Konflik Perkebunan Sawit Meluas, RSPO Dituntut Segera Kembali ke Khittah

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) kembali menghelat pertemuan ke-14 (RT14) di Hotel Shangri-La, Bangkok, 7 – 10 November 2016. Perhelatan akbar yang mengusung tema Learning to Live Together from Vision to Transformation ini berlangsung di tengah suasana duka rakyat Thailand yang baru saja kehilangan panutan mereka, Raja Bhumibol Adulyadej.

Suasana duka rakyat Thailand, boleh jadi representasi dari suasana kebatinan rakyat Indonesia yang kini masih berjibaku dengan konflik panjang perkebunan kelapa sawit. Rakyat yang direnggut tanahnya, dan terampas hak-hak kemanusiaannya.

Kehadiran RSPO sejak 2004 silam, sejatinya mampu memberikan solusi dari serentetan konflik perkebunan sawit yang melibatkan masyarakat adat. Hal ini tidak berlebihan, mengingat RSPO dibentuk dengan tujuan mulia. Salah satunya, mendorong pertumbuhan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan, lewat standar-standar global yang kredibel. Apalagi, lembaga ini melibatkan stakeholders seluas-luasnya.

Setahun sejak kelahirannya, RSPO resmi mengadopsi sejumlah prinsip dan kriteria. Sayangnya, hingga kini RSPO belum memiliki kemajuan yang signifikan atas minyak sawit berkelanjutan yang menjadi jargon dari inisiatif ini.

Berdasarkan mandat pendirian dan standar operasional bagi anggota RSPO, idealnya kasus-kasus yang diadukan melalui mekanisme RSPO dan kasus yang melibatkan anggota RSPO, dapat diselesaikan secara cepat dan efektif.

Namun sampai kini, kasus-kasus tersebut tak kunjung terselesaikan. Alih-alih memulihkan hak korban yang terampas. Memenuhi rasa keadilan korban pun masih jauh dari harapan. Dan ini hal buruk bagi kredibilitas RSPO.

“Kami sudah berkali-kali mengadukan sejumlah persoalan dengan PT. Mitra Austral Sejahtera ke RSPO. Tapi sampai sekarang belum ada penyelesaian yang konkret,” kata Redatus Musa, Kepala Dusun Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Musa angkat bicara dalam konferensi pers yang dihelat Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia di sela-sela RT14, Selasa (8/11/2016), di Kota Bangkok. Dalam keterangan persnya, dia menjelaskan bahwa PT. Mitra Austral Sejahtera (Sime Darby Plantation) masuk ke wilayah Sanggau, Kalimantan Barat pada 2006. “Awalnya sebatas konsultasi dengan masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit.”

Hasilnya, kata Musa, masyarakat menerima kesepakatan tersebut dengan persyaratan wilayah yang dijadikan kebun sawit dapat dikelola melalui sistem pinjam pakai selama 25 tahun. Jika perusahaan  hendak memerpanjang kebun, harus melakukan renegosiasi dan membangun sarana prasarana umum seperti rumah sakit, sarana olahraga, gedung sekolah, serta listrik untuk masyarakat.

Namun kesepakatan yang dihasilkan, belum terwujud hingga kini. “Kami menuntut Sime Darby untuk mengembalikan tanah kami yang menjadi hak masyarakat adat. Kami juga minta perusahaan ini mematuhi prinsip dan kriteria RSPO,” kata Musa.

Pernyataan Musa ini sudah terekam dalam lembar fakta yang dirilis TuK Indonesia pada Senin (7/11/2016). “Sime Darby adalah salah satu produsen terbesar minyak sawit bersertifikat RSPO, namun di Sanggau telah terlibat dalam perampasan lahan selama bertahun-tahun, melanggar Prinsip dan Kriteria RSPO. Pada Mei 2015 masyarakat mengirimkan Sime Darby proposal resolusi konflik untuk perusahaan yang masih belum menjawab,” kata Edi Sutrisno, Kampanye Advokasi TuK Indonesia.

