Kapal-kapal Asing Ini Kembali Ditangkap di Perairan Natuna

Perairan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau selalu menjadi lokasi favorit bagi pemilik kapal ikan asing (KIA) untuk melancarkan aksinya menangkap ikan secara ilegal di Indonesia. Namun, karena ilegal, KIA yang sedang beraksi di Natuna tersebut selalu ditangkap oleh aparat Indonesia yang bertugas di perairan tersebut.

Seperti yang terjadi pada 11-12 November lalu. Sebanyak lima KIA diketahui sedang melakukan aksi penangkapan ikan di perairan Natuna yang berada di Laut Cina Selatan. Aksi ilegal tersebut kemudian dihentikan oleh tim pengawasan perikanan yang sedang beroperasi di sekitar Wilayah Penangkapan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 711 tersebut.

Adalah dua kapal pengawas  perikanan, yakni Kapal Pengawas (KP) Orca 02 dan KP Hiu 12 yang melakukan aksi pengamanan tersebut. KP Orca 2 melakukannya pada 11 November lalu sekitar pukul 06.00 WIB, tepatnya pada koordinat 06°26.795’N-107°34.329’E.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jendeal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja, KP Orca 2 berhasil menangkap empat KIA berbendera Vietnam yang sedang ada di perairan Natuna. Keempat kapal tersebut, adalah BV 0595 TS (63 GT), BV 5201 TS (63 GT), BV 92255 TS (42 GT) dan BV 0027 TS (42 GT 42).

Sjarief menjelaskan, keempat kapal tersebut saat ditangkap diketahui diawaki oleh 23 anak buah kapal (ABK) yang seluruhnya berkewarganegaraan Vietnam. Keempatnya ditangkap karena melakukan aksi penangkapan ikan secara ilegal di WPP RI 711 dan sesuai regulasi di Indonesia sekarang, kapal asing dilarang untuk menangkap ikan lagi.

“Mereka juga tidak memiliki izin menggunakan alat tangkap yang dilarang, pair trawl,” ucap dia.

Saat ini, menurut Sjarief, keempat kapal tersebut dibawa ke PSDKP Natuna dan diproses secara hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan.

Selain KP Orca 02, penangkapan juga dilakukan KP Hiu 12 pada 12 November sekitar pukul 11.05 WIB. Kapal tersebut menangkap KIA berbendera Malaysia pada lokasi koordinat 02°46’315 N – 105°00’800 E. Kapal tersebut diketahui bernama PAF 4767 yang berukuran 45 gros ton (GT) itu, saat ditangkap sedang diawaki 14 ABK yang seluruhnya berkewarganegaraan Vietnam.

“Saat ini kapal bersama awaknya dibawa ke PSDKP Batam, juga di Kepulauan Riau,” jelas dia.

Sebelumnya, pada 8 November, KP Hiu Macan 01 berhasil menangkap delapan KIA ilegal berbendera Vietnam di WPPRI sekitar perairan Natuna Kepulauan Riau. Kedelapan kapal tersebut diawaki 53 orang ABK dan berkewarganegaraan Vietnam.

Semua kapal tersebut ditangkap, karena diketahui melakukan penangkapan ikan tanpa ijin, serta menggunakan alat tangkap yang dilarang dan merusak sumber daya kelautan dan perikananpairtrawl. Kapal-kapal tersebut dikawal ke Stasiun PSDKP Pontianak Kalimantan Barat.

Awak kapal penangkap ikan illegal berbendera Vietnam yang ditangkap Kapal Pengawas (KP) Orca 02 dan KP Hiu 12 di Perairan Natuna, Kepulauan Riau pada 11 November lalu. Foto : PSDKP KKP
Awak kapal penangkap ikan illegal berbendera Vietnam yang ditangkap Kapal Pengawas (KP) Orca 02 dan KP Hiu 12 di Perairan Natuna, Kepulauan Riau pada 11 November lalu. Foto : PSDKP KKP

Sjarief memaparkan, hingga November ini, total kapal ilegal yang sudah ditangkap jumlahnya mencapai 141 kapal. Jumlah tersebut dihitung sejak awal 2016 dan terdiri dari 118 KIA dan 23 kapal ikan Indonesia (KII).

