Cerita dari Desa Para Perempuan Pendulang Emas (Bagian 2)

Tampak perempuan paruh baya, setengah membungkuk sambil mengayun-ayunkan bulatan dari kayu di tengah sungai berwarna coklat keruh. Sesekali dia berhenti, seakan memilih sesuatu di dalam bulatan itu. Perempuan ini ternyata tengah mendulang emas.

Menambang emas dengan mendulang ini biasa ditemukan di hilir Kecamatan Tabir, Merangin, Jambi.

Di Merangin, pertambangan emas rakyat dengan berbagai cara. Di hulu, seperti Kecamatan Pangkalan Jambu, penambangan emas dengan mengeruk sawah-sawah. Di pinggir Sungai Batang Merangin, penambangan emas melalui lubang jarum.

Sebagian di tepi Sungai Tabir, Tebo,  hingga Tembesi, ada pakai dompeng (istilah ini dari mesin dongpeng, diesel penyedot material dari sungai).

Baca juga: Petaka di Lubang Jarum Tambang Emas Merangin (Bagian 1)

Di Tabir, awalnya mendulang hanya pekerjaan para perempuan kala kemarau panjang. Saat sawah dan ladang tak menghasilkan, mendulang menjadi pilihan warga memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Darnis, warga Desa Rantau Panjang, mengatakan, para perempuan mendulang kala sore saat selesai dari ladang.

Mereka setiap hari bisa mendulang, karena hanya bisa saat air Sungai Tabir surut. Para perempuan ini hanya dengan mengandalkan alat dulang terbuat dari kayu.

Masing-masing rumah memiliki alat ini. Mendulang dimulai mengambil material berupa batu dan pasir dari dasar sungai, alat dulang mereka ayun seperti gerakan tarian.

Jika beruntung, katanya, serpihan emas akan menempel di ujung-ujung alat dulang ini.

“Tak banyak serpihan emas bisa didapat. Dalam empat hari, kalau bernasib baik terkumpul serpihan sebesar biji cabai. Itu biasa dihargai Rp140.000.”

Para perempuan berkumpuk di kumpul di pondok setelah seharian di ladang. Foto: Elviza Diana
Para perempuan berkumpuk di kumpul di pondok setelah seharian di ladang. Foto: Elviza Diana

Iskandar, Tokoh Desa Rantau Panjang mengatakan, dulu menambang diatur adat. Mendulang, bahkan dilarang di beberapa titik karena akan menimbulkan bencana.

“Mendulang tak boleh di sembarangan, seperti di aliran Sungai Batang Bedah, Muaro Semayo, Muaro Danau. Kalau nekat mendulng di sana kena bencana,” katanya.

Masyarakat Desa Rantau Panjang, percaya pantangan mendulang itu menimbulkan kutukan, berupa kebakaran. Masyarakat dulu penganut animisme ini yakin leluhur akan menegur mereka jika pantangan dilanggar.

Mendulang, juga ada aturan berupa pemberian upeti pada raja. Hasil mendulang akan diserahkan pada raja dengan aturan adat. “Semua itu di tambo adat. Terkait upeti mendulang ini. Nanti upeti untuk membantu kaum miskin”.

Kini, mendulang tak lagi hanya oleh perempuan juga laki-laki. Permasalahan ekonomi jadi alasan. “Ada masalah dengan mata pencaharian. Mayoritas penduduk kami motong (menyadap karet). Harga karet rendah, mereka lari ke dulang. Kalau dulu musim paceklik, sekarang paceklik sepanjang tahun, bukan kemarau saja.”

Mendulang, katanya, bukan pekerjaan gampang. Berendam di air selama berjam-jam, kerap menimbulkan keluhan warga yang menderita gangguan sendi. “Kami di sini banyak keno rematik. Duitnyo dak seberapo, penyakitlah keno pulo. Tapi gimano lagi,” ucap Iskandar.

Beda mendulang dengan dompeng. Iskandar mengatakan, dompeng menyebabkan air Sungai Batang Tabir keruh.

Cubolah tengok, karena dompeng ini air sungai keruh. Tak layak konsumsi. Kalau kemarau banyak keno gatal-gatal.”

Rahman Kanyak, warga Desa Rantau Panjang mengatakan, dompeng dilakukan masyarakat luar, biasa ada pemodal dan dibekingi oknum aparat.

“Kita tak bisa menutup mata dompeng ini kebanyakan bukan masyarakat lokal.”

Iskandar berharap, pemerintah mencarikan solusi untuk persoalan itu. Jika tak bisa teratasi, tentu saja konflik-konflik baru bermunculan.

”Ini harus melalui pendekatan adat. Pertambangan emas ini seperti diatur dalam adat dengan dulang. Kalau sudah pakai-pakai alat berat tentu berdampak bagi lingkungan. Pemerintah juga harus memikirkan sumber alternatif perekonomian lain.”

Polsek Tabir, yang dibakar massa beberapa waktu lalu, belum juga renovasi. Kini, aktivitas kantor Polsek di rumah dinas. Foto: Elviza Diana
Polsek Tabir, yang dibakar massa beberapa waktu lalu, belum juga renovasi. Kini, aktivitas kantor Polsek di rumah dinas. Foto: Elviza Diana

***

Akhir Agustus 2016, Kantor Kepolisian Sektor Tabir dibakar warga Desa Rantau Panjang.  Ia buntut dari penangkapan warga yang penambang.

