Begini Bentrok Warga Saat Pembebasaan Lahan Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, pemerintah pusat berencana melakukan banyak pembangunan infrastruktur, diantaranya adalah pemebangunan 30 waduk baru, 33 PLTA, jalan baru sepanjang 2,600 km, jalan tol sepanjang 1,000 km, 15 bandar udara baru, 24 pelabuhan baru, jalur kereta api baru sepanjang 3,200 km, dan perluasan areal perkebunan kelapa sawit untuk menunjang penggunaan 15 persen biofuel pada setiap liter solar, 36 PLTU bertenaga batubara 20.000 MW sebagai bagian dari rencana pembangunan 35.000 MW, puluhan kawasan industri baru dan Kawasan ekonomi Khusus (KEK).

Mega proyek itu dikuatkan dengan dikeluarkanya Perpres No. 30/2015 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (infrastruktur), serta PP No.3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang berisi 225 proyek nasional.Tentunya hal itu akan berdampak pada berbagai sektor, khususnya pada alih fungsi lahan atau dalam pembebasantanahnya.

Termasuk yang terjadi pada rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kec. Kertajati Kab. Majalengka. Pro kontra terjadi dimasyarakat, pembebasan lahan BIJB di Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati misalnya, yang berakhir dengan bentrok, pada Kamis (17/11/2016).

Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombespol Yusri Yunus kepada Mongabay mengemukakan, pembebasan lahan sendiri melibatkan kurang lebih 2000 personel yang dari berasal dari Polda Jawa Barat, Polres Majalengka, TNI dan Satpol PP.

Menurutnya, banyaknya personel dimaksudkan untuk mengamankan pelaksanaan pengukuran sehubungan dengan masih adanya penolakan dari sejumlah warga di Desa Sukamulya yang sudah berlangsung sejak lama.

“Aparat gabungan terpaksa memukul mundur dan menembakan gas air mata terhadap ratusan warga, karena mereka tetap bersikukuh menolak pembebasan lahan, kendati sudah melakukan negosiasi yang cukup alot dengan petugas. Gas air mata sendiri mulai ditembakkan aparat keamanan, sejak pukul 12.30 WIB, setelah sebelumnya dari mulai pukul 09.30 WIB sampai terjadi bentrokan, petugas dan warga melakukan negosiasi mencari jalan keluar atas rencana pengukuran lahan tersebut.” Paparnya.

Dari bentrokan itu, satu orang anggota kepolisian, Bripda Soni dari Polda Jabar mengalami luka robek di bagian pelipis kiri terkena batu yang diduga berasal dari katapel saat melakukan pengamanan di bagian depan. Sementara warga ada sedikitnya 12 orang yang terluka dalam insiden itu. Mereka adalah Sahir, Raman, Usep, Aji, Ita, Nano, Jajuli, Gugun, Warso, Ovan, Didi, dan Aef.

Akibat aksi anarksis itu, tiga orang warga, Jaenudin (25) warga Desa Sukakerta, Atam Dastam (36) warga Desa Sukakerta, serta Sunadi (45) warga Sukamulya diamankan aparat kepolisian. Dari tangan mereka diamankan barang bukti berupa katapel dan petasan.

“Bentrokan sendiri terjadi sekitar pukul 12.30 WIB, ketika terdengar letusan petasan. Sebagian letusan mengenai aparat kepolisian, termasuk batu yang diduga dari katapel mengenai beberapa petugas. Saat itu, aparat mulai membalas dengan tembakan gas air mata dan wargapun akhirnya mulai mundur. Petugas pengukur dari tim Badan Pertanahan Nasional (BPN) kembali bisa melanjutkan pengukuran dengan pengamanan ketat dari aparat keamanan,” jelasnya.

Ratusan warga berkumpul di lahan sengketa yang akan digunakan untuk mega proyek pembangunana Bandara Internasional Jawa Barat (BIBJ) di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka, Kamis (17/11/2016). Menurut sebagian warga pembangunan BIBJ tersebut merugikan warga soal ganti rugi lahan dan rumah yang tidak sesuai. Foto : Adim.
Ratusan warga berkumpul di lahan sengketa yang akan digunakan untuk mega proyek pembangunana Bandara Internasional Jawa Barat (BIBJ) di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka, Kamis (17/11/2016). Menurut sebagian warga pembangunan BIBJ tersebut merugikan warga soal ganti rugi lahan dan rumah yang tidak sesuai. Foto : Adim.