Perusahaan sawit yang banyak menyisakan cerita sedih terhadap masyarakat yang berada di sekitarnya. Foto: Rhett Butler
Perusahaan sawit yang banyak menyisakan cerita sedih terhadap masyarakat yang berada di sekitarnya. Foto: Rhett Butler

Pihak Sime Darby Plantation langsung merespon keluhan tersebut dari Kuala Lumpur. Head External Communications Sime Darby Berhad, Ahmad Shahriman Johari melalui keterangan persnya yang dirilis pada Selasa (8/11/2016), mengaku pihaknya telah berkomitmen membantu masyarakat menyelesaikan masalah ini.

“Kami bersimpati dengan situasi rakyat dan telah setuju membantu berdialog dengan pemerintah. Namun, kami tidak dapat menyetujui tuntutan mereka pada saat ini karena hal itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan kontrak yang ditandatangani dengan Pemerintah Indonesia,” jelas Johari.

Menurutnya, Sime Darby Plantation ingin mengatasi ketidakakuratan data yang terpublikasi. Di antaranya, pada 2012, PT. MAS dan masyarakat setempat sepakat untuk membentuk tim kerja yang terdiri dari masyarakat setempat dan perusahaan, untuk membahas 14 tuntutan yang dibuat oleh masyarakat.

Ada perwakilan dari sembilan komunitas yang merupakan bagian dari tim kerja. Namun, pada Oktober 2013, perwakilan dari dua komunitas, masing-masing Kerunang dan Entapang, menarik diri dari tim kerja.

“Sime Darby Plantation akan terus terlibat dengan masyarakat dan menawarkan semua bantuan untuk menyelesaikan masalah ini. Kami juga akan terus melaporkan keterlibatan kami secara transparan kepada RSPO,” jelas Johari.

Sawit yang mendatangkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Foto: Rhett Butler
Sawit yang mendatangkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Foto: Rhett Butler

Rentetan kasus

Insitute for Policy Research and Advocacy (ELSAM), TuK Indonesia, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Bengkulu, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Jambi, Yayasan Pusaka, SKP Keuskupan Agung Merauke, Lembaga Gemawan, dan Institut Dayakologi, mencatat sejumlah kasus perusahaan perkebunan kelapa sawit anggota RSPO yang sudah masuk dalam mekanisme pengaduan RSPO. Namun, pengaduan tersebut belum terjamah tuntas hingga kini.

PT. Wiramas Permai (Kencana Agri Group) di Luwuk, Sulawesi Tengah yang sebagian sahamnya dikuasai Wilmar Group sekitar 30 persen mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mengelola perkebunan kelapa sawit, termasuk membangun kebun bagi masyarakat dan merekrutnya sebagai sebagai buruh.

Namun dalam perkembangannya, kebun yang dijanjikan tidak pernah terealisasi. Bahkan, perusahaan ini telah merampas tanah masyarakat yang telah bersertifikat. Warga setempat memang direkrut menjadi pekerja, namun upah mereka masih berkutat di bawah UMR. Selain itu, hak-hak reproduksi pekerja perempuan tidak dilindungi seperi cuti haid dan cuti melahirkan.

Cerita yang sama datang dari Silat Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Di sana, PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Grup) telah melakukan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat Dayak. Bermula pada 2008, ketika perusahaan itu masuk tanpa persetujuan masyarakat dan tokoh masyarakat setempat.

Di saat membuka kawasan perkebunan, perusahaan ini langsung menggusur pekuburan leluhur, ladang, dan hunian masyarakat dengan luasan sekitar 600 hektar. Pelanggaran tersebut berbuntut hukum adat. Warga mengajukan tuntutan hukum adat kepada Sinar Mas Group, yang telah dipenuhi pada November 2009.

Namun, perusahaan ini kembali berulah dengan melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang dikenal dengan kasus Andi-Japin. Selain itu, Sinar Mas Grup juga masih menggusur dan tanah masyarakat tak kunjung dikembalikan.

Sementara di Bengkulu, PT. Sandabi Indah Lestari, pemasok bagi Wilmar dan Sinar Mas Grup juga melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi masyarakat di wilayah operasional mereka. Perusahaan ini tercatat melakukan intimidasi ketika warga mengadukan permasalahannya melalui mekanisme RSPO. Selain kasus ini, perusahaan juga telah mengambilalih tanah para transmigran dan melakukan kriminalisasi.

