Mengenal Kehidupan Orang Asmat di Kampung Yepem

Kampung Yepem,  terletak tepat di Muara Kali Siretsy, pinggiran Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Kampung ini tepat berhadapan dengan Laut Arafura.

Penduduk kampung ini ada 175 keluarga atau 655 jiwa. Mereka biasa menjual hasil bumi ke Kota Agats pakai motor tempel 18 PK, sekitar 20 menitan.

Penduduk yang terdiri dari petani dan nelayan ini menjual beragam komoditas, seperti udang, ikan, kelapa, sayuran, pisang, ketela pohon, keladi, petatas dan sagu.

Kampung Yeyem masuk jajaran Rumpun Bisman.  Ada beberapa kampung masuk Rumpun Bisman, yakni Kampung Ewer, Kampung Us, Peer, Syuru, Beriten, Agats, dan Mbait.

Kala menuju Kampung Yepem, kiri kanan pohon mangrove berjajar asri di lumpur Asmat. Ada kayu kering terapung. Ada pohon tumbang. Burung camar, pelican dan bangau, terlihat sibuk mencari makan.

Di rimbunan pohon tepi pantai, penduduk memasang papan besar berisi peringatan. “Stop menebang pohon! Mari kita lindungi hutan bakau dan sepadan sungai. Perda Tata Ruang No. 6 Tahun 2012, Pasal 21 Kawasan Perlindungan Setempat. Ndormoooo.”

Di atas peringatan ini, ada lambang Pemda Asmat, Kehutanan, USAID-Lestari, WWF dan Blue Forressis.

Kala tiba di Kali Yomot, dengan muara tempat para burung berada. Ternyata, disitulah penduduk Yepem menangkap udang baik memakai jaring atau pancing.

Saya memasuki rumah bertuliskan ”Sanggar Ukir Kampung Yepem.” Tampak orang sibuk menganyam dan mengukir. Seorang anak kecil diajari mengukir ayahnya.

Warga Yepem, menitipkan ikan yang akan dijual ke kota. Foto: Agapitus Batbual
Warga Yepem, menitipkan ikan yang akan dijual ke kota. Foto: Agapitus Batbual

Di sebelah rumah, ada bangungan adat Asmat disebut jeuw. Rumah ini berkolong agak tinggi, sekitar satu meter. Tiang (juam) tertanam kuat di tanah. Di bagian atas ada kayu mangi-mangi yang disebut ondow dan daun sagu sebagai penutup disebut mbate.

Penduduk Asmat, memelihara hutan untuk keberlangsungan hidup mereka. Dinas Kehutanan Asmat membantu penduduk lewat gerakan rajin menanam pohon.

Paskalis Wakat, pemuda kampung itu mengatakan, hutan mereka berisi beragam tanaman,  di bibir pantai, tumbuh macam-macam mangrove seperti pit, pohon garam, sampai bakau. Sedang hutan agak ke dalam antara lain berisi kayu besi.

Dia bilang, beragam tumbuhan ini terpelihara alami sejak leluhur Kampung Yepem. “Kami tetap pelihara alam karena disitu kebudayaan kami, demi anak cucu kelak,” katanya.

Wakat memiliki sanggar seni anyam dan ukir. Dia mengajarkan generasi penerus agar pandai mengukir bagi anak-anak lelaki dan menganyam buat perempuan.

Baginya, orangtua di Kampung Yepem,  harus mengajarkan anak-anak tumbuh hingga dewasa di sanggar ini. “Perlu pendampingan terus hingga dewasa,” katanya.

Mereka harus memakai filosofi Orang Asmat yaitu menyatukan keluhuran Tuhan, roh leluhur, sesama dan hutan. Anak-anak  juga harus menjaga hutan di Kampung Yepem, dengan baik.

Orang Yepem bercocok tanam sungguh luar biasa. Di tengah-tengah rimbunan pohon besar, warga memanfaatkan lahan, bisa sampai dekat laut.

Ikan hasil tangkap warga Kampung Yepem. Foto: Agapitus Batbual
Ikan hasil tangkap warga Kampung Yepem. Foto: Agapitus Batbual

Saya kaget, dari speedboat melihat ada humus tanah semacam ampas kayu di tepian Pantai Yepem, penuh tanaman. Tampak di atas humus itu pohon pisang, kacang panjang, terung, kangkung cabut, sawi, bayam, tebu, kopi sampai kelapa!

Bagi saya, jarang sekali pemandangan seperti ini, berbagai tanaman tumbuh dekat sekali dengan air asin.

Wakat bilang, mereka berencana bikin kampung pariwisata di Kampung Yepem.  Dari sisi alam, sagu masih banyak, kayu tersedia, dan hasil laut juga melimpah.

Saya berjalan agak dalam di perkampungan itu, terlihat kelapa tertata rapi di pinggir kali.

