

Navicula saat tampil di acara acara “Pemuda Bicara: Untuk Lingkungan, Budaya dan Siaga Bencana di Bumi Tambun Bungai,” di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (16/10/2016). Foto: Dok. INFIS
Navicula saat tampil di acara “Pemuda Bicara: Untuk Lingkungan, Budaya dan Siaga Bencana di Bumi Tambun Bungai,” Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (16/10/2016). Foto: Dok. INFIS

Memilih tema “green” yang sekarang hangat diperbincangkan secara global bukan barang baru bagi Navicula. Band ini bahkan sudah 20 tahun berkiprah, yang secara konsisten mengangkat isu lingkungan. Meskipun, bila dilihat mundur 15 tahun silam, perbincangan soal lingkungan adalah hal aneh. “Tiba-tiba, setelah Konferensi Perubahan Iklim 2007 di Bali, semua orang bicara kelestarian alam. Bahkan, perusahaan yang mengeluarkan produk berbasis plastik juga ikut-ikutan “ngomong” go green. Artinya, Navicula tidak salah topik.”

Efektif kah musik lingkungan menyatukan pandangan kita semua? Robi menuturkan, selama dua dekade bermusik, lagu-lagu Navicula mengalir bak air. Meski ia sendiri tidak bisa memastikan, apakah genderang musik lingkungan makin benderang, karena tidak adanya basis data.

Namun, bila dilihat dari gejala tumbuhnya band-band aliran lingkungan, dipastikan ada, sebagaimana di Bali. Masyarakat saat ini juga, melihat isu lingkungan sebagai gerakan kepedulian yang populer untuk dilakukan. “Lebih baik, persoalan lingkungan dikemas dalam lagu dan diperdengarkan ke masyarakat luas. Saya pribadi, menganggap isu ini keren dan semua orang wajib tahu.”

Band Navicula yang telah berkiprah 20 tahun dibelantika musik Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad
Band Navicula yang telah berkiprah 20 tahun dibelantika musik Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Bila kita lihat gerakan awal lingkungan yang akhirnya memunculkan Greenpeace medio 1970, ini merupakan dukungan penuh dari musisi Joni Mitchell, yang membuat konser amal untuk kepedulian tersebut. Protes dilakukan, karena adanya rencana Pemerintah Amerika Serikat melakukan uji coba bom nuklir di Pulau Amchitka, Kepulauan Aleutian, Alaska.

Para aktivis lingkungan itu, mengirim kapal sewaan bernama Phyllis Cormack ke lokasi uji coba nuklir dengan mengubah nama kapal menjadi Greenpeace. Sebuah gerakan awal bernama Don’t Make a Wave Committee yang didirikan di Vancouver, British Columbia, Kanada (1971) dengan tujuan awal menentang percobaan nuklir, yang selanjutnya berkembang dengan label Greenpeace.

“Saya adalah orang yang terinspirasi dan ingin membuat gerakan lingkungan yang sama melalui musik, untuk generasi muda Indonesia. Navicula akan terus berkarya, tanpa bosan. Terkenal atau tidak, musik kami tetap berkibar. Ini jiwa kami,” ujar Robi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,