Tukar Sampah dengan Baskom, Solusi Sampah di Pulau Badi

Pulau-pulau kecil selalu identik dengan kekumuhan dan kotor akibat sampah-sampah kiriman dari berbagai tempat. Di Pulau Badi, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, Marliati justru melihat sampah-sampah ini sebagai berkah, sumber pendapatan baru bagi masyarakat setempat.

Ketika Mongabay berkunjung ke pulau yang berwaktu tempuh sekitar 30 menit dari Kota Makassar ini, awal Oktober 2016 lalu, Marliati sedang sibuk merapikan sampah-sampah yang berserakan di sekitar bank sampah yang dikelolanya. Di bank sampah tersebut, sampah-sampah telah dipisahkan sesuai jenisnya, terdiri atas sampah plastik, botol dan besi atau alumunium.

“Di sini sudah ada pemisahan sampah-sampah. Ini kan banyak yang sampah plastik. Dari pengumpul itu biasanya campur-campur, jadi di sini kita pisah, selain plastik, besi dan botol. Kita ratakan harganya Rp1000 per kg,” katanya.

Menurut Marliati, sebelum bank sampah tersebut berdiri, sekeliling pulau tiap harinya penuh sampah kiriman dari berbagai penjuru. Dibiarkan menumpuk mengotori pantai. Volume sampah kiriman biasa melonjak di musim angin barat atau angin kencang dan ketika ada acara pesta pengantin, baik di pulau tersebut ataupun di pulau lain yang bersebelahan.

“Kalau dulu dianggap masalah, sekarang justru dianggap berkah, malah kita yang justru kebingungan mencari sampah,” tambah Marliati sambil tertawa.

Tidak hanya dari pantai, sampah-sampah ini juga diangkut dari rumah-rumah warga. Kalau dulunya warga membuang begitu saja di tempat penampungan atau membakar, sekarang mereka mengumpulkannya hingga jumlahnya cukup banyak untuk dijual.

“Kalau sampah sudah banyak kami jemput dengan gerobak. Mereka tinggal menghubungi kami. Dalam seminggu kita bisa kumpul sampah hingga 20 kg, tapi kadang juga bisa sampai 70 kg kalau musim barat.”

Menurut Marliati, keberadaan bank sampah tersebut telah diketahui oleh seluruh penduduk pulau, hanya saja mereka memang belum terlalu fokus.

Sampah ini dijual ke pengumpul di Makassar seharga Rp1500 per kg. Biaya pengiriman gratis karena biasanya sampah tersebut dititipkan di perahu yang sedang berlayar ke Makassar. Kadang juga dititip ke relawan dari Eco Natural yang kebetulan sedang berkunjung ke pulau.

Untuk pengelolaan bank sampah itu sendiri, Marliati banyak dibantu oleh iparnya Hasmiah dan kadang dibantu suami jika tak sedang melaut dan anak-anaknya.

Sempat ditolak warga

Memulai usaha jual beli sampah ini ternyata bukan perkara yang mudah. Pada 2015 tahun lalu, ketika Eco Natural, sebuah NGO yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan PT Mars Symbioscience Indonesia menawarkan program bank sampah ini ke masyarakat, tidak mendapat respon yang positif.

Dengan konsep Bank Sampah, hasil penjualan sampah tidak langsung diberikan namun disimpan dalam bentuk tabungan, yang bisa diambil setelah sebulan. Kini sudah ada 25 warga yang memiliki buku rekening tabungan ini. Foto: Wahyu Chandra
Dengan konsep Bank Sampah, hasil penjualan sampah tidak langsung diberikan namun disimpan dalam bentuk tabungan, yang bisa diambil setelah sebulan. Kini sudah ada 25 warga yang memiliki buku rekening tabungan ini. Foto: Wahyu Chandra

Ketika informasi bank sampah tak terurus ini sampai ke telinga Marliati, perempuan istri nelayan ini segera mengajukan diri untuk menjadi pengelola.

“Tak ada yang mau kelola karena mereka merasa risih jual beli sampah, dianggap sebagai pekerjaan yang hina dan kotor. Kadang juga ada yang tanya tidak malu kah jual-jual sampah. Tapi saya bilang yang penting halal.”

Di awal program, selain bangunan bank sampah, Marliati mendapat bantuan dana sebesar Rp500 ribu, yang digunakan untuk membeli sampah. Pihak Eco Natural juga memfasilitasi menghubungkan Marliati dengan pedagang pengumpul sampah di Makassar.