Kasus lain di Bengkulu adalah PT. Agri Andalas yang sampai saat ini belum menyediakan kebun untuk masyarakat sesuai janjinya. Masyarakat telah mengadukan tindakan PT. Agri Andalas kepada pemerintah daerah setempat, namun belum ada tanggapan.

Sementara di belahan tanah Papua, PT Nabire Baru yang beroperasi di kawasan hutan Kecamatan Yaur, Kabupaten Nabire juga melakukan pelanggaran. Anak perusahaan Goodhope Asia Group ini melanggar wilayah ulayat masyarakat adat Yerisiam Gua karena menggarap wilayah mereka tanpa kesepakatan. PT Nabire Baru juga telah menghancurkan ekologi di Nabire yang menyebabkan terjadinya deforestasi, serta hilangnya sumber makanan dan pendapatan masyarakat Yerisiam Gua.

Selain itu, PT. Nabire Baru menjalin kerjasama dengan aparat kepolisian (Brimob) untuk menjaga wilayah operasional perusahaan. Atas nama perusahaan, Brimob melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat.

Masyarakat Yerisiam Gua telah berulang kali menyuarakan protes dan ketidaksetujuannya terkait dengan pelanggaran hak asasi mereka, namun  tidak satupun direspon secara serius oleh perusahaan atau pemerintah daerah.

Kasus-kasus anggota RSPO yang beroperasi di Kalimantan Tengah seperti Sinar Mas, Wilmar Grup, dan Bumitama Gunajaya Agro (BGA), tak luput dari sasaran pengaduan. Pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit itu terlihat pada dua kasus yang melibatkan perusahaan milik BGA, yaitu PT. ASMR dan Bumitama Gunanjaya Agro.

PT. ASMR membakar hutan dan lahan pada 2015 yang mengakibatkan bencana asap di Indonesia. Pembakaran hutan dan lahan juga dilakukan oleh Bumitama Guna Jawa. Bahkan, perusahaan ini melakukan manipulasi melalui kriminalisasi terhadap masyarakat dengan bantuan dan kerja sama dengan polisi dan militer.

Selain itu, terdapat kasus yang melibatkan lima dari tujuh perusahaan milik Wilmar Grup. Kasus ini berkaitan dengan pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan PT. KSI dan PT. Rimba Harapan Sakti pada 2015. Sementara PT. KKPS Mentaya juga berkonflik dengan masyarakat.

Meskipun kasus-kasus ini sudah diadukan dan masuk dalam mekanisme RSPO, namun belum ditanggapi serius. Sebagaimana kasus yang melibatkan perusahaan milik Sinar Mas, meskipun sudah masuk sejak Juni 2015, namun hingga kini belum mendapat tanggapan serius.

Seorang pekerja di perkebunan tampak sedang mengumpulkan tandan buah sawit segar. Foto: Rhett Butler
Seorang pekerja di perkebunan tampak sedang mengumpulkan tandan buah sawit segar. Foto: Rhett Butler

Desakan untuk RSPO

Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan ELSAM, Andi Muttaqien mengatakan deretan kasus di atas menunjukkan secara empirik bahwa mekanisme pengaduan yang dibangun RSPO telah gagal menyelesaikan kasus-kasus secara efektif. Sebaliknya mekanisme RSPO malah memproduksi ketidakadilan, karena pemulihan yang menjadi hak korban justru dinegasikan.

Kasus-kasus di atas juga menunjukkan bahwa dalam menjalankan operasionalnya, anggota RSPO masih melanggar prinsip dan kriteria yang seharusnya dipatuhi oleh seluruh anggota RSPO guna mencapai produksi kelapa sawit yang berkelanjutan.

Menurut Andi, beberapa kasus belum diadukan secara resmi ke RSPO, karena bercermin dari kasus-kasus komplain yang sudah masuk dalam mekanisme yang dibangun oleh RSPO baik melalui DSF dan grievance panel belum menyelesaikan persoalan di tingkat tapak.

