Saat ini banjir seperti fenomena yang lumrah terjadi manakala hujan turun mendera. Permukaan air seketika naik lalu kemudian menggenangi ruas jalan hingga pemukiman masyarakat. Seperti yang terjadi di sebagian Kawasan Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, menjadi langganan banjir.
Tengok saja, banjir yang menggenangi jalan Pasteur dan sebagian pemukiman warga di Pagarsih, Kota Bandung, akhir bulan Oktober 2016 lalu. Meski intensitas hujan sedikit berkurang di beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung, banjir tetap masih menggenangi pemukiman warga di bantaran Sungai Citarum.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung jumlah pengungsi akibat banjir lebih dari 2500 jiwa yang tersebar di 47 posko di kawasan Baleendah, Dayeuh Kolot, Banjaran dan Bojongsoang yang terus menjadi korban setiap kali memasuki musim penghujan.
Awal bulan November 2016, banjir juga menggenangi ruas jalan Rancaekek sepanjang 300 meter. Banjir di kawasan industri itu telah menyebabkan keruwetan lalu lintas akibat meluapnya sungai Cikijing. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya kerugian dari aspek lingkungan saja tetapi juga aspek ekonomi, karena melumpuhkan salah satu jalan yang menjadi urat nadi perekonomian di Jabar.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung, memperkirakan wilayah Bandung Raya dan Kota Cimahi telah memasuki musim penghujan. Puncaknya akan terjadi di bulan November – Maret 2016 mendatang.
“Potensi hujan di wilayah Bandung Raya sendiri sebetulnya telah memasuki musim penghujan. Kalau di kota Bandung dan beberapa kota/kabupaten disekitar wilayahnya hampir sama, yaitu Maret masih musim hujan. Menurut data normal yang kami kumpulkan selama 30 tahun dari 1981 – 2010 didalamnya segala unsur cuaca ada termasuk curah hujan diperkirkan tertinggi pada bulan Maret 2017 mendatang,” kata Kepala BMKG Bandung, Rifwar Kamin, melalui Susiyani, Bagian Prakiraan Cuaca (forecaster) BMKG Bandung, Jumat, (04/11/2016), di Jalan Cemara, Sukajadi, kota Bandung.
Dia menjelaskan, selama 30 tahun tersebut, curah hujan bulan Januari normalnya sekitar 220 mililiter/bulan, serta di bulan November 270 milimeter/bulan. Namun, prakiraan cuaca tahun sekarang di wilayah Bandung Raya berkisar antara 201 – 300 milimeter dan curah hujan tertinggi di kawasan Bandung selatan mencapai angka 301 – 400 milimeter /bulan.
Dia menerangkan, yang harus diwaspadai adalah skala curah hujan harian dalam sebulan. Misalnya, dalam satu bulan potensi curah hujan 270 mililiter, karena kondisinya fluktuatif sehingga bisa jadi hujan deras mengguyur dalam satu hari. “Contohnya ketika banjir di Pasteur Senin, (24/10/2016) itu, terjadi hujan besar selang 2 jam curah hujan yang dihasilkan 77,5 milimeter dan secara keseluruhan dalam satu hari tersebut sekitar 83 milimeter. (Itu) hujan yang cukup besar,” paparnya.
Kehilangan Lahan
Pakar Hidrologi Institut Teknologi Bandung, Lambok Hutasoit menyatakan, daerah di cekungan Bandung seperti Rancaekek, Cicalengka, Margahayu, Soreang, Ciwidey, Ciparay, Majalaya, Cimahi dan Padalarang telah terjadi perambah di kawasan hulu yang sebetulnya menjadi tegakan pohon atau kawasan resapan air.
Hilangnya hutan disekeliling cekungan Bandung, akibat padatnya pemukiman penduduk dan makin menciutnya lahan pesawahan serta situ yang berpengaruh pada daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Industri juga banyak didirikan di daerah – daerah pinggiran kota, sehingga membawa perubahan nyata baik dari kehidupan masyarakat atau juga berdampak negatif pada lingkungan seperti pencemaran yang tidak terkontrol dan penggunaan air tanah oleh industri yang tidak terawasi dengan baik.
“Kearifan lokal yang telah diterapkan oleh orang tua dulu kini mulai terkikis. Secara nama arti Ranca itu merupakan rawa, rawa itu tempat air. Jadi kawasan sekitar Rancaekek seharusnya dijadikan sebagai tempat parkir air dan cocok untuk pertanian, namun sekarang justru banyak pembangunan dan air muka tanahnya kemudian terus disedot secara massif untuk keperluan industri,” kata dia.
Dia menuturkan, kawasan – kawasan yang dulunya merupakan tempat parkir air kini banyak yang beralih fungsi. Karenanya, jangan heran bila air tanah di cekungan Bandung makin dalam dari waktu ke waktu dan permukaan tanahnya makin amblas.
