Pemetaan Wilayah, Upaya Membuat Pagar Adat di Atap Indonesia

Jajaran honay berdiri rapih dan indah di lembah tepi sungai Baliem, Distrik Asolokobal, Kabupaten Jayawijaya. Saat matahari baru meninggi, tampak Laurensius Lani, seorang aktivis lingkungan yang amat peduli tentang tanah kelahirannya, termasuk memperjuangkan sumberdaya alam dan hak-hak masyarakat di Lembah Baliem

“Awalnya untuk memperjuangkan  hak-hak untuk ruang kelola rakyat setelah melihat  pengalaman di Jayapura. Dengan kemajuan teknologi, di tingkat masyarakat terjadi jual beli tanah, hutan dan masyarakat pun tergeser,” tutur Laurens saat mengenang mengapa ia sangat peduli dengan hak masyarakatnya dalam mengelola tanah mereka.

Menurutnya apa yang terjadi di Kota Jayapura pun terjadi di Kota Wamena dan beberapa wilayah di Kabupaten Jayawijaya.

Sebagai pimpinan sebuah yayasan yang memperjuangkan masyarakat hak kelola masyarakat, Laurens bersama Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW) melakukan wilayah pemetaan adat. Selama 20 tahun, sejak 1996 hingga 2016, sudah 19 wilayah adat yang terpetakan di Kabupaten Jayawijaya.

Dia mengaku miris saat tak jarang menjumpai masyarakat menjual lahan hutan, bukan hanya sekedar kayunya saja. Padahal bagi orang Jayawijaya, tanah dan hutan adalah layaknya Ibu bagi mereka. Ibu yang memberikan kehidupan, yang memberikan makan dan minum, mengandung, melahirkan dan membesarkan. Jadi menjual tanah dan hutan sama dengan menjual Ibu sendiri.

Berawal dari pemikiran bagaimana masyarakat dapat mengelola tanah mereka dengan baik inilah pemetaan wilayah adat dilakukan oleh Laurens di Kabupaten Jayawijaya. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah tentunya, di lokasi yang dikelilingi pegunungan tinggi yang merupakan atap dan puncak-puncak gunung tertinggi di Indonesia.

Wilayah adat di Kabupaten Jayawijaya sendiri terbentang sepanjang Lembah Baliem yang dikelilingi lembah, bukit serta pegunungan terjal. Termasuk di dalamnya adalah Taman Nasional Lorenz dan puncak-puncak gunung bersalju abadi seperti Puncak Trikora (4750 mdpl), Puncak Mandala (4700 mdpl) dan Puncak Yamin (4500 mdpl). Selain itu terdapat pula Danau Habema, sebuah danau yang indah di ketinggian 3200 mdpl.

Jajaran honai, rumah adat masyarakat Jayawijaya. Honai Adat di Desa Witawaya. Foto: Wahyu Mulyono
Jajaran honai, rumah adat masyarakat Jayawijaya. Tampak dalam gambar honai di Desa Witawaya. Foto: Wahyu Mulyono

“Pemetaan itu merupakan salah satu bagian untuk melindungi hak masyarakat. Dengan pengelolaan yang baik maka akan perhitungkan masa depan anak cucu. Kami sadar tanah atau hutan itu tidak pernah akan jadi panjang dan lebar atau beranak, tapi manusia dari satu akan menjadi dua dan seterusnya.” Demikian Laurens menjelaskan filosofinya.

Kini tinggal sekitar 6 distrik lagi yang belum terpetakan secara wilayah adat di Kabupaten Jayawijaya. Jika semua wilayah adat sudah terpetakan, jumlah wilayah adat yang ada di Jayawijaya sekitar 27 wilayah adat.

Sementara 19 wilayah adat yang sudah terpetakan tersebar hampir diseluruh wilayah Kabupaten Jayawijaya, diantaranya Aluama, Asolokobal, Asukdogima, Elagaima, Hubikosi, Inyairek, Itlaimo, Mbarlima, Muliama, Musalfak, Omarekma, Peleima, Serogo, Tuma, Uelesi, Usilimo, Weo, Witawaya, dan Wolo.

Setiap wilayah adat ini memiliki luasan yang bervariasi. Wilayah adat Inyarek memiliki wilayah adat terluas yaitu sekitar 26 ribu hektar, kemudian Uelesi dengan luas sekitar 22 ribu hektar dan Aluama dengan luas sekitar 18 ribu hektar. Sedangkan wilayah adat terkecil berada di Tuma, masuk dalam Distrik Pelebaga yang diapit oleh wilayah adat Uelesi dan Elagaima.

