Kala Keterbukaan Data Masih Sulit, Akankah Kebijakan Satu Peta Terwujud?

Keterbukaan informasi masih menjadi barang mahal di Indonesia. Pemerintah dinilai enggan berbenah hingga mendapatkan informasi publik pun kerab harus melalui meja hijau. Padahal, pemerintah menggembar-gemborkan transparansi, salah satu lewat Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Dengan kebijakan ini publik bisa mengakses data dengan terbuka.

Salah satu gugatan informasi soal peta konsesi dan tutupan hutan format shappefile, oleh Greenpeace kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Greenpece menang, Komisi Informasi Pusat memerintahkan KLHK membuka peta shapefle kehutanan. Sikap pemerintah bertahan, dengan banding ke PTUN Jakarta, Senin (7/11/16).

Alasan keberatan KLHK karena belum ada terknologi pengesahan data, merujuk Pasal 26 dan 41 UU Informasi Geospasial.

Begitu juga gugatan dari Forest Watch Indonesia (FWI). Kementerian Agaria dan Tata Ruang banding atas putusan KIP yang memenangkan FWI yang menggugat agar kementerian itu membuka data-data izin hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit di Kalimantan.

Alasan pemerintah, bisa menimbulkan persaingan usaha dan khawatir disalahgunakan. Proses hingga kini masih berlangsung.

”Ini menjadi cermin pemerintahan. Prosesi persidangan panjang jadi langkah pelemahan keterbukaan informasi publik,” kata Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif FWI.

Menurut Leonard Simanjuntak, Direktur Eksekutif Greenpeace Indonesia, keterbukaan informasi mampu membantu pemerintah dalam penyelesaian masalah kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi.

Peta shp, katanya, merupakan informasi mentah mampu memberikan akurasi data lebih tinggi dibandingkan format JPEG dan PDF.

“Peta JPEG dan PDF perlu digitalisasi ulang manual dan menimbulkan penyimpangan antara peta dan lapangan,” kata Wirahandieto, Kepala Tim Pemetaan dan Riset Kampanye Hutan Greenpeace.

Sumber: BIG
Sumber: BIG

Dia mencontohkan, peta kawasan hutan skala 1:250.000, penyimpangan digital bisa satu milimeter atau 250 meter di lapangan.

Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur International Center for Enviromental Law (ICEL) mengatakan, upaya banding pemerintah sebagai kemunduran nilai transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

“Ini permasalahan struktural.  Sebenarnya data yang diminta cukup ditampilkan dalam website, tak memerlukan melalui sengketa,” katanya.

Dari sisi peraturan perundangan geospasial, syarat pengesahan ini bisa secara prosedural. ”Pemberian peta shp ini bisa melalui model perjanjian antara KLHK dengan pemohon. Itu sudah termasuk legislasi dan tak menyalahi UU,” katanya.

Jadi, jika  terjadi masalah, KLHK mampu melacak kepemilikan data yang dipermasalahkan.

Sebelumnya, ICEL pernah kalah gugatan ke KIP atas tutupan lahan di Aceh 2010-2013.

”Jika pemerintah tak jalankan putusan KIP, tak sesuai dengan nilai transparansi.”

Ceritanya, pemerintah menyadari dan terbuka atas keamburadulan peta yang mereka miliki kala Sidang Kabinet Desember 2010. Saat sidang itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan,  banyak informasi bersifat geospasial tumpang tindih antar-instansi pemerintah.

Masing-masing kementerian, lembaga sampai daerah punya peta sendiri, tak ada satu acuan. Kondisi ini menimbulkan masalah beruntun terhadap beragam perencanaan lahan nasional.

Kebijakan Satu Peta pun digagas.  Niatnya, dengan kebijakan Satu Peta, peta-peta yang berserakan beragam wujud itu dijadikan peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal.

Aturan pendukung upaya pencapaian satu peta pun keluar dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Keluar juga Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Upaya ini belum membuahkan hasil bagus. One Map, masih jauh dari harapan sampai pergantian kepemimpinan negeri. Beragam masalah masih banyak muncul di lapangan dari tata batas, izin pemanfaatan lahan seperti perkebunan, HTI sampai pertambangan. Juga masalah peta rencana tata ruang sampai tumpang tindih perizinan maupun dengan lahan-lahan masyarakat.

Pada 21 Desember 2015, dalam paket kebijakan tahap VIII, Presiden Joko Widodo menargetkan percepatan One Map Policy. Keluarlah Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000.

Akankah transparansi lewat Kebijakan Satu Peta, benar-benar bisa terwujud?

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,