Pertama kalinya di Aceh, drone, pesawat kecil tanpa awak yang dikendalikan oleh remote kontrol, mulai dipakai untuk membantu mitigasi konflik gajah dan manusia. Drone ini digunakan saat warga Karang Ampar dan Bergang dibantu tim conservation respons unit, Pemerintah Aceh Tengah dan WWF Indonesia selama lima hari, di akhir Oktober lalu, melakukan penggiringan beberapa ekor gajah liar keluar kawasan budidaya masyarakat. Tujuannya, kembali ke koridornya di lembah sungai Peusangan, Aceh Tengah.
Di Karang Ampar dan Bergang, kelompok gajah yang berjumlah 5 – 10 individu itu, sudah tiga bulan berada di sana. Siang hari, mereka bersembunyi di bawah rimbunan pohon dan alur-alur sungai yang tertutup semak. Menjelang petang hingga fajar menyingsing, mereka berpencari mencari makan ke kebun-kebun warga.
Konflik gajah dan manusia terjadi setiap tahun sejak 2013, ketika jalur jelajah gajah di Peusangan menyempit akibat pembukaan areal budidaya. Di sini 40 ekor gajah hidup berpencar di sepanjang koridor sempit sungai Peusangan yang panjangnya hanya 15 kilometer.
Zulfikar Ahmad dari Dinas Perkebunan dan Kehutana Aceh Tengah, dalam proses penggiringan gajah tersebut memboyong 3 staf dan 2 unit drone. Ini sekaligus pengalaman pertama mereka mencari gajah dengan drone, yang bersembunyi di hutan kecil di sepanjang bukit.
Komunikasi antara yang mengontrol pergerakan drone dengan kelompok penggiring gajah menggunakan handy talky. Setiap kali kelompok penggiring kehilangan jejak, mereka akan meminta bantuan drone untuk mencarinya. Apalagi jika gajah masuk ke wilayah yang sulit di jangkau seperti atas bukit yang curam atau di hutan yang rimbun.
Karang Ampar dan Bergang berada di antara bukit-bukit dengan pepohonan lebat kanopinya. Gajah kerap bersembunyi, sehingga menyulitkan drone mencari sosok gajah.
Nurdin Syah, operator drone harus jeli melihat pergerakan daun-daun dan batang-batang pohon melalui layar tablet yang dipegangnya. “Tidak gampang mencari gajah karena banyak pohon,” katanya.
Pada hari kedua penggiringan gajah, drone berhasil merekam pergerakan tiga individu gajah dari ketinggian 73 meter. Seekor gajah remaja, seekor jantan dan seekor betina dewasa berjalan beriringan di kebun yang terbuka. Suara drone yang seperti suara lebah berdengung itu sepertinya membuat gajah remaja panik dan coba berlari melewati gajah dewasa yang mengawalnya. Gajah memang tidak suka suara lebah.
“Regu minta bantuan untuk melihat ada kemungkinan gajah. Saat melihat jejak baru kita langsung informasikan. Lalu gajah digiring lagi. Drone sangat bermanfaat karena bisa mengidentifikasi pasti keberadaan gajah serta menginformasikan kondisi lapangan kepada tim yang melakukan penggiringan,” kata Zulfikar.
Namun drone juga memiliki kelemahan karena batere hanya bertahan 20 menit. Sering sekali operator drone harus menarik pulang pesawatnya untuk mengganti batere. “Di saat kembali, gajahnya sudah tidak berada di tempat terakhir.”
Zulfikar mengatakan, hujan dan angin kencang juga menyulitkan drone bekerja. “Jika angin kencang batere lebih cepat habis. Dan kami belum berani menerbangkan drone dalam kondisi hujan lebat.”
Gundalipa, anggota tim penggiring gajah mengatakan, drone bermanfaat bagi mereka yang menggiring gajah. Posisi drone bisa menjadi tanda bagi mereka dimana gajah bersembunyi. “Namun ada kondisi dimana drone harus pergi karena suaranya mengganggu pergerakan gajah sehingga gajah agak panik.”
Zulfikar menyarankan, antara tim darat, tim drone, dan tim pendukung, perlu disamakan persepsi mengenai arah pergerakan gajah. “Informasi yang salah dapat membahayakan tim yang sedang menggiring gajah,” paparnya.