“Bahkan, kecendenderungan komunikasi yang dibangun tanpa ada keputusan yang adil dan menghentikan proses komplain yang masih berlangsung walaupun bukti-bukti yang kuat sudah mendukung,” jelasnya.

Umumnya, jelas Andi, perusahaan anggota RSPO hanya menempatkan prinsip dan kriteria (P&C) sebagai hal sangat teknis, dimana masalah lingkungan dan sosial hanya menjadi bagian dari skema sertifikasi keberlanjutan pasar yang dipertanyakan. Sebab, proses pengelolaan yang sangat rendah dan permintaan pasar yang tidak berkelanjutan adalah intinya. RSPO adalah mekanisme sertifikasi pasar sukarela yang bersembuyi di atas “label hijau”, namun pada kenyataanya terus manutup mata terhadap dampak negatif atas tanah, hutan, dan hak-hak masyarakat.

Dalam konteks hak asasi manusia, sambung Andi, mekanisme RSPO dan keterlibatan anggota RSPO dalam pelanggaran hak asasi manusia di wilayah operasionalnya menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang telah menjadi komitmen bersama masyarakat internasional.

Pilar ke-2 dari Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM telah memberikan koridor bahwa setiap perusahaan dalam menjalankan operasional harus menghormati hak asasi manusia dengan cara tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan.

RSPO, kata Andi, semestinya dapat mendorong anggotanya untuk menyusun komitmen kebijakan untuk menghormati HAM dan mengembangkan instrument human rights due diligence untuk menghindari berulangnya kembali pelanggaran HAM. Di samping itu, Pilar ke-3 Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM menegaskan adanya kebutuhan untuk memerluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif.

“Kami mendesak RSPO untuk  melaksanakan komitmen setiap anggotanya untuk mematuhi prinsip dan kriteria produksi minyak sawit yang berkelanjutan dalam rangka menghormati hak asasi manusia,” jelas Andi.

Buldoser yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk menebang hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim
Buldoser yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk menebang hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

Sementara Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Musri Nauli mengatakan hingga RT14, isu sosial tidak lagi mendapatkan tempat di RSPO. “Anggota RSPO kemudian melemparkan kesalahannya kepada RSPO. Selanjutnya RSPO menjadi mesin yang baik. Saat ini RSPO tidak maksimal, karena anggotanya sendiri kurang respon terhadap laporan RSPO. Sehingga, tidak salah kemudian RSPO menjadi mesin pencuci dosa perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM,” katanya.

Senada dengan Nauli, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Arie Rompas mengatakan RSPO dalam usia yang sudah matang ternyata tidak mampu menjawab keberlanjutan sebagaimana jargonnya. “RSPO hanya memproduksi konflik dan kerusakan hutan yang berkelanjutan dan tidak bertanggung jawab,” katanya.

Pria yang akrab disapa Rio ini menilai, RSPO tidak bisa lagi menyembunyikan dan melindungi praktik buruk anggotanya, tetapi harus memberikan sanksi yang tegas dan dipublikasi secara akuntabel dan mengikat.

Beni Ardiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu menilai, RSPO saat ini hanya alat legitimasi proses penghapusan hak rakyat atas hak untuk hidup aman. Konsep negara melindungi korporasi, menghargai hak rakyat, tidak sejalan dengan realita yang ada.

Sedangkan Hermawansyah dari Lembaga Gemawan menyebut jika RT14 ini tidak ingin dijadikan sebagai The Last Rountable, maka RSPO harus lebih progresif menjalankan fungsinya. Salah satu fungsi yang menjadi mandat utama RSPO tetapi tidak efektif adalah complain hendeling mechanism (mekanisme penanganan keluhan) melalui Dispute Settlement Fasility (DSF) atau fasilitas penyelesaian sengketa.

“Banyak kasus yang tidak terselesaikan menjadi bukti bahwa RSPO hanya melayani kepentingan korporasi. P&C RSPO yang telah mengadopsi prinsip penghormatan terhadap HAM dan keberlanjutan lingkungan hanya indah di atas kertas, tapi implementasinya di lapangan jauh panggang dari api,” cetus Hermawansyah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,