Mitigasi Awal
Berawal dari kegelisahan melihat kondisi lingkungan yang rentan terkena banjir, inilah yang kemudian menggerakan pemuda Karang Taruna Mekarwangi untuk melakukan mitigasi awal pencegahan dengan aksi beberesih di sepanjang aliran sungai Cibereum di Kelurahan Sukawarna, Sukajadi Kota Bandung.
“Kegiatan ini sebetulnya dimulai sejak awal Januari 2016 lalu, berangkat dari kepedulian saya untuk menyelamatkan kondisi sungai di wilayah saya yaitu sungai Cibereum. Setelah dipelajari dan ditelusuri sejarah sungai Cibereum, menarik perhatian saya untuk mencoba mengeksplore. Wilayah jelajahnya baru dimulai sekitar 2 kilometer,” ujar Dian Nurdyana, Pemerhati Sungai Cibereum.
Dian menuturkan, Sungai Cebereum merupakan salah satu sungai prasejarah hasil dari letusan Gunung Sunda selain Sungai Cikapundung. Di sungai yang berhulu di Cihideung Lembang ini dulunya merupakan tempat bermain anak – anak dan digunakan oleh sebagian masyarakat untuk berbagai keperluan.
Selain itu juga, kondisi airnya jernih serta ekologis sungai Cibereum juga sangat terjaga, terbukti dengan banyaknya ikan – ikan konsumsi yang mudah didapat dan tumbuhannya pun terawat sehingga bantaran sungai tidak mudah mengalami erosi penyebab sedimentasi.
Dia menerangkan, di daerah Sukawarna sendiri ada 3 titik mata air yang dulu sampai sekarang masih mengalir. 3 titik mata air tersebut menjadi andalan warga setempat untuk memperoleh air baku, namun, kini kondisinya terancam oleh maraknya pembangunan komplek perumahan.
Tidak hanya itu, kata dia, habitat ikan – ikan endemik disana seperti bogo juga sudah hilang oleh pencemaran sampah. Tumbuhan yang menghijau di sepanjang aliran sungai pun sudah tidak tersisa lagi, sehingga berdampak pada penyempitan lintasan sungai.
“Setelah ditelusuri melalui jalur darat ke daerah hulu ternyata banyak sekali pemukiman padat penduduk di bantaran sungai. Otomatis sampah organik dan unorganik banyak mencemari sungai, tapi ada juga limbah pembuangan (kotoran) yang ikut mencemari sungai,” ungkap Dian yang juga aktif di Komunitas Cikapundung.
Dia berujar dalam 2 jam berkegiatan di sungai, pihaknya pernah berhasil mengumpulkan sampah unorganik sekitar 40 karung. Jika 1 karung dirata – ratakan beratnya 20 kilogram ,maka total sampah yang berhasil dijaring mencapai 800 kilogram. Dia melanjutkan, faktor dominan penyebab banjir selain curah hujan yang tinggi adalah banyaknya sampah yang menyumbat saluran drainase. Pembangunan disekitar bantaran juga berpengaruh terhadap penyusutan lebar sungai.
Secara letak geografis, wilayah Cibereum berada di tengah – tengah dan masuk ke kawasan Konservasi Bandung Utara. Dian mengungkapkan,terjadi pembiaran pembangunan perumahan di bantaran sungai di wilayah hulu yang seharusnya diawasi oleh Pemerintah. Padahal, keberadaan bangunan tersebut berpengaruh pada makin sempitnya lintasan sungai.
Dikatakan Dian, saat ini ada sekitar 30 orang yang aktif berpartisipasi dan berkegiatan membenahi sungai. Untuk satu minggu kegiatan, pihaknya membutukan dana oprasional antara Rp300 ribu – Rp400 ribu. Jumlah tersebut didapatkan dari hasil iuran dan kadang juga dapat bantuan dari pihak Kelurahan untuk tambahan biaya konsumsi. Sejauh ini, kata dia, untuk penyedian peralatan logistik pihaknya masih mengandalkan hasil dari iuran.
“Fokus kami sebetulnya tidak hanya pada pengangkutan sampah semata, tetapi inti pusatnya ke sosialisai dan edukasi kepada masyarakat di bantaran sungai harus mulai menyadari bahwa sungai bukan tempat pembuangan sampah terbesar,” pungkasnya.
Rencana kedepan, kata Dian, ingin melakukan kerjasama dengan pihak yang tertarik dengan ativitas pelestarian sungai. Targetnya akan dilakukan penebaran benih ikan sebagai upaya pemulihan kembali habitat sungai serta melakukan regenerasi kepada anak – anak agar mereka tahu bahwa kehidupan tidak bisa terlepas dari keberadaan sungai.