Sukses Silangkan Padi Lokal, Beatrix Rika pun Diganjar Penghargaan Perempuan Pejuang Pangan

Meskipun sering bersentuhan dengan urusan budidaya tanaman pangan, ternyata tidak seluruh petani mampu untuk membuat varietas padi sendiri. Ancaman kegagalan dan hama penyakit membuat petani lebih banyak tergantung kepada jenis padi yang ditawarkan oleh korporasi maupun dinas pertanian. Di sisi lain, minat petani untuk mengidentifikasi benih padi lokal yang hampir punah pun menjadi surut.

Namun, masih ada petani yang mau meluangkan waktunya menjadi pemulia padi. Sedikit daripadanya adalah Beatrix Rika, petani perempuan peneliti asal Lekebai, Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka.

Dengan ketekunannya, dia tak putus mencoba menyilangkan antar varietas padi lokal. Menurutnya, kegiatan ini merupakan wujud konkret dari perwujudan kedaulatan benih dari petani.

Saat dijumpai oleh Mongabay Indonesia (14/10) Beatrix menjelaskan, alasan dirinya tertarik untuk membuat varietas padi lokal di daerahnya, setelah mendengar ada petani lokal, Mathias Pagang asal Manggarai Barat yang mampu melakukannya.

Difasilitasi oleh organisasi pendamping masyarakat Wahana Tani Madiri (WTM), awalnya dia dan lima orang petani lainnya mengikuti pelatihan pemulian benih yang diselenggarakan oleh organisasi ini.

“Kami diberi tugas mengidentifikasi dua varietas padi lokal yang akan dikawin silang. saya pilih jantannya padi lokal pare kupa dan betinanya ciherang,” ungkap Beatrix.

Dua varietas padi itu memiliki perbedaan fisik, padi kupa memiliki tinggi 120 cm dan ciherang 80 cm. Adapun padi kupa daunnya hijau panjang melengkung, sementara ciherang hijau pendek tak melengkung. Warna batang kupa hijau tua cokelat sementara ciherang hijau muda putih.

Selama mengikuti proses pemuliaan padi, Beatrix melakukan pengamatan di sawah dan mendapati hama yang menyerang padi kupa yakni walang sangit dan hama penggerek batang, sedangkan padi ciherang hanya walang sangit. Dia pun mencatat tanggal berbunga kedua jenis padi ini dan menghitung jumlah malai per rumpunnya.

Dari hasil pengamatannya, jumlah bulir per malai padi kupa 185 bulir sedangkan ciherang 175 bulir. Dengan bentuk gabah kupa, kecil panjang warna kulit belang-belang sementara ciherang besar, putih polos.

Saat melakukan penyerbukan dia menggunakan wadah kertas yang dilipat segi tiga yang telah berisi jantan 3 tangkai yang satu tangkainya terdapat 3 bulir padi. Padi jantan tersebut dimasukan ke kertas yang dilipat lalu dimasukan ke bulir betina.

“Harus tidak boleh ada angin. Setelah itu hasil penyerbukan saya bungkus memakai kertas cokelat dan ditutup dengan plastik hitam,” terangnya mengenang.

Dari hasil persilangan ini, Beatrix telah menghasilkan padi yang memiliki karakteristik berbeda dengan induknya, dimana varietas padi ini tahan rebah dan berbunga lebih cepat.

Selanjutnya, hasil kawin silang padi tersebut dinamakan padi 3S singkatan dari Sega, Sola, Sena, yang merupakan nama-nama kerabatnya.

Beatrix pun telah menghasilkan 40 inang padi yang telah ditanam, yang saat ini telah berumur 1 bulan. Penanaman ke 40 padi ini pun dipisahkan dari padi lain agar sifat dan ciri yang dimilikinya dapat terpantau dan teridentifikasi.

“Hasil padi hasil kawin silang lebih cepat keluar anak. Baru 26 hari sudah mulai mengeluarkan 4 anak sementara yang induknya 44 hari baru keluar anak,” ungkapnya bangga. Dia mengaku sempat menangis bahagia, saat melihat padinya tumbuh.

Dia pun berharap petani  kedepannya harus lebih memilih benih lokal, selain lebih mudah mendapatkan benihnya, petani pun bisa memilih benih lokal yang dihasilkan dari petani sendiri dan dari daerahnya, sehingga tidak hanya berharap bantuan benih dari pemerintah saja.

Beatrix Rika (tengah) bersama anggota kelompok taninya sedang mengecek padi hasil kawin silang yang sudah ditanam di sawah. Foto: Ebed de Rosary
Beatrix Rika (tengah) bersama anggota kelompok taninya sedang mengecek padi hasil kawin silang yang sudah ditanam di sawah. Foto: Ebed de Rosary

Bukti Bahwa Petani Mampu

Menyambut keberhasilan ini, Hery Naif, Kordinator Advokasi, Riset dan Pengelolaan Lingkungan WTM menjelaskan, dengan keberhasilan kawin silang padi, pihaknya ingin menunjukkan bahwa bukan hanya peneliti dan para ahli dari lembaga peneliti atau perusahaan benih saja yang mampu melakukannya. Namun, ternyata petani pun bisa melakukan kawin silang dan pemulihaan benih.

“Kami mengajak petani untuk mencintai pangan lokal secara husus mencintai benih lokal, varietas lokal karena ketersedian bibit ada di dalam rumah,” harapnya.

Benih dari luar menurutnya, belum tentu bisa beradaptasi dengan kondisi lahan di NTT yang memiliki curah hujan yang rendah, malah yang terjadi menjadi ancaman bagi benih-benih lokal yang menuju kepunahan. Lebih lanjut, ritual adat pun, dengan sendirinya akan hilang karena punahnya varietas lokal yang ada.

Carolus Keupung, Direktur WTM menambahkan bahwa upaya ini menunjukkan bahwa petani mampu berdaulat terhadap benih tanaman yang dibudidayakannya.

“Bila tidak dilakukan, petani semakin tidak berdaulat dengan benih dan pastinya akan terus dililit dalam jeratan kapital atau korporasi,” ungkapnya.

Dari hasil ketekunannya, pada hari pangan sedunia 16 Oktober 2016 lalu, Beatrix dan delapan perempuan lainnya meraih penghargaan perempuan pejuang pangan yang diselenggarakan oleh Oxfam.

“Berinvestasi pada perempuan pejuang pangan berkontribusi besar dalam upaya mengakhiri kelaparan di komunitas dan dapat menghindarkan masyarakat dari dampak perubahan iklim secara global,” jelas Dini Widiastuti, Direktur Program Keadilan Ekonomi Oxfam di Indonesia, menjelaskan mengapa peran perempuan penting dalam ketahanan pangan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,