Meski Berstatus Hutan Produksi, Masyarakat Hutan Desa Ini Sepakat Larang Penebangan Pohon

Pagi sehabis hujan, udara sejuk terasa segar. Kabut tipis masih menggantung diantara pepohonan rimbun yang terlihat di depan mata. Sepasang bajing berlarian, sesekali melompat di salah satu dahan pohon. Suasana terasa tenang. Menginap barang semalam di hutan desa ini, tentu menjadi pilihan menyenangkan.

Bersama beberapa rekan aktivis lingkungan, Mongabay Indonesia beranjak dari base camp hutan desa Bawan, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau. Kami menapaki jalanan setapak menuju hutan seluas 1.453 hektar tersebut.

Vegetasi alam hutan itu masih sangat terjaga dengan baik. Pepohonan seperti kerangas, meranti, keruing, pelepek, benuas, jelutung rawa dan lainnya terhampar di hadapan. Pohon-pohon yang ditemui di dalam hutan itu umumnya memiliki diameter yang cukup besar. Mereka tumbuh menjuntai ke atas dengan dedaunan yang lebat. Suara satwa liar terdengar nyaring, Suara owa pun terdengar, meski tak sempat melihat fisiknya langsung.

Secara letak geografis, Hutan Desa Bawan terletak di ketinggian 400 mdpl. Keadaan topografinya berupa perbukitan. Tanahnya termasuk jenis podsolik merah kuning, tekstur lempung berpasir, ultisol dengan tingkat kesuburan sedang.

“Hutan Desa ini awalnya merupakan hutan pendidikan yang dikelola oleh Universitas Palangkaraya. Penggagasnya (alm) Suwido Limin, namun karena legalitasnya belum ada, kami akhirnya sepakat mengusulkan kawasan ini menjadi hutan desa. Perlu ada keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan desa,” jelas Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bawan, Pegun.

Di sebelah utara Hutan Desa Bawan berbatasan dengan Desa Tumbang Tarusan, selatan berbatasan dengan Desa Goha, Barat dengan Desa Rakumpit Kota Palangkaraya dan Timur dengan Desa Mangkutup Kabupaten Kapuas.

Jumlah penduduk Desa Bawan 656 jiwa, mayoritas bermatapencaharian sebagai petani karet. Luas Desa Bawan sendiri mencapai 10 ribu hektar.

Jika melihat status kawasan, sebenarnya hutan desa ini termasuk hutan produksi.

Namun menariknya dalam pengelolaan hutan desa ini, masyarakat sepakat untuk tak melakukan penebangan pohon, meski satu pohon pun. Padahal jika merujuk pada peraturan yang ada, sebenarnya masyarakat pengelola hutan desa bisa menebang pohon 50 kubik per tahun. Ketentuan larangan menebang pohon itu tertuang dalam Peraturan Desa yang sudah mereka sepakati.

Tak hanya soal menebang pohon, berburu satwa yang dilindungi juga mereka larang. Mereka sudah bersepakat untuk melindungi hutan tersebut dari segala bentuk ancaman yang ada.

“Berburu atau kegiatan lainnya yang merusak, tak boleh lagi. Termasuk burung juga kita jaga. Menebang kayu juga hanya boleh untuk kepentingan orang banyak dan hanya untuk kegiatan yang ada disini saja seperti untuk membangun pondok. Kayu tak boleh dibawa keluar dari kawasan hutan,” jelas Pegun.

Untuk memanfaatkan kawasan hutan itu, masyarakat Desa Bawan lebih tertarik untuk mengembangkan ekowisata dan jadi pusat penelitian.

Pegun menyebutkan masyarakat sepakat menerapkan konsep ekowisata, bahkan telah mengikuti pelatihan ekowisata. Menurutnya, kegiatan jasa lingkungan jauh lebih menguntungkan dibanding kegiatan eksploitatif.

Di sisi lain katanya, pemanfaatan hasil hutan non kayu untuk menunjang kesejahteraan masyarakat juga bisa dilakukan. Masyarakat bisa mengambil rotan, damar, madu dan sebagainya dengan cara yang tentu saja harus ramah lingkungan.

“Akhir bulan ini salah satu staf LPHD kami akan mengikuti pelatihan mengelola madu di Cibubur. Harapannya dari hasil pelatihan itu, bisa diterapkan disini. Kan yang membutuhkan madu banyak. Tak hanya Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Mudah-mudahan ke depan kita bisa ekspor,” katanya dengan nada optimis.

Tegakan pohon yang ada di Hutan Desa Bawan. Foto: Indra Nugraha
Tegakan pohon yang ada di Hutan Desa Bawan. Foto: Indra Nugraha

Jaga Hutan dari Alih Fungsi Lahan

Untung Silaing, Wakil Ketua LPHD Bawan mengatakan, meskipun status kawasan merupakan hutan produksi, tapi masyarakat Desa Bawan sepakat untuk menjaganya. Hal ini tak lepas dari fungsi hutan sebagai tempat berlindung satwa dan penghasil oksigen. Dia pun mengatakan tak mau kawasan hutan itu beralihfungsi, baik untuk perkebunan maupun pertambangan.

