Mencari Strategi yang Pas untuk Implementasi SGDs Butir 14: Ekosistem Kelautan

Indonesia ditantang untuk bisa melaksanakan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau sustainable development goals (SDGs) butir 14 dalam bentuk riil yang bisa diterima oleh masyarakat luas. TPB butir 14 tersebut adalah tentang ekosistem kelautan yang mencakup pengembangan ekonomi maritim dan kelautan dan menjadi bagian dari TPB pilar lingkungan.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Gellwyn Jusuf di Bogor, Rabu (9/11/2016) mengungkapkan, butir 14 TPB saat ini sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019.

Menurut Gellwyn, turunan dari butir 14 tersebut adalah  meningkatkan dan mempertahankan kualitas daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan laut, dan meningkatkan harkat hidup nelayan dan masyarakat pesisir.

“Pembangunan ke depan diharapkan akan berdasarkan poins dari SGDs tersebut,” ucap dia.

Di Indonesia, Gellwyn menuturkan, ketergantungan masyarakat terhadap laut masih sangat tinggi. Meskipun, dari total penduduk Indonesia sekarang, hanya sekitar enam juta orang saja yang terlibat secara langsung dalam perikanan dan budidaya laut.

“Namun, itu sudah menunjukkan bahwa laut memiliki peranan sangat penting bagi Indonesia, karena banyak warga pesisir dan juga masyarakat perkotaan yang tergantung pada hasil laut,” sebut dia.

Tak hanya itu, Gellwyn menuturkan, ekosistem laut di Indonesia juga dinilai masih sangat penting, karena saat ini Indonesia berperan sebagai rumah bagi lebih dari 20 persen atau sekitar 2,2 juta hektare hutan mangrove di dunia.

Kemudian, Indonesia juga tercatat memiliki 18 persen dari seluruh total terumbu karang yang ada di dunia. Tak lupa, Gellwyn menyebut, Indonesia juga memiliki sekitar 54 persen sumber protein yang diketahui berasal dari ikan dan makanan laut.

Gellwyn memaparkan, tantangan yang harus dihadapi Indonesia jika ingin melaksanakan butir 4 TPB, adalah masih adanya ketimpangan pengelolaan dan kurangnya perlindungan ekosistem laut dan pesisir di beberapa wilayah.

Tidak hanya orag dewasa, anak-anak juga terlibat dalam program restorasi mangrove di Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Mereka dilibatkan dalam sekolah lingkungan yang di dalamnya diajarkan pentingnya menjaga pesisir dan laut termasuk keberlangsungan mangrove dan padang lamun. Foto: Wahyu Chandra.
Tidak hanya orag dewasa, anak-anak juga terlibat dalam program restorasi mangrove di Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Mereka dilibatkan dalam sekolah lingkungan yang di dalamnya diajarkan pentingnya menjaga pesisir dan laut termasuk keberlangsungan mangrove dan padang lamun. Foto: Wahyu Chandra.

Kemudian, tantangan kedua, adalah masih tingginya tingkat penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing. Dan terakhir, adalah masih adanya ketimpangan infrastruktur laut yang bisa memicu ketimpangan dalam banyak hal.

Tantangan tersebut muncul, karena menurut Gellwyn, tujuan dari butir no.14 TPB, adalah untuk melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan.

“Saat ini, kita masih menunggu Perpres (Peraturan Presiden) untuk butir 14 ini. Ini sangat penting, karena akan menjadi panduan kita ke depan,” ujar dia.

Gellwyn menjelaskan, di dalam draf perpres, disebutkan  bahwa sasaran nasional dari butir 14 TPB adalah untuk mewujudkan tata kelola pemanfaatan sumber daya kelautan melalui ketersediaan kebijakan, kerangka hukum, dan instrumen terkait penataan ruang laut nasional, serta terkelolanya 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) secara berkelanjutan hingga 2019.

“Pada 2015, jumlah WPP sudah dikelola secara berkelanjutan baru ada 5 WPP,” sebut dia.

Sasaran nasional berikutnya dari butir 14 TPB yang dituangkan dalam draf perpres, adalah bertambahnya luasan kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektare sampai dengan 2019. Naskah tersebut menjelaskan, bahwa pada saat ini, luasan masih belum cukup luas.

“Tahun 2015, luasan baru mencapai 17,3 hektare saja,” jelas dia.

Sasasaran ketiga yang juga ada dalam draf, kata Gellwyn, adalah meningkatkan produksi perikanan tangkap menjadi 6.982.560 ton pada 2019 atau naik dari jumlah pada 2015 : 6.299.290 ton. Dan, yang terakhir, atau sasaran keempat, adalah terkendalinya illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing dan kegiatan di laut yang merusak ditandai dengan kepatuhan sebanyak 87 persen pelaku usaha pada 2019.

“Pada tahun ini, kepatuhan baru mencapai 66 persen,” pungkas dia.

Karbon Biru versus Perikanan Budidaya

Guru Ilmu Atmosfer Institut Pertanian Bogor (IPB) Daniel Murdiyarso, dalam kesempatan sama mengungkapkan, munculnya butir 14 dalam TPB yang masuk dalam pilar lingkungan, menjadi penanda bahwa ekositem di laut harus dimanfaatkan secara maksimal untuk kebaikan.

