Lingkungan Lakardowo Tercemar Limbah Beracun, Warga Menanti Aksi Kementerian LHK

Belasan warga Desa Lakardowo, Mojokerto, Jawa Timur,  ke Jakarta di penghujung Oktober ini. Mereka mengadu ke DPR sampai lapor ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena lingkungan desa mereka tercemar limbah bahan beracun berbahaya (B3) dari PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA).

Perusahaan pengolahan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) ini menimbun berbagai jenis limbah yang mereka kelola dari coal ash, sludge IPAL, resin, sampai lampu bermerkuri dari 1.518 perusahaan sejak 2010.

Pada 2013, warga protes dan perwakilan perusahaan menandatangani surat pernyataan menghentikan penimbunan dan melokalisir timbunan limbah dalam tanah mereka.

Dampak timbunan limbah ini, air sumur tercemar hingga tak bisa buat minum lagi. Bahkan, dua tahun terakhir, warga menderita gatal-gatal kala menggunakan air buat mandi.

Heru, mantan karyawan PRIA, kala ikut protes ke Jakarta, menceritakan, bergabung dengan perusahaan sejak 2010. Mulanya, dia tak tahu perusahaan mengolah limbah beracun dan berbahaya.

Saat pembangunan, katanya, dia hanya mengetahui kalau perusahaan ini daur ulang kertas dan pengolahan limbah menjadi bata dan batako.

Pada 2013, perusahaan pernah membakar limbah. “Kalau tak habis, langsung ditutup.”

Dulu, lokasi pabrik itu jurang. Perusahaan mengeruk tanah agar rata dengan jalan. Pengerukan, masih hingga kini.

Belakangan Heru menyaksikan perusahaan membuang limbah medis dan sisa pembuatan kapal dengan empat tandon besar, tanpa alas.  “Semua limbah langsung ke tanah. Mau diisi berapapun juga nggak akan penuh,” ucap Heru.

Kala warga mengadu ke KOmisi VII DPR soal pencemaran limbah di desa mereka. Foto: Della Syahni
Kala warga mengadu ke KOmisi VII DPR soal pencemaran limbah di desa mereka. Foto: Della Syahni

Abdul Ghofur, warga  Lakardono, resah ajakan perusahaan kepada sejumlah warga menimbun limbah di halaman rumah atau tanah.

“Warga tak tahu itu berbahaya. Itu dicontohkan kepala desa, warga mengikuti,” katanya.

Sejak berdiri, perusahaan tak pernah sosialisasi soal kegiatan mereka.

Ketika warga protes dan menghadang truk pembawa limbah, justru mendapat intimidasi Polsek Mojokerto.

Direktur Ekeskutif Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, lingkungan Lakardowo sudah tercemar. Kala warga mengeluh gatal, katanya, berobat ke dokter.

“Dokter merekomendasikan tak menggunakan air sumur. Saat mengikuti saran ini, gatal hilang,” katanya.

Meskipun begitu, keterbatasan ekonomi terpaksa warga masih menggunakan air sumur. Berat bagi mereka kalau harus pakai air kemasan untuk semua keperluan sehari-hari.

Untuk itu, kata Prigi, negara harus mengembalikan hak asasi manusia warga Lakardowo untuk hidup dengan lingkungan sehat.

Pada Maret 2016, warga bersama Ecoton melapor kasus ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pengaduan ditindaklanjuti tim KLHK dengan mengambil contoh air sumur perusahaan dan warga Juli 2016.

Sayangnya, kesimpulan KLHK, tak sesuai hasil analisis laboratorium Balai Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Timur yang menunjukkan keterkaitan antara bahan pencemar di sumur pantau industri dengan sumur bor warga. Menurut KLHK,  tak ada pencemaran dan kontaminasi.

“Saat sosialisasi oleh KLHK kami menolak kesimpulan ini.  KLHK melakukan pembohongan publik,” kata Prigi.

Ecoton, sudah melakukan kajian bersama warga, hasil menunjukkan timbunan limbah b3 di area PRIA merembeskan racun ke aliran akuifer dangkal pada sumur pantau dan air di permukaan perusahaan.

Aksi warga Mojokerto di KLHK, 25 Oktober 2016. Foto: YLBHI
Aksi warga Mojokerto di KLHK, 25 Oktober 2016. Foto: YLBHI

Kualitas air sumur pantau dan air permukaan lebih buruk dari sumur penduduk, berbeda dengan kondisi awal,  2011. Dalam air sumur pantau dan air permukaan perusahaan, katanya,  ditemukan logam berat pencemar beracun antara lain timbal, krom valensi enam dan arsenik.

Warga bersama Ecoton menuntut penghentian aktivitas perusahaan selama proses pembuktian timbunan limbah.

Senin (24/10/16), mereka bertemu Komisi VII DPR. Anggota Komisi VII Mat Nasir menilai izin perusahaan pengolah limbah B3 mestinya dibekukan.

“Dilihat dari company profile, perusahaan sudah menyalahi izin. Pertama izin pengelolaan terbit 2013, mereka sudah beroperasi sejak 2010. Mereka hanya punya izin pengelolaan dan pemanfaatan limbah, tak punya izin landfill. Seharusnya dibekukan ini,” kata Nasir.

Kalaupun perusahaan punya izin landfill, katanya, secara teknis harus memberi alas sebelum menimbun limbah. “Menurut mantan karyawan, tak dialas. Harusnya dialas beton atau plastik sesuai standar, lantas diberi cairan kimia untuk menetralkan tanah kembali,” katanya.

Hal lain disoroti Komisi VII adalah pencampuran proses pengelolaan limbah rumah sakit dan limbah lain.

“Setahu saya,  pabrik pengelolaan limbah rumah sakit hanya tiga di Indonesia. Menurut KLHK memang tak cukup. Limbah rumah sakit dan limbah lain harus dibedakan,” katanya.

Pertemuan antara warga Lakardowo dan KLHK di Manggala Wanabhakti, Jakarta. Foto: Ecoton
Pertemuan antara warga Lakardowo dan KLHK di Manggala Wanabhakti, Jakarta. Foto: Ecoton

***

Belasan orang yang berpakaian putih-putih tampak memasuki kantor KLHK di Komplek Manggala Wanabhakti, Jakarta, 25 Oktober, siang.

“Bongkar mafia B3 KLHK.” Begitu teriakan Nurasim, Ketua Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo).

Aksi diikuti sekitar 30 orang dari Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan, Pendowo Bangkit, Ecoton, Ciliwung Institut, LBH Surabaya, dan YLBHI.

Warga Lakardowo, Sujiati, meminta KLHK membongkar timbunan B3 perusahaan, mencabut izin dan merehabilitasi lingkungan Lakardowo. Mereka mendesak KLHK menegakkan hukum atas pencemaran lingkungan ini.

Kala itu, mereka ditemui antara lain, Sri Parwati Murwanti Budisusanti, Direktur Pengendalian Pencemaran Air, Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK dan Kepala Biro Humas KLHK Novrizal Tahar.

Setelah mengemukakan permasalahan, warga menyerahkan berbagai dokumen, data laboratorium dan surat tuntutan.

Kementerian ini berjanji, mempelajari dokumen dan menindaklanjuti laporan warga ini. Novrizal bilang, akan berkoordinasi dengan Ditjen Penegakan Hukum untuk turun ke Lakardowo.

Sebagian warga Lakardowo, yang rapat bersama Komisi VII soal limbah B3 di desa mereka. Foto: Della Syahni
Sebagian warga Lakardowo, yang rapat bersama Komisi VII soal limbah B3 di desa mereka. Foto: Della Syahni
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,