“Lima tahun yang lalu ada tawaran dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, tapi kami menolak. Kami tak mau. Kalau sawit ditanam, pasti hutan kita akan dibabat habis,” jelas Untung.

Untung mengatakan, dalam pengelolaan hutan desa ke depannya jelas membutuhkan sumber pendanaan. Baik untuk membangun sarana infrastruktur, kegiatan patroli di hutan dan sebagainya.

Dia berharap, ke depan ada bantuan dari pemerintah atau lembaga lain untuk kelangsungan kegiatan di hutan desa. Promosi dari segi ekowisata juga diharapkan bisa berkontribusi pada kas LPHD sehingga kegiatan seperti apa yang direncanakan bisa berjalan dengan baik. Masyarakat juga bisa diberdayakan sebagai tenaga pemandu wisata.

“Masyarakat peduli api di sini memang belum terbentuk, tapi ke depannya akan dibentuk. Kami terus lakukan sosialisasi ke masyarakat supaya hutan dijaga. Kebun-kebun yang ada [di seputar hutan] jangan dibakar sembarangan. Taat sesuai dengan aturan pemerintah agar tak membakar,” jelas Lilis Suryanie, Sekretaris Desa Bawan.

Lilis mengatakan, sebagian besar pengurus LPHD adalah mereka yang mempunyai kebun karet di area buffer zone hutan desa. Hal itu dilakukan agar mereka juga ikut menjaga kawasan hutan desa.

Proses verifikasi Hutan Desa Bawan. Foto: Indra Nugraha
Proses verifikasi Hutan Desa Bawan. Foto: Indra Nugraha

Mendorong Penetapan Tujuh Hutan Desa

Lilik Sugiarti, Government Specialist USAID LESTARI Lansekap Katingan-Kahayan mengapresiasi adanya Perdes di Desa Bawan yang melarang penebangan pohon, walaupun kawasan itu merupakan hutan produksi dan secara aturan boleh menebang 50 kubik per tahun.  Ia mengaku terkejut dengan hal itu.

“Hutan Desa Bawan bisa menjadi champion. Kesadaran mereka untuk menjaga lingkungannya sudah sangat tinggi. Walaupun saat pertama kali membuat Perdes, mereka tak tahu jasa lingkungan itu apa, hasil hutan bukan kayu, ekowisata juga tak tahu. Tapi niat Pemerintah Desa, LPHD, BPD dan masyarakat di Desa Bawan bahwa ini memang untuk kawasan lindung,” paparnya.

Dalam kegiatan verifikasi tujuh hutan desa yang dilangsungkan pada awal Oktober lalu, selain Desa Bawan, juga terdapat enam desa lain di Kecamatan Banama Tingang untuk tujuan PAK (penetapan Area Kerja) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasil survey potensi tujuh hutan desa itu dilakukan untuk menyusun draft Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD).

Inisiasi untuk mendorong tujuh hutan desa ini dilakukan oleh USAID LESTARI bersama Dinas Perkebunan dan Kehutanan Pulang Pisau, PSKL Kalimantan, Pokker SHK, Yayasan Teropong, YTT, YCI dan sebagainya.

Mereka diantaranya Hutan Desa Hurung seluas 481 hektar, Hutan Desa Lawang Uru seluas 216 hektar, Pangi 145 hektar, Tambak 590 hektar, Tangkahen 357 hektar dan Tumbang Tarusan 1.111 hektar.

Dia pun memuji Pemerintah Desa yang menganggarkan Rp 200 juta untuk pembuatan jalan ke hutan desa. Diantara tujuh hutan desa hanya Desa Bawan yang tidak mengizinkan penebangan hutan.

“Sekdes Desa Bawan bilang bahwa ke depan jalan menuju ke sini akan diusulkan ke kabupaten untuk diperbaiki. Kalau pihak Pemkab tak merespon, maka akan dianggarkan dari dana desa. Ini yang seharusnya juga bisa dicontoh oleh LPHD yang lainnya,” ucapnya.

Sementara itu Nisfu Kusuma Restu, Kepala Seksi Konservasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Pulang Pisau mengatakan, proses percepatan untuk pengesahan ketujuh hutan desa itu dapat dilakukan lewat kolaborasi para pihak.

“Kunci supaya cepat itu kolaborasi dan koordinasi. Jadi kami lebih aktif untuk mendorong hal itu dengan semua pihak. Setelah verifikasi, sepengetahuan saya biasanya satu sampai dua bulan lagi akan keluar PAK dari Menteri LHK. Ini bisa cepat bisa jadi ada kaitannya dengan program presiden Jokowi yang mengalokasikan 12,7 juta hektar untuk perhutanan sosial. Namun, masyarakatnya sendiri juga harus pro aktif,” tutup Restu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,