Senangnya Warga Wonosalam, Ada Rangkong di Hutan yang Mereka Jaga

Tujuh orang membidikkan lensa kameranya ke arah seberang bukit yang dinamakan Bukit Joko Mujung, yang berhadapan dengan Bukit Selo Ringgit, di sekitar pegunungan Anjasmoro. Mereka adalah pengamat burung dan warga yang beberapa bulan terakhir melakukan pemantauan di hutan Desa Panglung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Pos pantau didirikan swadaya oleh warga Dusun Mendiro, yang tergabung dalam Kelompok Pelindung Hutan dan Pelestari Mata Air (Kepuh). Mereka bertekad melindungi burung rangkong yang hidup di kawasan hutan wilayah Wonosalam, di sektar pegunungan Anjasmoro itu.

“Beberapa bulan terakhir rangkong sering terlihat,” kata Wagisan, Koordinator Kepuh, belum lama ini.

Wagisan menuturkan, ada dua jenis rangkong di sekitar pegunungan, yang tubuhnya berwarna putih, serta berparuh oranye atau kemerahan. “Saya tidak tahu persis jenisnya.”

Kangkareng perut-putih saat terbang. Foto: Asep Ayat
Kangkareng perut-putih saat terbang. Foto: Asep Ayat

Bersama warga dan anggota Kepuh lainnya, Wagisan membuat pondok kayu di sekitar hutan  untuk mengamati pergerakan rangkong, juga sebagai posko pengawasan agar tidak dirusak atau dimasuki pemburu liar. “Hutan yang terjaga, tidak hanya memastikan keberlangsungan hidup masyarakat, tapi juga satwa-satwa yang ada. Satwa liar harus kita lindungi, bukan diburu.”

Keberadaan rangkong di Wonosalam juga dibenarkan Sulamin, warga yang pernah melihat rangkong dewasa maupun anakan. “Dulu saya pernah memergoki seseorang yang menangkap rangkong di sini, kebanyakan mencari anakannya dari atas pohon. Sekarang tidak ada lagi.”

Selain rangkong, Sulamin juga pernah melihat jenis burung lain seperti cucak hijau, elang-ular bido, dan merak. “Sebenarnya, masyarakat paham tidak boleh berburu satwa, tapi masih ada yang sembunyi-sembunyi melakukannya untuk dijual.”

Dalam 10 tahun terakhir, Wagisan bersama warga melakukan upaya pelestarian hutan yang semula gundul akibat pembabatan liar, kini telah hijau dan lebat kembali. Munculnya sumber mata air berlimpah yang selalu mencukupi kebutuhan masyarakat di Wonosalam adalah berkah yang mereka rasakan.

Melalui aktivitas Kepuh, warga desa diajak peduli lingkungan sekaligus menjaga alam beserta isinya. Yang terbaru adalah ajakan agar tidak melakukan perburuan, serta menjaga rangkong yang merupakan satwa dilindungi. “Tujuannya memelihara seluruh keanekaragaman hayati.”

Pohon-pohon besar dan tinggi di bukit Joko Munjung, tempat persinggahan rangkong untuk mencari makan dan beristirahat. Foto: Petrus Riski
Pohon-pohon besar dan tinggi di Bukit Joko Munjung, tempat persinggahan rangkong untuk mencari makan dan beristirahat. Foto: Petrus Riski

Rangkong

Keberadaan rangkong di Wonosalam, yang terpantau kamera itu, dibenarkan Yokyok Hadiprakarsa, pakar rangkong dari Rangkong Indonesia. Yokyok mengatakan, Pulau Jawa merupakan salah satu tempat persebaran rangkong, selain Sumatera, Kalimantan, dan Bali. Rangkong merupakan burung yang masuk dalam keluarga Bucerotidae, yang meliputi julang, enggang, dan kangkareng.

“Itu foto julang emas, jenis rangkong yang tersebar di Jawa. Selama hutannya sehat, rangkong bakalan ada,” kata Yokyok.

Keberadaan julang emas dan jenis rangkong lain di hutan Wonosalam, menurut Yokyok, bisa saja sebagai kawasan persinggahan atau juga tempat hidupnya. Rangkong dewasa merupakan burung pemakan buah, yang akan berkumpul atau bertempat tinggal di hutan lebat dan banyak pohon buah. “Mengenai populasi pastinya terikat dengan hutan, sebagai tempatnya mencari makan dan bersarang.”

Pohon rbuah seperti ini yang diperkirakan menjadi alasan untuk rangkong singgah atau tinggal. Foto: Petrus Riski
Pohon buah seperti ini yang diperkirakan menjadi alasan untuk rangkong singgah atau tinggal. Foto: Petrus Riski

Yokyok mengatakan, persebaran rangkong di Jawa, kebanyakan karena pindah dari satu wilayah, seperti dari Jawa Timur ke Jawa Tengah, atau dari Jawa Timur ke Bali. Bahkan, pernah ada yang melihat rangkong menyeberang dari Jawa ke Sumatera melalui Merak. Di Jawa, ada tiga jenis rangkong yaitu rangkong cula atau rangkong badak, kangkareng perut-putih, dan julang emas, yang jumlahnya hingga kini belum diketahui pasti.

“Biasanya transit di Ujung Kulon. Ada juga yang melihat menyeberang ke Bali dari Jawa Timur,” ujarnya.

Di luar Jawa, laju deforestasi hutan yang sangat cepat menjadi penyebab hilangnya rangkong, selain perburuan liar. Sementara di Jawa, berkurangnya populasi rangkong lebih disebabkan daya dukung lingkungan yang berkurang, yang mengakibatkan timbulnya kompetisi yang tinggi. Meskipun, perburuan masih terjadi, untuk dipelihara maupun diperdagangkan.

Pohon tinggi yang batangnya tertutup tanah. Lubang ini diperkirakan tempat satwa bersarang. Foto: Petrus Riski
Pohon tinggi yang batangnya tertutup tanah. Lubang ini diperkirakan tempat satwa bersarang. Foto: Petrus Riski

Menurunnya kualitas hutan, pastinya akan mengurangi sumber pakan bagi jenis ini. Selain, pohon-pohon besar dan tinggi yang ditebang membuat tidak ada lagi tempat untuk rangkong bersarang. “Pakan dan sarang merupakan penentu populasi. Semua itu hanya ada di hutan.”

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990, serta PP Nomor 7 tahun 1999, semua jenis rangkong merupakan satwa dilindungi. Nambun begitu, masih saja ada yang menangkap atau memburunya. Dengan alasan, perburuan dilakukan di luar kawasan lindung.

“Namanya saja satwa, hidupnya bisa saja di hutan lindung, taman nasional, maupun kawasan produksi. Dimana pun tempatnya, ketika rangkong ditemukan ya wajib dilindungi,” pungkas Yokyok.

Rangkong badak. Foto: Asep Ayat
Rangkong badak. Foto: Asep Ayat
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,