Salah satu yang bisa dimanfatkan itu, kata Daniel, adalah hutan bakau atau mangrove. Pemanfaatan hutan bakau, adalah untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Keberadaannya bisa menyerap emisi yang bertebaran di udara dengan sangat banyak.

Taman Mangrove menjadi pelengkap setelah menyusuri sungai di kawasan Solaria Lamongan. Foto Anton Muhajir
Taman Mangrove menjadi pelengkap setelah menyusuri sungai di kawasan Solaria Lamongan. Foto Anton Muhajir

Menurut Daniel, kemampuan mangrove dalam menyerap emisi di bumi, mencapai 20 kali dari kemampuan hutan tropis. Karena itu, mangrove keberadaannya bisa menjadi gudang terbesar untuk penyimpanan emisi dunia.

“Potensi ekonomi dari mangrove sangatlah besar. Ada potensi blue carbon yang bisa menghasilkan nilai ekonomi hingga USD10 miliar. Itu jumlah yang sangat besar,” jelas dia.

Besarnya potensi karbon biru atau blue carbon tersebut, kata Daniel, tidak lepas dari luasnya kawasan mangrove di Indonesia yang saat ini mencapai 2,9 juta hektare. Luasan tersebut sama dengan luas negara Belgia di Eropa atau seperempat luasnya dari total luas mangrove yang ada di seluruh dunia.

Daniel memaparkan, dalam satu hektar hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Dan faktanya, saat ini hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.

“Saat ini karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia mencapai 3,14 miliar ton. Dan, untuk bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, Indonesia perlu waktu hingga 20 tahun lamanya,” ucap dia.

Karena begitu besarnya potensi penyimpanan karbon, Daniel mengingatkan kepada semua orang untuk selalu menjaga hutan bakau di Tanah Air. Pasalnya, jika sampai terjadi deforestasi mangrove, maka akan ada karbon yang dilepaskan ke udara.

“Itu artinya, ada emisi yang kembali udara. Dan, emisi tahunan dari kerusakan hutan mangrove Indonesia mencapai 190 juta co-eq. Itu jumlah yang sama dengan emisi jika setiap mobil di Indonesia mengitari bumi hingga dua kali,” tandas dia.

Menurut Daniel, kerusakan mangrove di Indonesia ikut menyumbangkan kerusakan mangrove di dunia. Karena faktanya, emisi global tahunan dari rusaknya ekosistem pesisir berasal dari rusaknya hutan mangrove Indonesia.

Mangrove hasil rehabilitasi yang tumbuh baik di Kuala Rigaih, pantai barat Aceh. Foto: Onrizal
Mangrove hasil rehabilitasi yang tumbuh baik di Kuala Rigaih, pantai barat Aceh. Foto: Onrizal

Dan, Daniel menyebutkan, salah satu penyebab terjadinya kerusakan mangrove di Indonesia, adalah karena semakin masifnya pengembangan sektor perikanan budidaya di seluruh pulau. Tak tanggung-tanggung, dia menyebut, dalam tiga dekade terakhir, 40 persen hutan mangrove Indonesia rusak, karena budidaya perikanan.

“Setiap tahun, 52 ribu hutan mangrove Indonesia hilang dan itu setara dengan areas seluas kota New York di AS dalam 18 bulan,” jelas dia.

Sumbangsih Akademisi

Agar implementasi butir 14 TPB bisa berjalan dengan baik, tak hanya diperlukan praktisi dan pakar yang paham dengan benar kondisi maritim dan kelautan di Tanah Air, namun juga perlu dukungan dari kampus untuk melakukan riset ilmiah. Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Luky Adrianto.

“Indonesia memiliki sumber daya laut yang melimpah dan tidak dimiliki oleh negara lain. Tapi faktanya, itu belum dimanfaatkan dengan baik dan benar oleh kita. Dan itu perlu dukungan kampus untuk melakukan riset ilmiah,” jelas dia.

Luky mengatakan, fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, seharusnya bisa menjadi keunggulan. Tetapi, fakta juga berbicara bahwa Indonesia saat ini menjadi negara maritim dan perikanan yang tidak kuat.

Luky menyebut, untuk daya saing saja, Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan, dan itu terjadi juga pada 2016. Fakta lain juga diungkap dia, Indonesia saat ini tidak termasuk dalam kelompok utama pengeskpor ikan di dunia.

“Indonesia masih kalah bersaing dengan Tiongkok, Norwegia, Vietnam, dan Thailand,” jelas dia.

Untuk itu, perlu upaya yang kuat dari Pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan butir 14 TPB dan bagaimana mensinergikannya dengan semua sektor kehidupan dan ekonomi yang ada. Tantangan tersebut juga harus dipecahkan oleh akademisi yang ada di peguruan tinggi di mana pun berada.

“IPB saat ini sudah mendeklarasikan sebagai central of excellent untuk butir 14 SGDs ini. Dengan deklarasi ini, diharapkan ada sumbangsih untuk tata kelola kemaritiman, perikanan dan kelautan di Tanah Air,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,