Tangkapan Ikan Menurun, Warga Pulau Badi Budidaya Kuda Laut

Kuda laut (Hippocampus spp) adalah salah satu jenis satwa dari famili Syngnathidae. Tidak hanya untuk obat-obatan, bentuknya yang unik dan lucu membuatnya menjadi incaran untuk dijadikan ikan hias. Keunikan lainnya karena merupakan satu-satunya ikan yang jantannya dapat hamil.

Eksploitasi yang berlebihan di alam baik untuk kebutuhan konsumsi dan obat-obatan tradisional dan ikan hias membuat jenis ikan ini kian terancam, sehingga pada Mei 2004 silam impor ekspor kuda laut ini mulai diatur dalam CITES.

Di Sulawesi Selatan, ikan ini juga sudah mulai jarang ditemukan. Salah satu lokasi dimana ikan ini masih banyak ditemukan adalah di perairan Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Untungnya aturan penangkapan kuda laut di alam bebas sudah sangat ketat, butuh izin khusus dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulsel.

Di Pulau Badi, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep, Sulsel, dua orang warga setempat mencoba membudidayakan ikan ini untuk tujuan ekspor. Bisa menjadi sumber mata pencaharian alternatif warga ketika musim panceklik ikan.

Pada awal Oktober 2016 lalu, Mongabay berkunjung ke pulau yang berjarak 30 menit menggunakan speedboat dari pantai Losari Makassar ini untuk melihat secara langsung upaya budidaya yang dilakukan warga setempat.

Abu Bakar atau Puang Bakka (48) salah satu nelayan budidaya kuda laut setempat membawa saya mengunjungi lokasi budidaya miliknya. Sebuah ruang berukuran sekitar 4 x 5 meter. Peralatannya cukup modern, dengan kolam-kolam yang terlihat  bersih dan terawat, menggunakan listrik bertenaga surya.

“Jadi penetasannya itu di sini. Cara panennya menggunakan jaring. Biasanya pada umur 1 hari hingga seminggu akan banyak yang mati. Induk yang menetas ini usia 8 bulan hingga 1 tahun mampu menghasilkan hingga 100-an anak,” jelas Puang Bakka.

Budidaya kuda laut ini membutuhkan keterampilan tersendiri. Bibit harus diusahakan sendiri melalui indukan yang ditangkap di alam bebas ketika masih berusia remaja.

Sementara untuk pengambilan indukan di alam bebas sebelumnya harus melalui proses yang panjang.

“Kita harus usulkan dulu ke BKSDA berapa banyak indukan yang bisa diperoleh. Pada tahun 2015 lalu kita dapat jatah 500 ekor. Jadi kita ambil berdasarkan kuotanya, namun tidak diambil sekaligus. Permintaan tahun sebelumnya tidak bisa dipakai lagi tahun ini. Kalau kuotanya tidak terpakai sampai habis maka akan hangus begitu saja. Nanti akhir tahun sekitar tahun Oktober baru mengusulkan lagi,” ungkapnya.

Budidaya kuda laut di Pulau Badi, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Budidaya ini membutuhkan kolam dengan air bersih dan suhu yang terjaga. Foto: Wahyu Chandra
Budidaya kuda laut di Pulau Badi, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Budidaya ini membutuhkan kolam dengan air bersih dan suhu yang terjaga. Foto: Wahyu Chandra

Secara terampil Puang Bakka kemudian memperlihatkan bagaimana proses pembiakan itu dilakukan. Pada kuda laut sendiri, yang memiliki kantong adalah di jantan, sebagai tempat penetasan telur dari betina.

“Di situlah terjadi pembuahan, dierami sekitar 10-14 hari. Jadi kalau sudah dari jantannya itu sudah dalam bentuk anakan. Kalau sudah melahirkan biasanya tidak langsung diambil, namun butuh waktu 1 -2 hari. Apalagi dalam kondisi seperti ini mereka masih banyak melayang di permukaan air. Pada hari kedua biasanya mereka sudah turun di dasar kolam sehingga kita sudah bisa panen. Hanya memang oksigennya harus jalan 1×24 jam,” jelasnya.

Budidaya kuda laut membutuhkan kondisi air yang terkontrol dan harus diperiksa di laboratorium untuk mengukur kandungan amoniak, nitrat dan fosfatnya.

