Ummi Kalsum, Ajakan dari Pintu ke Pintu, Demi Perempuan Tani Pantee

Setiap dua minggu sekali, perempuan ini memutar kampung sekitar satu, dua kilometer untuk mengabarkan informasi kepada satu per satu anggota tani.”Permisi, nanti datang ya acara abis dzuhur,” katanya terus berulang, kepada sekitar 71 anggota.

Itulah yang dilakukan Ummi Kalsum, Ketua Kelompok Tani di Dusun Ahmad Pantee, Desa Pantee, Aceh Besar.

Kalsum, terpilih sebagai salah satu perempuan pejuang pangan, yang diselenggarakan Oxfam Indonesia dan Rimbawan Muda Indonesia.

Dari lorong ke lorong, dia mengetuk pintu agar warga desa mendapatkan informasi soal pertanian. Baik itu mengenai bantuan penyuluhan, bibit, pupuk sampai pelatihan penyemaian sawah.

”(Saya) tak bisa naik honda (sepeda motor-red), jadi jalan kaki dari jam 8.00 sampai 1.00 atau 2.00 siang,” katanya.

Pada 2009, perempuan dua anak ini sebagai sekretaris kelompok tani. Saat itu, kondisi kelompok tani tidaklah semaju sekarang. Ketua tani tak aktif memajukan bidang pertanian di sana.

Kalsum bercerita, pernah menolak membuat proposal bantuan pertanian. ”Kita jadi ketua tani, apapun (fasilitas) tak dikasih, Ngapain kita buat itu, gaji tak ada.”

Yang mereka perlukan benih padi, pupuk, penyuluhan dan lain-lain. Mereka sempat ada bantuan kepada 25 hektar benih padi sawah sebanyak 625 kilogram dan penyuluh. Bantuan diterima begitu saja, ketua tak mau mengurus.

Padahal, syarat mendapatkan bantuan hanya membubuhkan tanda tangan dan membuat buku bank kelompok tani, dana tersalur. Itu saja sulit.

Akhirnya, dia membuat sendiri. ”Kalau mau bantu masyarakat, kita tak perlu lihat gaji, perlu kerja ikhlas,” katanya.

Pada 2012, perempuan berusia 47 tahun ini terpilih menjadi ketua. Cibiran orang di belakang dia ada. Pasalnya, perempuan menjadi kepala dalam kelompok tani yang sebelumnya laki-laki.

Dia tak ambil pusing. Kalsum meminta restu dari keluarga untuk pengabdian itu. Dia juga mendapat dukungan dari lurah dan organisasi perempuan, Aceh Woman For Peace Foundation (AWPF).

Dukungan AWPF ini menguatkan Kalsum melangkah. Selama empat tahun, dia membimbing melakukan perubahan berkaitan perubahan iklim dan gender.

Menjadi ketua tani jelas membuat dia sibuk. Pengaturan waktu lebih disiplin dengan bangun lebih awal setiap hari untuk menyiapkan keperluan rumah ataupun rapat penyuluhan.

Tak semata-mata eksistensi, dia mau menyuarakan dan membantu perempuan tani agar tak bergantung pada suami dan turut menghasilkan hasil tani lebih maksimal. Kini, bantuan pertanian seringkali datang. Mulai dari pompa air untuk irigasi, mesin menanam padi dan hand tractor. Alat-alat ini biasa menjadi beban pertanian.

Sejak 2014, hasil produksi tani bisa kali lipat. ”Misal punya empat lahan. Biasa dihitung pakai kaleng cat, kalau dulu hanya 80 kaleng, sekarang 150 kaleng per petak,” katanya. Satu kaleng 30 kg.

Dia menyebutkan,  ruang gerak perempuan di Aceh terbilang tak mudah. Ia juga dibenarkan Rita Juniasari, pembuat video Kalsum.

”Geram, gerak perempuan sangat sulit,” kata sineas muda yang membuat video perjuangan ini.

Tak pelak, arus informasi terbatas, kadangkali mereka mengeluhkan ketinggalan informasi. Rapat pembangunan kampung, perempuan jarang diikutsertakan.

Walau kini tak seekstrim dulu.”Saya dulu tak boleh keluar malam, suami bilang untuk apa keluar malam? Kini, ya sudah tak apa, demi kepentingan masyarakat banyak,” ucap Kalsum.

Perubahan ini terjadi bukan hanya karena ada pembelajaran dan sosialisasi AWPF, juga pendekatan dengan aparatur desa.

“Sekarang kecamatan juga sering manggil kami.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,