Warga Mulai Serahkan Satwa Sukarela, Lembaga Konservasi Terbatas, BKSDA: Terpaksa Titip di Kebun Binatang

Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), Sabtu (5/11/16) memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2016, di Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Tampak pelajar, perangkat desa dan kecamatan, serta masyarakat umum dan sejumlah mitra BBKSDA Sumut hadir. Mereka menanam pohon, menyerahkan berbagai jenis satwa, dan menyumbangkan berbagai jenis bibit pohon yang akan ditanami.

BBKSDA Sumut juga menerima satu kucing hutan (felis bengalensis) milik warga, yang diserahkan sukarela. Sang pemilik baru sadar kalau satwa ini masuk binatang dilindungi dan dilarang dipelihara apalagi diperdagangkan.

Satu kukang Sumatera (Nycticebus coucang) milik warga Jalan Perjuangan yang diserahkan pada Indonesian Species Conservation Program (ISCP), juga diserahkan ke BBKSDA Sumut. Juga 20 burung jalak kapas, milik SMAN An Nizam Medan, dan dua burung Jalak Kerbau dari FK3I juga diberikan ke BBKSDA. Semua menyerahkan sukarela.

Di Sumut, menurut Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Sianturi kepada Mongabay, pada Senin (7/11/16),  BKSDA bahkan sampai kesulitan ketika hampir tiap minggu, warga datang ke Kantor BBKSDA menyerahkan berbagai jenis satwa, mulai kukang, owa, siamang, berbagai jenis burung, bahkan orangutan anakan.  Terakhir, ada warga menyerahkan buaya muara yang sudah dipelihara belasan tahun.

Semua, katanya, mengaku tak tahu kalau binatang yang mereka pelihara dilindungi UU, dan ada ancaman pidana serta denda bagi yang melanggar.

Kala kesadaran masyarakat menyerahkan satwa dilindungi makin tinggi, katanya, BKSDA mengalami kendala dalam menempatkan satwa-satwa itu karena lembaga konservasi sebagai tempat penitipan maupun rehabilitasi masih sedikit.  “Ya, terpaksa ke kebun binatanglah, padahal saya sangat menghindari itu, ” katanya.

Perdagangan satwa, katanya,  merupakan persoalan rumit dan harus melibatkan banyak pihak,  termasuk mitra konservasi dan masyarakat, serta karantina di sejumlah pelabuhan di Sumut.

Perdagangan dan penyelundupan satwa ini, juga menggunakan pengiriman melalui laut. Kerjasama dengan aparat penegak hokum, katanya, terus dilakukan guna menekan perdagangan satwa ilegal.

Di Sumut, satwa paling banyak diperdagangkan ilegal adalah trenggiling. Dari pengungkapan kasus, perdagangan trenggiling dalam jumlah besar mencapai ribuan ekor, baik sudah mati maupun hidup, termasuk sisik.

Selain itu, ada juga pengungkapan perdagangan kulit harimau Sumatera, dan berbagai jenis burung endemik di Sumut.

“Harapan saya, masyarakat sadar dan mengetahui tak boleh memelihara, memburu apalagi memperdagangkan satwa dilindungi maupun tidak. Tempat mereka bukan di kandang melainkan di alam liar, ” katanya.

Dia mengatakan, perdagangan satwa ilegal tertinggi setelah narkoba. Kondisi ini, katanya, tak bisa dibiarkan begitu saja. Untuk itu, perlu tindakan tegas dan hukuman maksimal agar ada efek jera. Dalam UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem,  hanya menjerat maksimal lima tahun, denda Rp100 juta.

“Ada harapan UU segera direvisi dan memberikan hukuman minimal berat, hingga ada penjeraan bagi jaringan perdagangan satwa ilegal ini. ”

Rudianto Sembiring, Direktur ISCP, mengatakan,  penyadartahuan masih lemah menjadi penyebab utama perdagangan dan perburuan satwa terus terjadi.

Jaringan perdagangan satwa, katanya,  memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar hutan, untuk memburu dan memperdagangkan kepada para kelompok perdagangan satwa. Ada juga yang sengaja memburu untuk dijual.

“Intinya penyadartahuan harus terus dilakukan, agar masyarakat bisa membantu petugas menangkap para pemodal yang membeli dan memperdagangkan kembali.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,