Dia menambahkan, di desa ini ada warga yang pro dan kontra dalam pembangunan bandara. Bagi warga yang menolak, mereka memprovokasi warga lain agar ikut menolak pengukuran tanah. Meski demikian, polisi tidak menangkap warga yang tadi diamankan.

Dalam pelaksanaan pengukuran tersebut, dihadiri Bupati Majalengka H. Sutrisno, Komisaris PT. BIJB Aang Hamid Suganda, Kepala Dinas Perhubungan Pemprov Jabar, Kepala Biro Aset, dan sejumlah pejabat terkait lainnya. Tim Pengamanan dipimpin Karo Operasi Polda Jabar dan Kapolres Majalengka.

Bupati Majalengka Sutrisno berharap pengukuran bisa tuntas karena sebetulnya bidang tanah sudah diketahui dengan jelas, demikian juga dengan batas tanah masing-masing pemiliknya.

“Semoga pengukuran lahan BIJB bisa tuntas dan pembangunan proyek BIJB bisa berjalan dengan lancar dan selesai sesuai dengan target yang telah ditentukan pemerintah, karena ini bisa menjadikan Majalengka sebagai pusat pertumbuhan baru di Jawa Barat bagian timur”ujarnya.

Harus Tetap Persuasif

Kejadian Bentrok tersebut mendapatkritikan dari Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat H.Y.Untung, yang menyesalkan adanya kericuhan antara warga dengan tim gabungan pembebasan lahan bandara. Padahal menurut dia, seharusnya melakukan berbagai pendekatan terlebih dahulu, dan tidak harus melakukan pengukuran dengan cara kekerasan.

“Menurut saya, tim gabungan semestinya menahan diri untuk tidak memilih cara kekerasan. Justru cara ini sejatinya akan mempengaruhi kebijakan pembangunan bandara ini ke depannya,” ungkap mantan anggota DPRD Majalengka ini.

Dia mengatakan, seharusnya warga itu harus diingatkan, karena masyarakat sedang mempertahankan haknya untuk hidup layak, sebagaimana mereka rasakan sebelum lahirnya kebijakan pembangunan bandara ini.

Karena itu, kata dia, sesungguhnya Pemerintah dinilai telah mengusik ketenangan hidup warga. Dengan demikian pendekatan kekerasan dengan menggunakan alat kekuasaan menjadi sangat tidak mendasar.

“Sungguh sudah beberapa kali dilakukan komunikasi yang berujung kegagalan, hal itu tidak boleh menghentikan pilihan dengan cara musyawarah. Sebab sejatinya mereka hanya ingin mendapatkan kepastian masa depannya, bukan sekedar harga tanahnya,”paparnya.

Dia meminta segera hentikan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan urusan pembebasan tanah bandara.”Ingat, mereka yang diusik kehidupannya oleh pemerintah,” kata Untung.

Pembebasan Lahan

Dalam kesempatan itu, Kepala Biro Aset Daerah M Arifin didampingi Kabag Pemanfaatan dan Pengamanan Barang Daerah, Diding Abidin Subandi menuturkan, pengukuran lahan seluas 36,6 hektar atau sebanyak 382 bidang ditargetkan selesai dua hari namun bila suasana tidak kondusif, target pengukuran hanya seluas 12 hektaran, minimal untuk perluasan landasan pacu guna mengejar target pembangunan.

“Karena situasi tidak kondusif mungkin akan dilanjutkan lain waktu,”ucapnya.

Dia melanjutkan, pembebasan lahan di Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka kurang lebih seluas 735 hektar. Kawasan itu merupakan salah satu area yang akan digunakan lahan BIJB sekitar 1.800 hektar.

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Majalengka Darmanto menambahkan, pelaksanaan inventarisasi tanah itu dilakukan pada 9 Agustus lalu. Tanah yang akan diukur di desa itu mencapai 382 bidang. Pembangunan bandara sendiri saat ini dikelola PT BIJB, satu BUMD yang dibentuk pada 2013 lalu.