“Tapi sejauh ini kita selalu dapatkan bahwa kualitas air baik. Hanya bermasalah di sini di suhu saja. Kita harus menjaga suhu airnya hingga 27-28 derajat. Sebenarnya kalau panasnya 30 derajat dan konstan itu tidak masalah. Yang bermasalah kalau tiba-tiba berubah. Berubah 1 derajat saja sudah bermasalah.”

Jika panen berhasil, Puang Bakka mengaku bisa menghasilkan kuda laut sebanyak 200 ekor, yang dijual seharga Rp30 ribu per ekornya, sehingga ia bisa memperoleh hingga Rp6 juta sekali panen.

Masa panen biasanya di bulan ke 5 dan 6 sejak lahir. Meski produksi bisa sampai 500-600 ekor per bulan namun yang dijual hanya sampai 200 ekor saja. Hanya saja tak selalu panen itu berhasil.

Puang Bakka mengaku dari hasil usaha kuda laut ini ia bisa membiayai kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anaknya. Sebagian hasil penjualan panen juga ditabung untuk digunakan dalam kondisi darurat.

“Kalau mesin pompa rusak, kita sudah bisa membiayai sendiri karena modalnya sudah ada dari tabungan,” katanya.

Selain Puang Bakka, warga Pulau Badi lain yang budidaya kuda laut adalah Daeng Limpo (60 thn). Dulunya ia nelayan tangkap menggunakan jaring lebar yang disebut gae. Usia tua membuatnya tak lagi melaut.

Rumah budidaya Daeng Limpo sendiri dibangun sejak 2012 dan mulai digunakan pada akhir tahun 2013. Panen baru bisa dilakukan pada tahun 2015 dengan hasil panen sekitar 100 ekor per bulan sesuai dengan kuota yang diberikan BKSDA.

“Saya biasanya kerja sendiri, namun kadang juga dibantu anak-anak. Hasilnya sudah bisa untuk beli emas,” katanya sambil tersenyum lebar.

 

Mendorong kemandirian

Budidaya kuda laut di Pulau Badi ini sendiri adalah salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT MARS Symboscience Indonesia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kakao. Awalnya budidaya ini dikelola secara kelompok, namun kemudian diubah menjadi usaha individu untuk mempermudah pengelolaannya.

“Kalau dikelola secara kelompok biasanya para anggota saling berharap satu sama lain. Belum lagi adanya saling ego antara mereka, sehingga kegiatan malah tak bisa jalan,” ungkap Lili Damayanti, fasilitator PT Mars Symbioscience Indonesia di Pulau Badi.

Daeng Limpo meninggalkan profesi lamanya sebagai nelayan tangkap untuk budidaya kuda laut. Sekali panen ia bisa menghasilkan 100 ekor kuda laut yang dijual dengan harga Rp30 ribu per ekor . Foto: Wahyu Chandra
Daeng Limpo meninggalkan profesi lamanya sebagai nelayan tangkap untuk budidaya kuda laut. Sekali panen ia bisa menghasilkan 100 ekor kuda laut yang dijual dengan harga Rp30 ribu per ekor . Foto: Wahyu Chandra

Menurut Lili, PT MARS memberikan dukungan fasilitasi hingga pelatihan, yang dimulai sejak tahun 2010 dan tahun 2011 mereka sudah mulai menjual.

“Ada tiga unit yang kita bangun sebagai awal, yang dikelola Puang Bakka ini adalah unit pertama. Unit kedua dan ketiga di pinggir pantai. Hanya saja unit ketiga kita coba ganti dengan ikan kerapu.”

Dari dua unit yang ada saat ini belum sepenuhnya bisa produksi secara kontinyu, sehingga proses pendampingan masih terus dilakukan.

“Sekarang ini kita baru mulai lagi dan bulan depan rencana mulai jual lagi. Saat ini kuota produksi hingga 200 ekor per bulan, bisa dapat Rp6 juta per bulan.”

Selain budidaya kuda laut ini, PT Mars juga mencoba membantu pengembangan budidaya ikan badut atau ikan Nemo. Dengan produksi 200 ekor, yang dijual dengan harga Rp20 ribu per ekor, maka bisa menghasilkan Rp4 juta per bulan.

Lili berharap ke depan, kedua warga Pulau Badi ini bisa lebih mandiri dan terampil.

“Untuk sekarang ini kita harapkan hasil produksinya bisa stabil. Dari awal kita juga sudah sampaikan tentang tanggungjawab bersama. Kalau nantinya Mars tidak mensupport lagi, setidaknya mereka bisa kelola sendiri.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,