Soal Isu Lingkungan, Berikut Rekomendasi Para Santri

Sebanyak 750 santri dari 336 pesantren se-Jawa dan Madura, berkumpul di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin-Cirebon pada 20-22 Oktober 2016. Mereka berkumpul dalam gelaran Batsul Masail, kegiatan yang diselenggarakan Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) guna membahas beragam permasalahan di tanah air mulai tax amnesty, Pokemon Go, tenaga kerja asing hingga persoalan lingkungan.

Soal lingkungan, ada tiga poin jadi fokus pembahasan mereka, terkait reklamasi, bahaya limbah dan mineral dan batubara. Pembahasan-pembahasan itu berjalan dengan mengedepankan semangat I’tiradl (perdebatan argumentatif), tetapi tetap berorientasi kepada kutub at turats atau kitab kuning.

“Selama 30 tahun gelaran bahtsul masail, ini pertama kali diselenggarakan di Jawa Barat. Permasalahan yang dibahas sangat beragam. Beberapa sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tema dalam forum bahtsul masail merupakan pertanyaan yang disodorkan masing-masing pesantren. Kemudian dipilah sebelum menjadi tema bahasan dalam bahtsul masail,” kata Ketua Panitia Bahtsul Masail, Dr. KH. Arwani Syaerozie dalam rilis kepada Mongabay.

Juru Bicara FMPP, Jamaluddin Mohammad, saat dihubungi Mongabay mengatakan, masing-masing tema dibahas santri dengan perdebatan cukup panjang. Pendapat-pendapat mereka merujuk pada al-quran, hadits, ushul fiqh dan pendapat beberapa ulama. Dari perdebatan-perdebatan itu, akhirnya menghasilkan beberapa rekomendasi.

Rekomendasi pertama, terkait reklamasi. “Intinya kami memandang dari sudut maslahat dan mudharat. Reklamasi ini kami lihat lebih banyak mudharat daripada maslahat. Indonesia kan sebenarnya tak memerlukan reklamasi atau membuat pulau baru. Indonesia bukan negara kontinental, tetapi maritim. Negara sudah banyak pulau, tak penting lagi membuat pulau atau daratan baru,” katanya.

Soal Reklamasi,  katanya, harus dilihat dari berbagai sisi, dari sosial dan budaya, sampai lingkungan.  Reklamasi bisa merusak ekosistem.

“Contoh dari sisi sosial dan budaya, kita lihat reklamasi Teluk Benoa. Ada salah satu tempat disitu dianggap sakral. Dengan reklamasi, akan menghilangkan tempat itu. Segi lingkungan, reklamasi bisa mengubah ekosistem laut sekitar. Karena ada bahaya lebih banyak ini, secara kaidah, kebijakan ini nggak penting-penting amat. Malah banyak mudharat,” katanya.

Beginilah kerusakan kala gunung malah jadi tambang emas. Ini kondisi muara Pulau Merah yang berwarna cokelat. Terlihat dalam gambar, bocah-bocah bermandikan lumpur. Foto diambil 16 Agustus 2016. Foto: Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando
Beginilah kerusakan kala gunung malah jadi tambang emas. Ini kondisi muara Pulau Merah yang berwarna cokelat. Terlihat dalam gambar, bocah-bocah bermandikan lumpur. Foto diambil 16 Agustus 2016. Foto: Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando

Untuk reklamasi yang sudah berjalan, lahan tak boleh dimiliki perorangan atau perusahaan tetapi harus negara, hak milik bersama. Bukan malah diperjualbelikan atas nama perorangan ataupun perusahaan.

“Seperti reklamasi di Jakarta yang sudah berjalan. Lahan tak boleh dijual pribadi harus dimiliki oleh negara.”

Kedua, ancaman limbah pabrik. Menurut dia, para santri yang ikut gelaran ini sepakat dalam mendirikan pabrik jangan sampai mengancam lingkungan. Hal itu, katanya, jelas sesuai Al-Quran surat Al-A’raf ayat 56 bahwa jangan merusak bumi.

“Kalau soal limbah, industri harus mengelola limbah jangan sampai menimbulkan kerusakan ekosistem alam sesuai peraturan pemerintah. Wa laa tufshiduu fil ardi ba’da islaahiha. Tak boleh merusak bumi, merusak alam setelah Allah memberikan manfaaat-manfaat dari alam itu. Jadi pembangunan harus tetap melihat manfaat dan mudharat yang ditimbulkan. Pembangunan tak boleh semena-mena hingga merusak masa depan manusia,” katanya.

Menurut dia, pembangunan harus menerapkan konsep berkelanjutan dan mempertimbangkan keteraturan. Kalau tak begitu, manusia akan musnah. Dia berkaca pada kondisi beberapa pabrik skala kecil pengolahan batu alam di Palimanan, Cirebon. Pabrik-pabrik itu, katanya, merugikan lingkungan sekitar.

“Limbah dibuang ke sawah dan kali hingga air menjadi keruh, tak bisa lagi digunakan masyarakat. Ada ratusan hektar lahan rusak terkena limbah. Satu sisi perusahaan itu oke menguntungkan, membuka lapangan pekerjaan. Jangan lupa, juga harus mempertimbangkan lingkungan. Batu-batu yang diambil itu seharusnya tak merusak gunung.”

Ketiga, soal ekspor bahan mentah minerba. Dia melihat, pemimpin negara harus memprioritaskan rakyat. Ketika ekspor minerba, hanya akan menguntungkan negara lain dan menciptakan ketergantungan terhadap negara lain.

“Rekomendasi, haram hukumnya pemerintah mengekspor bahan baku mentah. Sejahterakan negara sendiri sebelum mensejahterakan negara lain. Perusahaan tambang harus membangun smelter,” katanya.

Mengenai bahaya pertambangan, kata Jamaluddin, itu kembali pada prinsip pembangunan berkelanjutan yang tak boleh merusak lingkungan. Pembangunan,  termasuk pertambangan, harus mempertimbangkan aspek-aspek kelanjutan alam semesta.

“Tuhan menciptakan bumi dengan baik, kita sebagai manusia tak boleh merusak kebaikan itu. Kami berharap, rekomendasi kami bisa menjadi dasar pemerintah mengambil kebijakan. Semoga rekomendasi kami ini ditindaklanjuti.”

Jamaludiin mengatakan, rekomendasi-rekomendasi itu dalam waktu dekat segera diserahkan kepada para pemangku kebijakan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DPR, Komnas HAM dan lain-lain.

Tema-tema lain yang dibahas dalam gelaran ini seperti soal buruh asing, status kewarganegaraan pelaku tindak pidana terorisme, implementasi resolusi jihad di era modern, Piagam Madinah sebagai konstitusi negara untuk masyarakat plural, perda syariah dan lain-lain.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,