Dua Pelajar Ini Meninggal di Lubang Area Konsesi Tambang, Jelang Hari Pahlawan

Menangis tersedu, Adi Suyanto (45) menceritakan kisah pilu kematian putranya, Dias Mahendra (15) yang tenggelam di lubang konsesi PT. Energi Cahaya Indistritama (PT. ECI). Meski bukan bekas galian tambang, namun kubangan besar itu hasil urukan perusahaan dengan kedalaman lebih dari 3 meter.

Tidak sendiri, Dias nyatanya meninggal bersama temannya, Edi Kurniawan (15). Keduanya adalah kawan karib di Sekolah Menengah Pertama Negri 20 di Kelurahan Bukuan, Kecamatan Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim).

Siang itu, Selasa (8/11/2016) bersama lima kawan lainnya, Dias dan Edi mencari sebilah bambu untuk membuat prakarya tugas sekolah. Ketujuh anak tersebut lantas memasuki area konsesi PT. ECI, yang berada di Kelurahan Bukuan, Palaran. Melihat kolam yang airnya jernih, Edi tertarik memasukinya, sekitar pukul 15.30 Wita.

Naas, Edi langsung tenggelam lantaran tak bisa berenang. Melihat kejadian itu, Dias langsung melompat ke kolam untuk menyelamatkan Edi. Namun, keduanya justru tenggelam bersama, yang kemudian ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Jasad Dias ditemukan sekitar pukul 16.00 Wita, sementara tubuh Edi ditemukan 90 menit kemudian.

“Sebelum mencari bambu bersama temannya, dia sempat bicara pada kakaknya. Katanya, kak jaga ayah dan ibu ya. Lalu pamit,” kata Adi, Rabu (9/11/2016). Bagi Adi, kematian Dias adalah takdir, meski kejadiannya berada di konsesi tambang PT. ECI. “Kami ikhlas, tidak perlu dibawa ke ranah hukum.”

Triyono, pemilik lahan sebelumnya, mengatakan area itu awalnya persawahan yang terpaksa dilepas ke perusahaan lantaran sudah tidak bisa dipakai bercocok tanam. Airnya beracun, tercemar dari lubang-lubang tambang yang ada. Lubang itu hanya berjarak 300 meter dari permukiman warga atau 15 meter dari persawahan. “Karena berhimpitan sawah, kami relakan areal itu direbut PT. ECI. Saya pernah perotes, kenapa areal lumbung pangan ini diubah jadi lubang tambang, tapi tidak ada jawaban,” jelasnya.

Edy Kurniawan (kiri) dan Dias Mahendra dalam kenangan. Dua pelajar ini tenggelam di lubang yang berada di area konsesi PT. ECI. Sumber foto Jatam Kaltim
Edy Kurniawan (kiri) dan Dias Mahendra dalam kenangan. Dua pelajar ini tenggelam di lubang yang berada di area konsesi PT. ECI. Sumber foto Jatam Kaltim

Bukan yang pertama

Dari data yang dikumpulkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, PT. ECI berdiri sejak 2006 dengan area konsesi seluas 1.977,33 hektare. Pada 2014, satu lubang bekas galian tambang PT. ECI menewaskan anak perempuan, Nadia Zaskia Putri (10). Dari kasus itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) menghukum PT. ECI dengan pengehentian sementara operasional.

Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang mengungkapkan, PT. ECI tidak pernah belajar dari kasus kematian sebelumnya. Perusahaan lalai. Lubang bekas galian tambang dibiarkan menganga, termasuk lubang yang menewaskan Edi dan Dias. ”Saat ini, masih ada 632 lubang bekas tambang di seluruh Kalimantan Timur yang dibiarkan menganga. Khusus Samarinda ada 232 lubang.”

Sejak 2011 hingga 2016, sudah 26 korban meninggal di area konsesi tambang di Kaltim. Karena jumlah korbannya banyak, Darma menyatakan persoalan tersebut harus dikategorikan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Jatam melihat lubang-lubang tambang tersebut merupakan pembunuh generasi muda, calon pemimpin Indonesia. “Kami sudah minta seluruh lubang tambang ditutup juga adanya audit seluruh perusahaan tambang. Hasilnya tidak ada.”

Terkait hukum pengusutan kasus, Darma menjelaskan, tidak hanya instrumen KUHP yang digunakan tetapi juga tindak pidana lingkungan hidup. Ini sesuai Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 32 Tahun 2009, UU No.04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, dan Keputusan Menteri Nomor: 555.K26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum.

“Kalau ditanya apa tuntutan Jatam, Polda harus segera menyeret pemilik IUP PT. ECI yang terbukti lalai serta mendesak pemerintah selaku pemberi izin juga pengawas untuk bertanggung jawab atas kebijakan tersebut. Jatam Kaltim juga meminta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk blusukan. Melihat langsung lubang-lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga.”

Tambang milik CV. Cahaya Ramadhan, anak perusahaan PT. Energi Cahaya Industritama (ECI), yang telah memakan korban di April 2014. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Tambang milik CV. Cahaya Ramadhan, anak perusahaan PT. Energi Cahaya Industritama (ECI), yang telah memakan korban di April 2014. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Dua lembaga

Darma mengatakan, sebenarnya Kaltim memiliki dua kelembagaan yang di bentuk tahun 2016 untuk mengawal kegiatan pertambangan. Ada Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca Tambang (KRPT) serta Pansus Reklamasi dan Investigasi Korban Lubang Bekas Tambang (PRIKLBT) dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim. Sayang, dua lembaga tersebut, tidak memberikan perubahan.