“Modal awal itu dikasih Rp500 ribu, lalu ada tambahan Rp200 ribu jadi totalnya Rp700 ribu. Semuanya kita gunakan untuk modal usaha. Dana ini yang kita putar terus.”

Marliati tidak merasa terbebani karena hanya dijadikan pekerjaan sampingan saja.

“Jadi kalau pagi kita mulai kerja dan lanjut lagi kalau sore. Jadi kalau jam 4 suami sudah melaut kita mulai kerja sampah ini,” tambahnya.

Keberadaan bank sampah ini sempat ditolak karena adanya salah persepsi warga. Dalam pandangan warga, bank sampah tersebut adalah tempat yang kotor, kumuh dan bau, seperti tempat pembuangan sampah limbah pada umumnya.

“Dulu bank sampahnya sudah diangkat kesana kemari karena tidak ada yang mau kelola. Mereka pikir yang akan dikelola adalah sampah berupa limbah yang bau dan kotor.”

Persepsi keliru warga perlahan berubah ketika bank sampah tersebut ternyata kondisinya sangat bersih dan terawat. Tak ada sampah yang berserakan. Apalagi kemudian bisa menghasilkan uang.

“Hanya saja memang warga di sini belum banyak yang mau repot-repot mengumpulkan sampah di rumahnya untuk dijual. Mungkin merasa risih dan malu makan dari hasil sampah.”

Dengan kesadaran yang masih rendah ini, dalam sebulan volume sampah yang bisa dikumpulkan Marliati baru sekitar 200-an kg. Sebagian besar masih bersumber dari sampah yang dikumpulkan di pinggir pantai dan jalanan-jalanan kampung. Hanya saja, keberadaan bank sampah ini membuat kondisi pesisir jauh lebih bersih dari sebelum-sebelummnya.

Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang dulunya penuh dengan sampah plastik kini mulai bersih. Sampah-sampah biasanya datang dari daratan atau pulau lain sekitar atau ketika ada pesta pengantin. Foto: Wahyu Chandra
Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang dulunya penuh dengan sampah plastik kini mulai bersih. Sampah-sampah biasanya datang dari daratan atau pulau lain sekitar atau ketika ada pesta pengantin. Foto: Wahyu Chandra

“Selain kami pengurus, ada sejumlah warga yang rajin keliling kampung mengumpulkan sampah setiap hari. Mereka memang kini sepenuhnya bergantung hidup dari hasil jual sampah ini.”

Marliati juga cukup terbantu dengan adanya Pramuka Laut yang secara rutin setiap minggu mengumpulkan sampah dan mengelola bank sampah tersebut.

“Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok misalnya yang bertugas di bank sampah. Jadi mereka ikut membantu juga.”

Proses penjualan sampah di bank sampahini adalah sampah-sampah yang terkumpul langsung dipilah dan dipisah berdasarkan jenisnya, sebelum ditimbang dan dicatat dalam buku tabungan khusus.

“Konsep dari Eco Natural sebenarnya agar uang hasil penjualan sampah itu disimpan dulu hingga terkumpul banyak. Mereka baru bisa ambil sebulan kemudian. Hanya saja konsep ini belum sepenuhnya bisa dilaksanakan karena warga umumnya mau langsung dapat uang. Ada uang ada barang,” jelas Marliati.

Eco Natural membantu menyediakan buku tabungan khusus, seperti halnya buku tabungan bank.

“Dari puluhan warga yang telah menjual sampah pada kami, tidak semuanya kita kasih buku tabungan, baru 25 orang yang kita kasih. Hanya yang rutin menjual saja. Tapi semua orang yang jual sampah tetap kita catat namanya di pembukuan.”

Selain membayar sampah dengan uang tunai, Marliati juga menerapkan sistem barter sampah dengan peralatan rumah tangga.  Misalnya 5 kg ditukar dengan 1 baskom besar.

“Sistem barter ini sudah kami jalankan. Jadi hasilnya bisa langsung kelihatan, karena kalau uang kan kadang langsung habis saja dan terlihat sedikit.”

Menurut Lili Damayanti, fasilitator PT Mars Symbioscience Indonesia di Pulau Badi, program bank sampah ini dalah salah satu program CSR perusahaan yang dikerjasamakan dengan Eco Natural. Selain bank sampah mereka juga sedang mengembangkan pertanian hydroponic dan pembangunan alat pembakaran sampah yang disebut incinerator.

“Tujuan kita adalah bagaimana kemudian agar pulau ini bisa menjadi bersih sekaligus memberi manfaat kepada masyarakat. Dan agar masyarakat juga bisa sadar agar pulau mereka tetap bersih.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,