Kenapa Nelayan Jawa Harus Melaut ke Perairan Arafura di Maluku?

Rencana menjadikan perairan Laut Arafura di Provinsi Maluku sebagai pusat tangkapan perikanan bagi nelayan-nelayan dari Pulau Jawa, akhirnya terwujud. Rencana yang sudah dipublikasikan sejak awal 2016 lalu tersebut, kini sudah mendapat persetujuan dari para nelayan yang akan mengoperasikan kapal ikan Indonesia (KII).

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar, akhir pekan lalu mengatakan, pengalihan lokasi pusat tangkapan bagi nelayan dari Pulau Jawa, kini sudah masuk tahapan teknis. Di antaranya, dengan memberikan advokasi kepada para nelayan yang bertujuan untuk mencapai efisiensi dan lebih sistematis.

Di antara persiapan teknis lain yang juga dilakukan KKP, menurut Zulficar, adalah memastikan para nelayan sudah mengantongi tiga dokumen penting yang akan menjadi pegangan hukum saat sedang berada di tengah laut. Dengan kelengkapan dokumen tersebut, nelayan bisa tenang untuk menangkap ikan.

Adapun, ketiga dokumen tersebut adalah Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), Surat Laik Operasi (SLO) dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Ketiganya, kata dia, harus dibawa dan harus dokumen asli alias bukan salinan.

“Kenapa harus yang asli dokumennya? Karena bagi kami itu penting untuk menghindari ada kapal yang menyalahgunakan izin. Karenanya, walau tidak dilarang membawa salinan, tapi dokumen asli tetap wajib dibawa,” tutur dia.

Agar tiga dokumen penting tersebut bisa lengkap, Zulficar meminta para nelayan untuk memproses pembuatannya kepada KKP dan juga melakukan pengukuran ulang kapal milik nelayan. Tujuannya, supaya kapal yang diberikan izin, nantinya akan mendapatkan zonasi pusat penangkapan ikan, dan salah satunya adalah perairan Arafura.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, penataan wilayah tangkap nelayan mutlak dilakukan saat ini, karena saat ini seluruh wilayah perairan Indonesia sudah bebas dari nelayan asing.

Untuk itu, langkah yang dilakukan saat ini, kata Susi, adalah dengan mengarahkan nelayan-nelayan yang biasa melaut dengan menggunakan kapal berukuran cukup besar ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang jauh.

“Itu kenapa, kita arahkan nelayan yang ada di (Pulau) Jawa untuk melaut yang jauh saja, keluar dari perairan Jawa,” ucap dia.

Salah satu alasan kenapa nelayan dari Jawa diarahkan melaut jauh, menurut perempuan asal Kabupaten Pangandaran itu, karena nelayan dari Jawa dinilai paling berani dan memiliki pengetahuan lebih baik dari nelayan di wilayah lainnya.

“Selain itu, yang paling penting, nelayan dari Jawa ini pengalamannya luar biasa banyak. Selain itu, perairan di Jawa juga kan kondisinya sudah semakin lesu. Jadi sebaiknya memang nelayan Jawa melaut ke lokasi jauh saja,” sebut dia.

Yang dimaksud lokasi jauh, Susi kemudian menjelaskan, itu adalah perairan di sekitar Natuna, Kepulauan Riau dan Arafura di Maluku. Kedua kawasan tersebut, hingga saat ini dinilai masih menjadi kawasan perairan yang memiliki biota laut sangat baik dan beragam.

Nelayan kecil, yang kerab menjadi korban kebijakan dan masih sedikit kebijakan yang memberikan perhatian kepada mereka. Foto: Tommy Apriando
Nelayan kecil, yang kerap menjadi korban kebijakan dan masih sedikit kebijakan yang memberikan perhatian kepada mereka. Foto: Tommy Apriando

Akan tetapi, Susi mengungkapkan, walau wilayah tangkap yang harus dituju jauh lokasinya, namun Susi meyakinkan kepada nelayan bahwa KKP akan membantu semaksimal mungkin. Salah satunya, dengan melibatkan BUMN Perindo di dua kawasan tersebut.

“Jadi nanti, nelayan bisa langsung menjual ikan ke Perindo yang akan ada di Natuna dan atidak usah dibawa ke Jawa lagi. Tapi, jika memang mau dibawa (ke Jawa) juga tidak apa-apa,” tutur dia.

Keluhan Nelayan di Tengah Laut

Pada akhir pekan lalu, Direktur Pengendalian Penangkapan Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKPSaifuddin menjelaskan, nelayan banyak mengeluhkan tentang adanya perbedaan aturan dari KKP dan aparat pemeriksa Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Perbedaan tersebut, sangat terasa karena jadi menyulitkan nelayan hendak melaut.

“Keluhan tersebut, terutama, syarat yang mengharuskan adanya rekomendasi dari KKP. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam waktu seminggu ke depan, KKP akan membuat surat edaran terkait surat rekomendasi ijin KKP,” ucap dia.

Untuk itu, Saifuddin berjanji akan membuat surat edaran yang menginformasikan kepada seluruh pemilik kapal bahwa dokumen yang akan diperiksa adalah tiga dokumen yaitu SIPI, SIKPI, dan SIUP. Jika ada yang meminta dokumen di luar itu, dia meminta nelayan untuk mengabaikannya saja.

“Sebenarnya di Indonesia Barat dan Tengah sudah diinfokan. Ini untuk persiapan nelayan ke Arafura dan wilayah timur Indonesia lainnya, nanti kami sebar ke Polairud untuk koordinasi,” jelas dia.

Untuk mempermudah nelayan dalam mengurus izin baru dan perpanjangan, Saifuddin menyebutkan, KKP saat ini tengah mempersiapkan pembentukan kantor Samsat yang bekerja sama dengan Kemenhub. Melalui Samsat, nantinya nelayan bisa mengurus tiga izin dengan lebih mudah dan cepat.

“Ke depan, 2017 kita mencoba ada Samsat, minimal dari sisi perijinan, percatatan dan zonasi kapal. Ini merupakan konsolidasi yang tepat untuk mempermudah para nelayan dalam mengurus izin ketiga dokumen penting tersebut,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,