Kaspar Mamnak, penduduk Yepem juga anggota Lembaga Masyarakat Adat Asmat (LMAA) ini bersyukur, Yepem diberi kekayaan melimpah. Sebagai ucap syukur kepada Tuhan dan leluhur, penduduk jangan sampai merusak hutan. Bahkan,  aturan mereka melarang penduduk menguliti pohon bila hendak mencari kayu bakar.

“Sangat dilarang menebang pohon di bantaran Kali Yomot. Berbagai burung yang mencari makan di pantai dilarang diusir, dipanah atau diketapel, senapan angin. Mereka sama dengan kita memanfaatkan alam dan hutan,” kata Mamnak.

Dia bercerita, Kampung Yepem dulu tak ada pohon pit dan pohon garam. Warga ingin menanam dan meminta Mgr. Alfons Sowada, Uskup Agats– misionaris katolik asal Amerika Serikat– untuk memberikan bibit pohon ini.

Mereka takut abrasi melanda Kampung Yepem. Merekapun menanam pohon ini hingga besar dan banyak tunas.  Saat ini, anakan pit dan pohon garam terlebat di sini.

Bila pagi, para perempuan mendayung perahu, di dalamnya membawa alat pancing dan jaring. Ada juga membawa ember untuk menimba udang kecil. Alam Asmat amat kaya dan potensi melimpah baik darat maupun laut.

Di darat, mereka mengandalkan ribuan pohon sagu untuk makanan pokok. Ada juga kelapa, kopi, durian, jambu, karet, rambutan sampai pepaya.

Konradus Minip, warga Yepem ini mengembangkan kelapa. “Saya punya kelapa lima hektar dan mau tambah juga. Daging kelapa kampung ini sangat tebal dibandingkan tempat lain di luar Agats bahkan di Merauke,” katanya.

Dia menanam kelapa sejak 1980-an. Awalnya, Kampung Yepem, tak bisa tumbuh kelapa. Sedikit demi sedikit, dia terus mencoba dibantu Dinas Pertanian Asmat. Kini, Minip menjadi penyedia bibit kelapa.

Kali Yomot dan mangrove . Foto: Agapitus Batbual
Kali Yomot dan mangrove . Foto: Agapitus Batbual

Di seluruh Asmat, Dinas Perkebunan, meminta bibit lagi untuk Kampung Warse, Kampung Ayam dan Kampung Kakai.

Yosep Ker, Kepala Kampung Yepem mengatakan, adat Asmat terbilang masih kuat. Orang Asmat, katanya, mengenal karuu, yaitu tempat yang dianggap sakral secara adat. Ada juga, bila terjadi penebangan hutan, mereka menandai dengan daun sagu muda.

“Misal kampung lama, batu, tempat leluhur, hutan kayu besi, tempat persinggahan leluhur, sumber air mereka larang,” katanya.

Untuk menentukan satu tempat sakral sah, katanya, mereka hasilkan lewat kesepakatan bersama. “Bila dilanggar, bisa berakibat kematian, cepat atau lambat.”

Sumber air bersih

Di seluruh Asmat, masalah utama adalah sulit sumber air bersih. Penduduk pakai penadah air hujan berupa profil tank ukuran 11.00 Lliter.

Ada satu sumber air tawar Kota Agats yaitu Kali Yomot. Air kali ini disedot dengan mesin dan dialirnkan ke Agats melalui pipa besar yang dikelola Dinas Pekerjaan Umum Asmat.

Saya sempat ke sumber air ini, menyusuri kali menuju ke hulu. Orang Yepem menyebutnya intake.

Kami menyusuri kali ke hulu. Saya agak takut juga karena menurut Wakat orang baru datang dilarang turun ke darat.

“Orang baru tak boleh masuk. Ini hutan terlarang.”

Aturan mereka ini agar hutan terjaga. Saya lihat dari kejauhan pohon kayu besi sebesar dua kali pelukan orang dewasa.

Kami sampai di Intek, tenyata hanya hulu kali. Di tengah kali, berdiri rumah mesin penyedot air. Mesin kecil tetapi bisa menyedot air.

Sebelum sampai lokasi ini, ada papan larangan dari Dinas PU soal hanya petugas boleh masuk tempat ini.

Ada rumah penjaga air, tungku api tak berfungsi lagi. Rumah ini terbagi dua kamar. Satu WC, ternyata mampet dan satu lagi kamar mandi. Semua berada di atas rawa.

Saat pulang, saya melihat tumpahan oli mesin mengotori sumber air bersih ini. Terlihat rumput rawa menghitam.

Melianus Jitmau, Kepala Dinas PU Asmat, mengatakan, tuntutan warga Yepem, pemerintah membangun instalasi instalasi, sampai sekolah. Pemerintah Papua sudah mengalokasikan dana sekitar Rp3 miliar. Dia bilang, pemerintah tak mungkin memenuhi seluruh kebutuhan warga.

Warga Yepem, dengan alat transportasi air. Foto: Agapitus Batbual
Warga Yepem, dengan alat transportasi air. Foto: Agapitus Batbual
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,