Sosialisasi Pemetaan Wilayah Adat di Asolokobal. Foto: Wahyu Mulyono
Sosialisasi Pemetaan Wilayah Adat di Asolokobal. Foto: Wahyu Mulyono

Dukungan Pemerintah Daerah

Inisiatif yang dilakukan oleh YBAW ini pun mendapat apresiasi dan dukungan dari Pemda Kabupaten Jayawijaya. Apalagi konflik antar suku umumnya berasal dari kepemilikan lahan dan hutan.

“Dengan adanya peta, masyarakat dari wilayah adat lain tidak boleh masuk, karena dia sudah tahu batas. Dan mereka petakan sendiri batas wilayah mereka. Jika semua wilayah adat ini sudah terpetakan paling tidak konflik kepemilikan itu tidak muncul,” jelas Yunus Matuan, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Jayawijaya menjelaskan.

Setelah pemetaan wilayah adat, hal berikutnya adalah mendata potensi yang ada di wilayah adat masing-masing. Pendataan potensi ini termasuk didalamnya mendata jumlah penduduk menurut usia maupun pendidikan, pendataan tempat-tempat ibadah, sekolah, jumlah honai-honai adat, termasuk mendata fasilitas kesehatan, petugas dan sarana serta prasarananya.

“Yang tak kalah penting mendata potensi alamnya. Kebun-kebun yang ada di dalam wilayah adat, sungai yang mengalir, gunung atau dataran tingginya, rawa  bagaimana ukurannya, semua kami data. Kami juga mendata tempat-tempat keramat yang ada berapa.” tutur Cornelis Oagay dari Lembaga Studi Penguatan Komunitas (LSPK). Sebuah lembaga yang fokus mendampingi dan membantu pemetaan potensi dan rencana pengelolaan wilayah adat bersama dengan masyarakat setempat.

Dengan menggali potensi yang ada, maka penataan penggunaan wilayah akan menjadi lebih baik lagi dan terencana. Dari hasil pemetaan dan penggalian potensi, akan bisa ditetapkan wilayah yang cocok untuk berkebun, bersawah atau berladang, daerah yang harus dilindungi karena merupakan pensuplai air bersih, daerah tempat untuk beternak, daerah yang cocok untuk usaha perikanan dan daerah hutan lindung yang tak boleh diusik.

“Setelah ini selesai, kami akan meregistrasi diri ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Kami berharap pemerintah bisa menetapkan atau mengeluarkan peraturan daerah dengan basis data yang ada, sehingga kedepan perencanaan yang dilakukan sudah bekerjasama dengan pemerintah dan dapat dilakukan di masing-masing wilayah adat.”

Tetua Adat Witawaya yang juga pemilik ladang sedang membalik tanah untuk membuka ladang di tanahnya. Foto: Wahyu Mulyono
Tetua Adat Witawaya yang juga pemilik ladang sedang membalik tanah untuk membuka ladang di tanahnya. Foto: Wahyu Mulyono

Disambut Masyarakat

Kendati awalnya program ini amat sulit dan memenuhi berbagai hambatan, namun kini masyarakat menyambut gembira apa yang kini sedang dikerjakan di tanah Jayawijaya terkait pemetaan wilayah adat.

Dahulunya mereka curiga dengan kegiatan ini. Masyarakat takut bahwa pemetaan ini justru akan digunakan untuk mengambil tanah mereka. Sedikit demi sedikit masyarakat di berbagai wilayah adat yang ada dapat diyakinkan akan pentingnya memiliki peta wilayah adat. Disusul dengan rencana pengelolaan yang akan dilakukan, membuat masyarakat  sangat antusias dengan program rencana pengelolaan ini.

“Pentingnya peta wilayah adat bagi masyarakat adalah kami merasa dibuatkan semacam pagar yang kokoh, kuat untuk kami punya anak cucu ke depan. Kalau sudah ada pagar, sudah ada aturannya, sudah ada Perda dan lain-lainnya, maka masyarakat merasa nyaman karena terlindungi dan merasa bahwa akan aman anak cucu kami kedepan,” papar Enius Lokobal tokoh gereja dan masyarakat di Distrik Asolokobai.

“Mereka merasa diproteksi, merasa dilindungi. Kami bisa manfaatkan lahan yang diberi dari nenek moyang untuk kepentingan kami. Kami bukan pergi curi, mengambil orang punya barang, tapi kami sungguh dapat dari apa yang seharusnya kami dapat.”

Apa yang dikerjakan selama belasan tahun di Jayawijaya bukanlah sebuah proses yang mudah. Namun sebuah proses panjang untuk membuat masyarakat mampu mengelola kembali wilayah adat mereka berdasarkan aturan-aturan adat yang mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat adat Jayawijaya.

Semoga ini menjadi sebuah awal yang baik dan menjadi sebuah contoh bagi daerah-daerah lain di Papua dan wilayah lain di Indonesia, agar alam dan tanah yang ada bisa dikelola secara baik mendatangkan keuntungan bukan hanya untuk Negara tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,