COP22 Marrakesh

Dalam waktu bersamaan, di Marrakesh, Maroko, Indonesia mendapat apresiasi dari perwakilan dan delegasi negara dalam forum Perubahan Iklim (COP22). Apresiasi diberikan karena Indonesia dinilai bisa melaksanakan kepemimpinan dalam penguatan isu perubahan iklim dalam sektor kelautan dan perikanan.

Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menjadi Utusan Khusus Delegasi Indonesia di COP22, Achmad Poernomo, mengatakan, kesuksesan Indonesia tersebut diapresiasi dalam sesi “Membangun Ketangguhan untuk Adaptasi Perubahan Iklim bagi Negara Kepulauan dan Negara Kepulauan Kecil Berkembang”.

Sesi tersebut adalah sesi resmi ke-22 Konferensi Para Pihak Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Konvensi Perubahan Iklim (the 22nd session of Convention of Parties, the United Nations Framework on theClimateChangeConvention/UNFCCC)  pada tanggal 11 November 2016 di Marrakesh.

“Peran laut dalam mengendalikan iklim serta mengatasi dampak perubahan iklim global sangat penting,” demikian ungkap Achmad Poernomo dalam sambutan resminya di Marrakesh.

Menurut Achmad, di dalam perjanjian Paris yang dihasilkan pada COP21 di Paris 2015, laut diakui sebagai kawasan sentral dan menjadi bagian dalam integrasi ekosistem. Pengakuan ini, kata dia, memberi dasar untuk membuka wawasan tentang kelautan yang lebih komprehensif dan bagaimana ikut berperan dalam isu perubahan iklim.

“Dan bagaimana negara kepulauan dan negara pulau-pulau kecil ikut berperan dan lebih tangguh dalam mengatasi perubahan iklim sekarang,” ungkap dia.

Dalam sambutannya, Achmad Poernomo juga mengungkapkan pandangan Indonesia tentang komitmen untuk menerapkan pendekatan berbasis ekosistem dan mengelola ekosistem pesisir dan laut serta daratan. Juga, bagaimana meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan meningkatkan ketangguhan iklim dengan melindungi dan memulihkan peran penting ekosistem terestrial, pesisir dan laut.

“Ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi risiko perubahan iklim seperti banjir, kenaikan permukaan laut, dan pengasaman laut bagi negara kepulauan dan SIDS (small island and developing states),” tutur dia.

Karena itu, Achmad berpendapat, perlu ada respon kolektif akan dampak negatif perubahan iklim. Oleh itu,semua negara kepulauan dan pulau-pulau kecil harus menyatukan langkah dan kekuatan untuk menghadapi pilihan sulit dalam masa depan bangsa dan mempertahankan mata pencaharian.

Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Energi Maladewa Abdullahi Majeed dalam COP22 di Marrakes mengungkapkan penghargannya kepada Indonesia. Selain dia, Duta Besar Seychelles untuk Perubahan Iklim dan Negara-negara Pulau Kecil Ronald Jumeau juga memberikan apresiasinya.

Kedua tokoh penting itu mengapresiasi kepemimpinan Indonesia dalam membawa dan mengarusutamakan isu laut ke dalam proses negosiasi perubahan iklim. Bagi kedua tokoh tersebut, Indonesia dianggap sebagai saudara besar yang berani mengangkat isu laut dalam negosiasi perubahan iklim dunia yang berlangsung pada forum World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado, Sulawesi Utara.

Para tokoh tersebut, menyepakati bahwa negara kepulauan dan pulau-pulau kecil saat ini sedang menghadapi ancaman serius akibat dampak negatif perubahan iklim. Ancaman itu datang, karena kodisi geografis negara-negara di kawasan tersebut dikelilingi oleh laut dan bentang alam yang rentan terancam kenaikan permukaan air laut, pengasaman laut, dan meningkatnya suhu perairan laut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,