Pembakaran ini berawal dari seorang warga ditangkap, saat menjual emas hasil mendulang seberat dua gram.

Iskandar, pewaris sekaligus pemilik rumah tuo menyebutkan, sangat tak adil, mendulang sudah turun menurun dilakukan masyarakat daerah ini.

“Untuk dapat emas dua gram kami harus berendam empat hari di sungai. Dua gram hanya Rp140.000. Kalau mau tangkap, tangkap pakai alat. Jangan rakyat kecil seperti kami.”

Desa ini,  wilayah yang masih menjunjung tinggi adat-istiadat, ditandai dengan rumah tuo sebagai wisata budaya.

Menurut Datuk Abdullah Sani, Tokoh Masyarakat Desa Rantau Panjang,  warga Rantau Panjang, itu masyarakat berbudaya. Penyelesaian masalah melalui jalan radikal bukan pilihan.

“Selama ini, hubungan kami dengan pemerintah sangat baik, dan kepolisian pun demikian. Selama berpuluh tahun hubungan baik ternodai dengan kasus pembakaran ini,” katanya.

Dulu, kepolisian tak perlu menangkap pelaku kejahatan. Pelaku, katanya, datang sendiri menyerahkan diri.

Abdullah menyayangkan, kericuhan itu. “Padahal, adat masih berlaku. Kusut diusai, silang nan bepatut. Sesuatu permasalahan diselesaikan secara adat.”

Perempuan pendulang emas. Jika beruntung, berjam-jam di sungai, perempuan ini akan memperoleh emas, jika tidak, akan pulang hampa. Foto: Elviza Diana
Perempuan pendulang emas. Jika beruntung, berjam-jam di sungai, perempuan ini akan memperoleh emas, jika tidak, akan pulang hampa. Foto: Elviza Diana

Peristiwa pembakaran Polsek itu, juga menumbalkan beberapa warga Desa Rantau Panjang hingga kini masih proses hukum.

Abdullah mengatakan, aksi polisi telah melukai adat-istiadat mereka. “Di adat kami, semua permasalahan bisa diselesaikan dengan musyawarah. Kalau memang kami bersalah, harus tangkap semua kami di sini. Jangan ada jadi tumbal,” katanya.

Menurut Iskandar, dalam ada istiadat masyarakat adat menamakan 60 Segalo Batin, perundingan dan musyawarah menjadi penyelesaian dalam mengatasi permasalahan. “ Di sini semua diatur, perundingan pun kami harus diawali menggelar Tarian Semayo.”

Kini, empat orang proses hukum, dari 14 tersangka diduga memprovokasi aksi itu. Lima tersangka ditahan Polda Jambi.

Darnis, ibu pelaku pembakaran Polsek Tabir, tak dapat menahan emosi saat menceritakan anak bungsu laki-lakinya hilang entah kemana pasca pembakaran polsek. Anaknya ketakutan karena temannya dilaporkan sebagai provokator.

“Anak saya pergi sejak peristiwa itu, dia takut karena ada beberapa teman ditahan. Sampai sekarang kami tak tahu dia dimana,” katanya.

Menurut Abdullah, proses penangkapan orang terduga provokator, tak dapat menyelesaikan masalah. Karena pembakaran polsek bentuk kemarahan warga atas arogansi oknum aparat menangkap rakyat kecil. “Ini aksi spontan, bukan direncanakan. Mana ada bisa jadi provokator. Tangkap semua kami satu dusun.”

Pembakaran ini berimbas pada pencopotan AKP Rizal Arianto dari jabatan Kpolsek Tabir.

AKP Adri Karwono, Polsek Tabir yang baru menyebutkan tidak tahu soal persoalan pembakaran. “Saya tak bisa berkomentar banyak, bisa langsung ditanyakan ke polres dan polda.”

Adri menyebutkan, pasca pembakaran mencoba merangkul kembali masyarakat dengan mendekati tokoh-tokoh masyarakat. “Tak etis kalau saya sebutkan bagaimana pendekatan kami. Bisa tanya masyarakat langsung,” katanya.

Berbeda dengan pernyataan itu, kata Iskandar, pasca pembakaran terjadi pemerintah belum ada diundang dan berdiskusi secara adat.

“Seharusnya ada yang datang mengajak kami berdiskusi. Persoalan ini tak harus masuk ranah hukum. Sampai kini tak ada, mungkin ada yang diundang tapi bukan tokoh-tokoh adat di Desa Rantau Panjang ini.” Bersambung

Kawasan menuju rumah tuo di Desa Rantau Panjang, Merangin. Ada ratusan rumah masih mempertahankan ciri khas Merangin. Ia menjadi wisata budaya. Foto: Elviza Diana
Kawasan menuju rumah tuo di Desa Rantau Panjang, Merangin. Ada ratusan rumah masih mempertahankan ciri khas Merangin. Ia menjadi wisata budaya. Foto: Elviza Diana
Anak Sungai Batang Tabir, karena aktivitas dompeng di hulu. Foto: Elviza Diana
Anak Sungai Batang Tabir, karena aktivitas dompeng di hulu. Foto: Elviza Diana
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,