Tak hanya bandara, perusahaan juga membuat Aerocity yang diperkirakan dibangun di atas lahan 3.200 hektar.Bandara sendiri diproyeksikan awalnya mengangkut sekitar 5 juta penumpang per tahun. Pembangunan sendiri dibagi tiga fase, dan tahap pertama adalah beroperasinya landasan pacu 3.500 meter pada 2017.

“Sebenarnya tanah itu sudah dijual pemiliknya.Namun untuk melakukan pembayaran harus dilakukan pengukuran terlebih dahulu.Sedangkan jumlah tanah yang diukur, sekitar 12 hektar. Jika pengukuran hari ini selesai, pada satu atau dua hari ke depan, pembayaran sudah bisa dilakukan kepada pemilik lahan,” ungkapnya.

 

Masih Ada Solusi Lain

Menurut Iwan Nurdin, Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mengadvokasi warga yang terkena imbas BIJB sejak lama mengungkapkan, dalam peta pembangunan BIJB, Desa Sukamulya masuk area Aerocity bukan area bisnis utama BIJB. Kalaupun membutuhkan pembangunan, pengembang seharusnya memilih lahan kosong dibandingkan menggusur sebuah desa.

“Warga meyakini pembangunan BIJB bisa tetap berjalan tanpa perlu menggusur Desa,karena desa ini temasuk subur dan mempunyai sumberdaya alam yang cukup melimpah, bisa saja memakai sisi pangkal runway disitu ada tanah kosong atau sawah. Kenapa harus membongkar sebuah desa?” katanya.

Dia menambahkan, jumlah penduduknya kurang lebih 5.500 jiwa dan luas wilayah 740 hektar. 700 hektar dari total luas wilayah desa adalah areal persawahan dan 40 hektar adalah pemukiman penduduk.

Menurutnya, mayoritas warganya bertani, lahan pertanian di desa ini sangat subur, dari satu hektar sawah bisa menghasilkan padi 6-8 ton padi dalam satu kali musim tanam dan dalam satu tahun  bisa menanam dua kali padi dan satu kali cabai.

Salah seorang warga Yayat Nugraha mengatakan, Pemerintah seakan tidak lagi peduli dengan penghidupan warganya, sosialisasi tentang pembangunan BIJB belum sepenuhnya dipahami, ditambah lagi dengan ganti rugi dan relokasi yang belum jelas.

“Kami sudah lama hidup disini, kami nyaman disini, ini tanah leluhur kami, kalau ini dijadikan bandara, lalu kami hidup dimana? Saya beserta warga lainnya menolak desa ini dihilangkan, karena di luar sana penghidupan tidak seperti disini, penanaman sawah dan cabai bisa subur,” ungkapnya kepada Mongabay.

 

Penolakan Sudah Sejak Lama

Menurut data yang dihimpun Mongabay dari berbagi sumber, penolakan ini muncul sejak tahun 2004 sampai 2016 sekarang. Diantaranya disebabkan karena secara sepihak 11 kepala desa menandatangani surat pernyataan yang menyatakan “Kami  dan seluruh warga masyarakat Desa mendukung atas rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat seluas 5000 hektar, Jumlah KK: 1305 KK, yang terletak di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka”.

Surat tersebut ditandatangani pada 14 Oktober 2004. Padahal hingga saat ini, hanya terdapat 300 KK yang mendukung pembangunan BIJB.Sementara 1005 KK atau mayoritas warga di 11 Desa tersebut menolak adanya pembangunan bandara internasional tersebut.

Berlanjut dengan adanya Analisa mengenai Dampak lingkungan (AMDAL) yang menyatakan bahwa lahan di Desa Sukamulya adalah lahan tandus, tidak produktif, yang hanya bisa panen 1 kali dalam satu tahun dengan produksi gabah kering giling sebanyak 6 kuintal/hektar. Padahal data dari dinas pertanian Kabupaten Majalengka, tahun 2005 dan BPS Kabupaten Majalengka adalah 52,35 kuintal/hektar

.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,