Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) didesak untuk segera memulai penggantian alat tangkap cantrang dengan alat tangkap lain yang lebih ramah lingkungan di seluruh Indonesia. Hal itu, karena akhir 2016 ini, tenggat waktu untuk sosialisasi pelarangan alat tangkap cantrang akan berakhir.
Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim kepada Mongabay awal pekan ini. Menurut dia, KKP harus segera bergerak, karena mulai 1 Januari 2017, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan alat tangkap cantrang akan resmi diberlakukan.
“Harus ada jaminan untuk dibantu penggantian alat tangkap cantrang. Karena, biayanya itu tidaklah murah,” ungkap dia.
Halim menyebutkan, dari janji yang sudah sering dipaparkan KKP, penggantian alat tangkap cantrang akan diberikan penuh kepada kapal di bawah 10 gros ton (GT). Sementara, untuk kapal yang kapasitasnya di atas 10 GT, KKP berjanji akan memfasilitasinya dengan memberikan bantuan melalui perbankan.
“Ini jangan sampai memicu konflik sosial setelah Permen KP No 2 Tahun 2015 diberlakukan. Karena, penggantian alat tangkap ini tidak sesederhana yang dipikirkan,” ungkap.
Menurut Halim, dengan ada bantuan dari Pemerintah secara langsung saja, potensi konflik sosial akan tetap ada. Apalagi, jika bantuan tidak ada dari Pemerintah, pasti potensinya semakin besar,” tutur dia.
Yang dimaksud dengan potensi konflik, menurut Halim, adalah karena alat cantrang sejak lama sudah menjadi alat tangkap tradisional di sejumlah daerah, terutama di Provinsi Jawa Tengah yang membentang di sepanjang Pantai Utara Jawa.
“Karena sudah terbiasa sejak lama, maka harus ada pendekatan yang tepat. Penggantian alat cantrang harus dilakukan dengan hati-hati dan bijak,” jelas dia.
Bukti belum adanya proses penggantian, Halim mencontohkan, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, hingga saat ini masih banyak kapal yang dilabuhkan di pelabuhan lokal setelah alat tangkap cantrang dilarang. Fakta tersebut, kata dia, menjelaskan bahwa penggantian cantrang belum juga dilakukan.
“Jika sudah dilakukan, kapal-kapal tersebut tentu tidak akan diam saja di pelabuhan. Kapal-kapal tersebut pasti akan kembali ke lau untuk menangkap ikan,” papar dia.
“Kapal-kapal tersebut berhenti. Karena mereka tahu, jika tetap melaut, mereka bisa saja ditangkap oleh aparat,” tambah dia.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Nimmi Zulbainarni mengatakan, pemberlakuan Permen KP No 2 Tahun 2015 sangatlah tidak tepat diterapkan di Indonesia. Menurutnya, alat tangkap cantrang di masyarakat Indonesia sudah memiliki keterikatan histori yang sangat kuat.
“Cantrang itu harusnya bisa tetap beroperasi. Hanya, Pemerintah harus membuat regulasi untuk mengatur dan menjaga populasinya. Cantrang itu tidak bisa bebas pertumbuhannya dan harus dibatasi,” jelas dia.
Dalam regulasi tersebut, menurut Nimmi, juga bisa diatur tentang waktu operasional untuk seluruh kapal yang menggunakan cantrang. Hal itu dimaksudkan, agar cantrang bisa digunakan pada saat yang tepat dan lokasi yang pas.
“Dengan demikian, prinsip perikanan keberlanjutan juga bisa tetap diterapkan meski cantrang juga beroperasi. Ini yang harus dipikirkan oleh Pemerintah Indonesia. Jangan asal larang saja,” tanda dia.
Nimmi menyebut, saat ini ada banyak negara yang masih tetap mengizinkan operasional alat tangkap di wilayah perairannya. Hanya saja, negara-negara tersebut dengan tegas memberlakukan peraturan untuk mengendalikan cantrang secara penuh.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Peningkatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo sudah mengeluarkan janjinya untuk mengganti alat tangkap cantrang yang dinilai tidak ramah lingkungan dengan mendekati berbagai perbankan.
“KKP akan mengganti semua alat tangkap cantrang bagi kapal di bawah 10 GT,” ucap dia.
Selain kapal berukuran di bawah 10 GT, Nilanto juga menjanjikan akan membantu kapal di atas 10 GT untuk bisa mendapat fasilitas bantuan penggantian alat tangkap cantrang. Untuk itu, pihaknya menggandeng perbankan nasional untuk memberi fasilitas kredit kepada pemilik kapal dan sekaligus melakukan restrukturisasi utang.
Rapor Merah untuk Susi Pudjiastuti
Berkaitan dengan kinerja KKP selama dua tahun masa kerja di bawah kabinet pimpinan Presiden RI Joko Widodo, KIARA dan MPN secara bersamaan memberikan penilaian buruk atas kinerja Susi Pudjiastuti yang memimpin KKP dalam dua tahun terakhir.
KIARA dan MPN yang ditemui Mongabay secara terpisah, menyebutkan, rapor merah yang didapat Susi, karena banyak kegagalan yang diraih KKP selama dua tahun terakhir. Kegagalan tersebut, menurut Abdul Halim dari KIARA, adalah kinerja anggaran, kinerja kebijakan, dan kinerja pengawasan.
“Untuk anggaran saja, KKP gagal menyerapnya dengan baik. Terlepas dari alasan mereka bahwa itu karena untuk berhemat. Tapi, sebuah insitutusi Pemerintah gagal menyerap anggaran dengan baik, itu adalah kinerja yang buruk,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua MPN Ono Surono menyatakan, kepemimpinan Susi Pudjiastuti dinilai gagal, karena selama dua tahun gagal mengakomodasi kebutuhan dari pengusaha dan nelayan yang menjadi stakeholder perikanan nasional.
Di antara yang menjadi keluhan tersebut, menurut Ono, karena KKP dinilai sangat lambat mengimplementasikan Instruktusi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan industri perikanan nasional. Lambatnya reaksi KKP tersebut, mengakibatkan industri perikanan kondisinya semakin memburuk.
Selain fakta tersebut, Ono menyebutkan, kegagalan juga diperlihatkan KKP dalam raihan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam dua tahun terakhir. Hingga semester 1 2016, PNBP baru mencapai Rp168,64 miliar dari target Rp693 miliar atau hanya mencapai 24,33 persen saja.
“Yang lebih parah, pada 2015 PNBP dari sektor perikanan dan kelautan hanya mencapai Rp77,48 miliar dari target Rp578 miliar. Itu artinya, pada tahun tersebut PNBP hanya sanggup meraih 13,40 persen saja,” terang dia.