“Sudah lebih dari tiga bulan pansus bekerja, belum satu pun rekomendasi penutupan tambang dikeluarkan. Begitupun KPRT, yang hanya memberikan rekomendasi hukuman administratif bukan sanksi pidana.”

Berbagai hal sudah diupayakan untuk mengatasi persoalan kematian anak-anak di area konsesi tambang. Ada Pakta Integritas (20 Juni 2016) yang ditandatangani di depan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan KLHK, serta Kordinasi dan Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Namun Jatam melihat, semua itu dipandang sebelah mata serta diabaikan oleh para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan juga pengawas.”

Lubang tambang yang teramat dekat permukiman warga membuat keselamatan nyawa anak-anak terancam. Foto: Jatam Kaltim
Lubang tambang yang teramat dekat permukiman warga membuat keselamatan nyawa anak-anak terancam. Foto: Jatam Kaltim

Pidana

Akademisi Hukum dari Fakultas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai, meninggalnya Dias dan Edi dan kasus sebelumnya merupakan kasus hilangnya nyawa manusia yang bukan peristiwa biasa. Dapat dimasukkan sebagai peristiwa pidana, artinya harus ada pihak yang bertanggung jawab secara pidana.

“Seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana ketika memenuhi dua unsur yakni telah melakukan perbuatan pidana (actus reus) dan padanya terdapat aspek pertanggungjawaban pidana (mens rea).”

Dalam kasus ini, lanjut dia, hilangnya nyawa manusia diakibatkan oleh kesengajaan atau kelalaian/kealpaan. Hal tersebut sebagaimana diatur Pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Kealpaan atau kelalaian di sini merujuk kepada dua hal. Pertama, kelalaian akibat tidak dilaksanakannya kewajiban penanggung jawab usaha sebagaimana yang telah diperintahakan undang-undang, khususnya reklamasi dan pasca-tambang. Artinya, tidak dilakukannya reklamasi yang kemudian menjadikan lubang neraka yang menghilangkan nyawa manusia. Kedua, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dari penanggung jawab usaha terhadap pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang.

Seperti diketahui, dalam penjelasan Herdi, kasus ini tidak ditemukan rambu tanda berbahaya dan pagar pembatas di sekitar lokasi kejadian, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 555.K/26/M.PE/1995. Selain itu, jarak lubang tambang juga tidak memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batu bara, yang mengharuskan minimal 500 meter jarak tepi lubang galian dari permukiman warga.

Dalam aspek yang lain, peristiwa pidana dalam kasus ini juga dapat terjadi akibat tidak adanya pengawasan terhadap ketaatan dari penanggung jawab usaha, khususnya dalam hal memastikan kewajiban reklamasi dan pasca-tambang. Pengawasan tidak hanya menjadi kewajiban dari penanggung jawab usaha secara internal, tetapi juga kewajiban pemerintah secara eksternal.

Dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa, “Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”

Lokasi dua pelajar tenggelam yang berada di konsesi PT. ECI. Sumber: Jatam Kaltim
Lokasi dua pelajar tenggelam, Dias dan Edi, yang berada di konsesi PT. ECI. Sumber: Jatam Kaltim

Secara prinsip, kata dia, perbuatan pidana tentu saja menuntut pertanggungjawaban pidana pula. Dalam kasus ini, pertanggungjawaban pidana tidak hanya dialamatkan kepada kontraktor semata sebagai pelaksana kegiatan. “Namun faktanya, 2 dari total kasus kematian yang telah diproses secara pidana, cenderung hanya menyeret pelaksana kegiatan lapangan alias kontraktor. Sementara, pemegang IUP termasuk koorporasinya, tidak tersentuh sama sekali,” ungkap Herdiansyah.

Meskipun dalam dokumen kontrak, tanggung jawab telah dilimpahkan kepada kontraktor, tetapi bukan berarti pemegang IUP lepas dari tanggung jawab. Artinya, tanggung jawab pemegang IUP tetap utama, mengingat posisinya sebagai penggerak berjalannya korporasi (directing mind) dari hulu ke hilir, yang memiliki kewajiban melekat terhadap kegiatan reklamasi dan pasca-tambang.

“Tanggung jawab pemegang IUP ini, merupakan aspek pokok dalam kegiatan usaha pertambangan. Pemegang IUP boleh mengalihkan pekerjaan kepada jasa usaha pertambangan atau kontraktor, tetapi tanggung jawab terhadap akibat dari kegiatan tersebut, tidak hilang begitu saja.”

Hal tersebut secara jelas disebutkan dalam Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyatakan bahwa, “Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK.”

Terkait kematian dua remaja ini, Herdiansyah khawatir jika penyidik pada akhirnya tidak melakukan proses hukum karena keluarga keberatan dilakukan otopsi. Padahal Pasal 134 ayat 1, 2 dan 3 KUHAP, sudah jelas mengaturnya. Penyidik hanya berkewajiban memberitahukan pihak keluarga terkait rencana dan prosedur otopsi. Jika dalam waktu 2×24 jam tidak ada tanggapan, otopsi jalan terus. “Otopsi itu wajib, penyidik harus melakukan meski keluarga keberataan. Karena itu kewajiban pembuktian agar proses hukum terus berjalan. Ini demi keadilan publik,” katanya.

Kepala Teknik Pertambangan PT. ECI, Budi Fahrano mengatakan, perusahaan menyayangkan musibah kematian dua pelajar tersebut. Dia memastikan, perusahaan telah memberikan santunan pada keluarga korban sebagai wujud bela sungkawa. “Kami memasang rambu-rambu di setia sudut area konsesi. Lubang tersebut bukan lubang bekas galian tambang,” pungkasnya.

Data korban meninggal di lubang tambang Kalimantan Timur. Silakan unduh 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,