Pada, 23 Oktober 2016, Andry Karyo, warga Seko, menghubungi saya melalui pesan pendek mengabarkan perjalanan dari Masamba menuju Makassar. Dia menggunakan kendaraan roda empat, berjarak tempuh sekitar 350 kilometer.
“Dalam rangka apa ke Makassar?” tanya saya.
“Mau melapor ke Polda karena masyarakat dipukuli petugas dalam tahanan,” balas Andri.
“Masyarakat yang menolak PLTA 11 orang, ditahan di Polres Masamba.”
“Saya belum tahu kapan pulang, mau urus teman-teman dulu.”
Percakapan kami usai.
Baca juga: Ketika PLTA Datang, Ketenteraman Warga Seko Hilang
***
Pada Agustus 2016, di Desa Tana Makaleang, Seko Tengah, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dari informasi ada ratusan warga menolak pembangunan PLTA PT Seko Power Prima.
Dari desa warga berjalan menuju Pohoyaang dan Ratte, tempat perusahaan eksplorasi dan kelak jadi rumah turbin (power house).
Warga meminta setop kegiatan. Mereka membongkar tenda dan melipat dengan rapi. Tanah dan beberapa batuan hasil eksplorasi dibuang kembali warga ke aliran sungai. Bahkan warga membantu karyawan mengangkat barang perusahaan ke mobil.
Bagi warga, meminta perusahaan menghentikan kegiatan adalah sah, karena wilayah eksplorasi mereka berada dalam kawasan adat, dimasuki tanpa izin.
Buntut aksi ini, 11 warga ditetapkan sebagai tersangka. Acuan Kepolisian Resort Luwu Utara, melalui AKBP Muh Endro sebagai Kapolres pada 25 Oktober 2016 seperti dalam situs inputsulsel mengatakan, warga menolak telah merusak basecamp perusahaan.
Warga telah mengusir karyawan perusahaan. Menurut Endro, 11 warga ditahan akan dijerat pasal berlapis tentang perusakan dan perampasan kemerdekaan. Ancaman hukuman lebih lima tahun penjara.
Saya mencoba menghubungi Kapolres Luwu Utara pada 28–29 Oktober 2016, namun hingga menjelang sore, tak ada konfirmasi. Sekitar pukul 11.58, Muh Endro mengirimkan pesan singkat, “Saya lagi di acara orang nikah, nanti saya hubungi.”
Pada pukul 13.40, saya kembali menghubungi Endro. “Maaf saya masih di kawinan. Soal konfirmasi, nanti saya telepon ya dinda (adinda),” katanya ramah. Hingga pukul 15.00, tak ada jawaban.
Saya berbicara dengan Desma melalui sambungan telepon. Dia adik Andri Karyo yang kini bermukim di Toraja. Ketika mendengar penangkapan, dia ke Masamba menjenguk keluarga.
“Sebelas orang itu keluarga saya. Semua sama,” katanya.
“Di Seko, kami semua keluarga. Saya datang menjenguk. Mau lihat keadaan,” katanya.
Desma bilang, keadaan keluarga di tahanan sehat tetapi kerabat lain, ada cerita. “Dia mengeluh kalau dia kencing darah. Tak tahu itu karena apa. Sebelumnya, setahu saya dia tak pernah alami sakit itu.”
“Apakah mereka dipukul di tahanan?” tanya saya.
“Kata orang iya. Tapi saya tidak lihat ada luka di badannya.”
***
Jelang siang, Jumat (28/10/16), Dewi Sartika, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu mengabari jika Andri ditangkap polisi, sekitar pukul 03.00 dinihari di Sekretariat Lembaga Swadaya Masyarakat Perkumpulan Wallacea, Palopo.
Staf Wallacea, Ismail, menyaksikan sendiri penjemputan Andri dinihari itu. Dia kaget. Sebelumnya, hingga tengah malam, Adri dan dua orang rekan, Marda dan Obet, juga warga Seko berbincang santai di ruang utama Sekretariat Wallacea.
“Kami diskusi-diskusi. Sampai agak tengah malam. Setelah itu Pak Andri dan dua temannya tidur,” kata Ismail.
