BPDP Kukuh Sawit Tetap Bisa di Lahan Gambut

Seakan menafikan bencana lingkungan yang muncul dampak kerusakan gambut yang menjadi kebun sawit, BPDP kukuh kalau tak masalah tanam sawit di lahan gambut. Malahan badan ini menilai, kebun sawit itu bisa jadi model pengelolaan gambut berkelanjutan.

”Sawit harus menjadi solusi dari pengelolaan gambut, bukan sumber kerusakan,” kata Bayu Khrisnamurthi, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit dalam seminar Penanganan Kebakaran secara Profesional dalam Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut, di Jakarta (7/11/16).

Selama ini, katanya, sawit dianggap penyebab kebakaran gambut. Seharusnya, sawit jadi solusi atasi kebakaran hutan. Namun, dia tak menjelaskan lebih jauh seperti apa sawit solusi kebakaran itu.

Baca juga: Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan Itu

Bayu menyebut, kalau data World Resources Internasional, Center for International Forestry Research (Cifor) dan Global Forest Watch menunjukkan sekitar 7-16% lahan kebun sawit terbakar tahun 2015.

Angka ini, katanya, kebakaran di lahan berizin, dan kemungkinan terjadi di wilayah tak berizin bahkan kawasan hutan. Jadi, katanya, tak tepat jika dikatakan kebakaran lahan gambut karena perkebunan sawit.

Dia bilang juga kalau lahan gambut untuk sawit hanya 13% atau 1,5 juta hektar dari luas perkebunan di Indonesia, 11,4 juta hektar.

Bayu setuju pengendalian gambut perlu keseriusan. Dia berharap, moratorium bisa mengatur soal ini.

Aturan ini, katanya, diharapkan mampu meningkatkan produktivitas minyak sawit dari ekspansi menjadi efisiensi pengelolaan, melalui bibit unggul dan pupuk.

Dia menyatakan, moratorium tak bisa berjalan sendiri tanpa kebijakan lain. Jadi, perlu ada penegakan hukum tegas dalam perbaikan tata kelola di lapangan.

”Kalau (terjadi kebakaran) di hutan sudah pasti harus ada penegakan hukum karena melanggar aturan.”

Baca juga: Ternyata Ini Penyebab Lahan Dibakar Buat Sawit

Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengatakan, seiring kebun sawit meluas menyebabkan bersentuhan dengan kebakaran dan berbagai hal. ”Naik 180 kali dari produksi awal 1974. Sekarang,  kita menghasilkan 30 juta ton CPO (minyak sawit mentah-red),” katanya.

Dia bilang, pelaku usaha terus mencari metode dan teknik budidaya perkebunan berkelanjutan di lahan gambut.

Darmono Taniwiryono, Ketua Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) mengatakan, pertemuan ini diharapkan jadi rekomendasi pemerintah dalam pengambilan kebijakan.

”Berbicara gambut tak hanya satu perspektif, kita harus tau juga gambut bisa dibudidayakan dan dikonversi,” katanya.

Menurut Bayu, jika gambut dianggap penting, perlu ada UU hingga jelas pembagian gambut mana bisa budidaya dan lindung.

”Istilah moratorium (sawit) harus diutamakan kelestarian alam, hubungan gambut dengan pelestarian alam menjadi pokok perundangan yang akan dipatuhi semua pihak, termasuk pelaku usaha sawit,” ucap Derom.

Ini hutan gambut, dibakar, kala hutan datang, api padam, sawitpun bermunculkan.Ini salah satu penampakan hutan gambut jadi sawit di Kalteng. Foto: Sapariah Saturi
Ini hutan gambut, dibakar, kala hutan datang, api padam, sawitpun bermunculkan.Ini salah satu penampakan hutan gambut jadi sawit di Kalteng. Foto: Sapariah Saturi

Soal dorongan membakar lahan buat sawit, penelitian Herry Purnomo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB juga ilmuan Cifor, punya jawaban. Penelitian ini mengetengahkan  soal kegandrungan buka lahan dengan membakar buat kebun sawit, terlebih di gambut.

Dari penelitian Herry sejak 2013-2015 di Riau, terungkap kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian banyak orang, ternyata menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Membuka lahan buat sawit dengan membakar menjadi pilihan favorit, kata Herry, karena murah dan cepat. Sedangkan, kalau menggunakan cara-cara pengolahan lahan seharusnya, biaya mahal, terlebih di lahan gambut, akan lebih sulit. “Di lahan gambut sulit bawa traktor ke lapangan, pasti amblas.” Bakarpun jadi pilihan.

 

Belajar penanganan kebakaran dari Rusia?

Dalam acara itu ada sesi pemaparan penanganan kebakaran di Rusia. Niatnya, buat pembelajaran bagi Indonesia.

Nikolai Koeshunov, Head of Rusia Department Agricultural Sciences mengatakan, Pemerintah Rusia setiap tahun harus memadamkan kebakaran hutan hingga 3 juta hektar walau mereka sudah ada sistem pemadaman kebakaran hutan sejak 1931.

Negara yang memiliki hutan terluas di dunia, 776,3 juta hektar ini rentan kebakaran. Pada 2005, Presiden Vladimir Putin meluncurkan sistem informasi pengnderaan jarak jauh terintegrasi, RMIS.

”Bisa diakses siapapun secara online, integrasi ke seluruh negara bagian sampai di daerah yang tak bisa diakses real time,” katanya.

Standardisasi tim pemadam kebakaran hutan, paling cepat 15 menit, paling lama tiga jam menuju lokasi kebakaran. Mereka memiliki 50.000 orang pemadam kebakaran, 20.000 kendaraan beserta alat pemadaman api dan 400 helikopter.

Meski begitu, Rusia masih kebakaran hutan. Tiap tahun ada 20.000-30.000 kebakaran. ”Potensi kebakaran akan lebih besar jika sistem tak ada, kerugian materi maupun non materi akan jauh lebih besar. Investasi kami dalam bentuk uang dan tenaga, akan lebih kecil dibandingkan jika sudah terjadi kebakaran,” katanya.

Satu contoh, tanam sawit di lahan gambut dan terbakar di Kalimantan Tengah. Foto: Sapariah Saturi
Satu contoh, tanam sawit di lahan gambut dan terbakar di Kalimantan Tengah. Foto: Sapariah Saturi

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,