Semangat Tanpa Lelah Herfin Yulianto Mendirikan Museum Orangutan

Herfin Yulianto (45) duduk di teras rumahnya, mengawasi dua pria yang asik mengaduk semen. “Ini Bang Amat, dia menyumbangkan karyanya berupa patung orangutan,” terang Herfin, mengenalkan rekannya itu.

Amat Zober (35), rekan Herfin, adalah pematung yang kerap mengerjakan relief untuk taman atau monumen. Herfin dan Amat merupakan sahabat yang berjumpa di media sosial. Amat menyumbangkan karyanya itu memang untuk Museum Orangutan.

Proses kreatif membuat patung orangutan itu makan waktu empat hari. Paling susah bagian muka. Saya harus lihat foto dari internet agar detil. “Jemari orangutan, harus lebih panjang dari jari manusia. Demikian pula raut wajahnya,” tutur Amat.

Pertemanan mereka ini disatukan oleh kecintaan terhadap seni dan sumber daya alam Kalimantan Barat. Herfin sendiri pegiat wisata. Melalui website www.tamasyapuriwisata.com, Herfin menggagas Museum Orangutan. Idenya diilhami dari Meuseum Kuching di Sawarak, Malaysia. “Orangutan harus diselamatkan. Perburuan dan pembunuhan harus ditekan,” paparnya baru-baru ini.

Apa yang disebut Herfin sebagai museum adalah ruangan 3×6 meter. Bekas garasi rumahnya yang disulap. Lantai kayunya dilapisi karpet plastik. Dua buah meja kerja dijajarkan sebagai etalase. Beberapa lukisan tersandar di palang kayu, tulang penyangga dinding. Beberapa lagi dijajarkan di lantai. Ada bangku plastik merah, yang masing-masing dudukannya digelar sketsa orangutan.

Herfin tidak menampik museumnya sangat sederhana. Namun, dia tidak malu akan kondisi tersebut. “Saya orang yang menikmati proses. Mimpi besarnya adalah museum besar. Menampung banyak karya terkait orangutan,” imbuhnya. Awalnya, Herfin mengungkapkan ide itu di jejaring sosial serta di website travelnya. Dia mengutarakan, menerima semua karya para seniman Kalbar terkait orangutan, dalam bentuk hibah. Dia juga menerima donasi untuk pengelolaan museum.

Sketsa orangutan yang ada di Museum Orangutan milik Herfin Yulianto. Foto: Putri Hadrian
Sketsa orangutan yang ada di Museum Orangutan milik Herfin Yulianto. Foto: Putri Hadrian

Walau saat ini belum ada yang memberikan donasi dalam bentuk uang, Herfin bertekad membuat sistem pelaporan transparan untuk penggunaannya. Sampai kini, museumnya telah memiliki 23 karya tentang orangutan. Beberapa nama yang karyanya dipajang adalah  Herly Gaya (Jogjakarta), Pradono (Pontianak), Agus Maryadi (Kapuas Hulu), Bing Purwanto (Sanggau), Hidayat (Pontianak), Kirana Kejora (Jakarta), dan Indra Vijaya Ae’ (Pontianak). Ada juga Ivo Trias J (Pontianak), Reza Pahlevi (Pontianak), Rudie Azbunt (Pontianak), Chandra (Pontianak), Suparman (Pontianak) and Sugeng Hendratno (Pontianak).

Satu karya lainnya, datang dari Belgia. Seorang pegiat wisata bernama Frank Camille Guy, menyumbangkan lukisan dengan pencil, seukuran kertas A3. Karya tersebut dipaketkan Guy melalui pos, yang tiba di Kalimantan Barat sebulan lalu. Herfin sempat cemas, paket tersebut nyasar karena Guy sendiri bolak-balik bertanya. Ketika sampai, Herfin segera memberi figura pada lukisan tersebut dan memajangnya.

Sebuah karya unik di museum tersebut adalah sepasang sendal jepit, yang menjadi media ukir bergambar orangutan. Hasil karya Chandra, berjudul Fate of Orangutan Like Slippers. Teknik pembuatannya dengan menoreh permukaan sandal jepit, menggunakan pisau atau cutter, membentuk tekstur bulu tubuh orangutan.

Demikian pula dengan mata orangutan yang tercetak di sandal tersebut. Ada tatapan kesendirian, saat terpisah dari induknya. Anak orangutan memang baru bisa hidup mandiri setelah usia 7 tahun.

Untuk mengunjungi museum, Herfin memungut biaya sebesar Rp50 ribu. Donasi tersebut digunakannya untuk membangun ruangan yang lebih baik sebagai museum. Pengunjung juga akan disuguhi minuman ringan, serta bebas membawa kamera. Museum Orangutan buka setiap hari, Senin sampai Minggu, mulai jam 13.00 hingga 17.00 WIB. Namun, pengunjung harus membuat janji, menelepon atau  mengirim email ke  [email protected]. “Kami tidak dapat melayani maksimal tamu tanpa konfirmasi,” tukas Herfin.

Herfin Yulianto yang bertekad mendirikan Museum Orangutan. Foto: Putri Hadrian
Herfin Yulianto yang bertekad mendirikan Museum Orangutan. Foto: Putri Hadrian

Karya

Karya Herfin sendiri adalah foto dramatis yang memperlihatkan tengkorak kepala orangutan yan dikeliling tengkorak kepala kera. Di foto tersebut terlihat juga topi dengan bulu dan paruh enggang sebagai hiasan. “Di foto ini, ornamen orangutan jadi hiasan,” tambahnya.

Herfin sedih ketika melihat tujuh tengkorak kepala orangutan asli, ratusan kepala tengkorak kera, dan ratusan paruh enggang dijadikan pengikat kepala. Dilema, perasaannya saat hendak menekan tombol kamera. Menurutnya, kegiatan melibatkan satwa dilindungi sebagai atribut pakaian sudah tidak relevan lagi.

Sebuah foto berjudul, The Missing Orangutan, milik Agus Maryadi juga menyimpan kisah unik. Menurut Agus, foto tersebut diambil diam-diam di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Tepatnya, di Kecamatan Badau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 2015 lalu.

Saya melihat satu anakan orangutan di rumah warga. “Saya harus bergerak cepat, takut ketahuan pemiliknya,” katanya. Selanjutnya, Agus menghubungi teman aktivisnya di ibu kota kabupaten. Rekannya menyanggungi untuk mengevakuasi anak orangutan itu.

Selang tiga hari, Agus menerima kabar bahwa tim yang ke lokasi tidak menemukan orangutan tersebut. Yang ada hanya kotoran dan sisa makanan. “Saya hanya bisa membatin, mungkin orangutan itu sudah dijual untuk dijadikan satwa peliharaan. Atau mungkin, mati karena tidak dapat bertahan hidup tanpa induknya,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,