Ismail masih terjaga ketika dua mobil berhenti. Ada enam orang berpakaian sipil, seorang antara mereka bertanya, “Ada Pak Andri di dalam? Papanya Entong,” katanya. Entong, nama anak sulung Andri.
“Tidak ada,” jawab Ismail.
“Saya tanya satu kali lagi, ada Pak Andri di dalam?”
“Tidak ada.”
“Kalau saya geledah, trus ada Pak Andri, kamu saya tangkap juga,” kata orang itu.
Ismail mulai mengatur napas. Dia tahu kalau orang-orang ini polisi. Dia meminta para petugas masuk ke sekretariat untuk berbicara baik-baik.
“Silakan duduk dulu pak. Saya bangunkan Pak Andri,” katanya.
“Ini ada surat penangkapan. Mana kamarnya?”
Empat petugas kepolisian lalu mendekati kamar Andri terlelap bersama Marda dan Obet. Pintu kamar terbuka. Seorang petugas kepolisian menggunakan handphone mengambil foto Andri yang sedang tertidur.
“Jadi Pak Andri masih tidur, polisi ambil fotonya,” kata Ismail.
“Bangun Pak Entong, ini ada surat penangkapanmu,” kata seorang petugas.
Andri dan dua rekan menuju ruang utama sekretariat– ruang tamu. Mereka duduk bersama. Andri melihat surat penangkapan. Dia membaca sejenak. Petugas kepolisian meminta dia membubuhkan tandatangan.
Andri bersedia menandatangani, dengan syarat dia meminta melapor ke Polres keesokan hari. Dia beralasan akan memberikan surat penangkapan pada pengacara dan keluarga. Petugas kepolisian menolak dan meminta langsung ke kantor polisi.
Tak ada pilihan. Surat penangkapan akhirnya dititipkan pada Ismail. Seperti seremonial sederhana, penyerahan surat ke Ismail dilengkapi dokumentasi foto. “Besok kasi ke keluarga atau pengacara Pak Andri,” kata petugas.
Dalam lembar surat penangkapan itu, hanya ada satu nama Andri Karyo. Marda dan Obet juga ikut digelandang polisi. Ketiga orang itu, bersama pengawalan enam anggota menuju mobil.
Pada subuh itu, Andri, Marda dan Obet, menembus gelap menuju Masamba sekitar 60 km dari Palopo. Di Polsek Masamba, mereka diturunkan. Menjelang siang, mereka diinterogasi bergiliran.
Desma sudah mendengar kabar kakaknya ditangkap polisi menuju Polsek Masamba. “Mereka diperiksa sampai malam. Kalau nda salah sampai pukul 10,” katanya.
Setelah pemeriksaan, Obet bisa pulang. Andri dan Marda hingga kini tertahan di Polsek Masamba. Hingga Jumat ada 13 warga Seko Tengah ditangkap polisi. Dua orang ditahan di Polsek, 11 orang lain di Polres Luwu Utara.
Pada Sabtu pagi, (29/10/16), saat kembali berbincang dengan Desma, di dekatnya ada Obet. Dia dibebaskan dan akan kembali ke Seko.
“Saya tidak tahu kenapa keluarga lain ditahan. Kami kan mempertahankan tanah kami. Bukan merampas milik orang lain. Kalau ada bilang kami rusak barang perusahaan, itu tidak benar,” ucap Obet.
“Seko memang jauh. Jadi bisa mi memang banyak cerita.”
“Sekarang kami belum tahu kondisi keluarga di Seko. Bagaimana anak-anak pasti sudah cari bapaknya. Nanti Pak Obet ke Seko, akan kasi kabar ke mereka,” kata Desma.
Dia mendengar, ada beberapa intel menuju Seko untuk jemput 10 orang lagi. “Kalau bilang khawatir, khawatir sekali. Orang-orang Seko selalu ditangkap karena kasus PLTA. Tak tahu juga siapa yang melapor. Katanya perusahaan, tapi polisi tak sebut nama. Harusnya didudukkan saja bersama,” ucap Desma.
***
Ismail masih kaget ketika para polisi menyambangi Sekretariat Wallacea. Sebelum Andri dan dua rekan menghilang dari jangkauan mata, seorang petugas lain bertanya, “Ada Mail juga di sini? Adiknya Kepala Desa Hono?”
“Saya Ismail pak,” kata Ismail sambil berdiri yang sebelumnya sedang melihat laptop.
“Bah, kau bang ji pale. Dimanako selama ini, saya sudah cari di perumahaan kontrakan Kepala Gading tidak ada,” kata petugas itu mendekati Ismail. (Artinya, ternyata kau orangnya. Saya mencarimu di kontrakan kawasan kompleks Kelapa Gading, tidak ditemukan).
Petugas kepolisian itu memotret Ismail dan mengambil gambar laman depan Facebook yang sedang terbuka. “Kau juga ini Ismail, kencang sekali di Facebook,” kata polisi memperingatkan Ismail.
Ismail, juga warga Seko. Bedanya, Andri dan 13 warga lain dari Seko Tengah, Ismail dari Seko Padang. Jarak antarkampung ini 4-6 perjalanan menggunakan motor.
“Secara pribadi, kami di Seko baik Seko Tengah, Padang dan Lemo, adalah keluarga. Tentu, kalau orang Seko Tengah kena cubit, kami di Seko Padang, akan merasakan sakitnya pula,” katanya.
Keresahan masyarakat Seko Tengah sejak 2012. PT Seko Power Prima, akan memanfaatkan Sungai Betue dengan kapasitas terpasang 480 MW.
Dalam kerangka acuan Analisis dampak mengenai lingkungan perusahaan ini, DAM akan dibangun di Kampung Sae dan rumah turbin di Ratta. Dalam overlay garis lurus menggunakan aplikasi google diperkirakan sekitar 18 kilometer.
Pembangkit ini, kelak dari DAM dan rumah turbin akan dihubungkan dan mengalihkan air melalui pipa yang ditanam di bawah tanah. Inilah satu hal yang menjadi konflik, karena perusahaan mematok jalur pipa penghantar melewati beberapa kebun warga dan kampung.
Di Seko, kelak akan dibangun dua PLTA, Seko Power Prima dan Seko Prada. Pengembangnya, perusahaan sama.
Menilik kerangka acuan ANDAL, dituliskan Prima menjadi PLTA Seko-1, dan Prada menjadi PLTA Seko-2.
Pada 2012, izin PLTA ini diberikan pada PT Asri Power, kemudian perusahaan ini mengajukan perpanjangan izin prinsip ke Pemerintah Luwu Utara pada Juni 2014 dan mengubah nama menjadi Seko Power Prima.
Tahun sama, Seko Power Prima melakukan beberapa kegiatan lapangan dan menancapkan beberapa patok alur pipa. Masyarakat tak menyetujui karena tak pernah ada sosialisasi.
“Mereka masuk saja wilayah. Saat itu juga masyarakat sedang turun ke sawah. Maka tak dibenarkan masuk ke kebun. Mereka (perusahaan) melanggar,” kata Andri pada Juni 2016.
Sengketa antara perusahaan dan warga makin meruncing. Pada Oktober 2015 dan Mei 2016, masyarakat memblokade akses jalan masuk desa. Sehari kemudian pada 17 Mei 2016, Andri dan Daniel Basri ditangkap polisi dan dibawa ke Polres Luwu Utara menjalani introgasi sehari.
“Kami di Seko Tengah, sudah tak begitu menghiraukan nyawa. Kami ingin menyelamatkan kampung ini. Ini kampung tempat kami mencari nafkah,” kata Andri beberapa waktu lalu.
Ini kali kedua Andri merasakan penangkapan kepolisian Luwu Utara.
Saya teringat perbincangan kami Juni 2016.
“Apapun kami akan lakukan untuk mempertahankan kampung. Jika kemudian kami harus menyabung nyawa, kami akan lakukan. Kalau kami mati, kita (sapaan untuk rasa menghargai yang saat itu ditujukan pada saya) pasti hanya akan dapat kabar setelah itu. Karena memang ini kampung jauh sekali,” kata Andri.
Surat penangkapan Andri Karyo. Sumber: Dokumentasi Perkumpulan Wallacea