Jika Ingin Perikanan Indonesia Diakui Dunia, Pemerintah Harus Gunakan Peran Diplomasi  

Untuk meningkatkan jumlah produksi perikanan dan sekaligus menjaga peran Indonesia di pasar global, Pemerintah Indonesia diminta turun langsung untuk mengambil peran diplomasi di dunia internasional. Dengan demikian, peran Indonesia sebagai produsen besar untuk komoditas tongkol, cakalang, ikan tuna bisa tetap terjaga.

Demikian diungkapkan Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Toni Ruchimat di Jakarta, Rabu (16/11/2016). Menurut dia, tiga komoditas unggulan perikanan tersebut selama ini selalu menyumbang kontribusi hingga 20 persen untuk produksi dunia.

“Tuna, tongkol, dan cakalang ini kontribusinya sangat kuat di pasar global. Karena itu, Indonesia harus memainkan peran pentingnya dengan baik. Caranya, adalah dengan memperkuat diplomasi di level internasional,” ungkap dia.

Menurut Toni, dengan memperkuat posisi Indonesia, maka produksi juga akan bisa tetap dijaga dengan baik dan diserap oleh pasar. Dengan demikian, potensi besar Indonesia di sektor perikanan dan kelautan tidak lagi mubazir.

“Indonesia ini diuntungkan karena terletak di antara dua benua. Jadi, sudah jelas sumber daya ikannya sangat kaya. Di negara lain sudah kolaps sumber daya ikannya, dan itu jadi tantangan bagaimana Indonesia terus menjaganya dengan baik,” jelas dia.

Dalam kesempatan tersebut, KKP membeberkan data bahwa produksi perikanan untuk tiga komoditas tersebut selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Dari data yang ada, pada 2014 jumlah produksinya mencapai 1,32 juta ton, 2015 dengan 1,34 juta ton, dan 2016 dengan 1,35 juta ton.

Di sisi lain, meski Indonesia harus bisa meningkatkan perannya di dunia internasional, namun KKP tetap berusaha menjaga sumber daya lautnya dengan sangat hati-hati. Hal itu, karena sumber daya laut adalah sumber daya yang melibatkan banyak sektor dan faktor.

Karena itu, menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar, pengelolaan laut itu harus diatur dan tidak dibuka sembarangan kepada siapapun. Sehingga ke depannya, sumber daya laut akan tetap bisa terjaga dan produksi alaminya bisa terus bertahan dan melimpah.

“Prinsip laut itu bisa diakses siapa saja (open access) adalah salah karena bisa membuat pengelolaan laut menjadi serampangan. Jika itu tetap dibiarkan, maka di laut pasti akan semakin banyak masalah dan sifatnya kompleks,” jelas dia.

Menurunkan hasil pancingan di pelabuhan ikan Cerekang. Foto: Eko Rusdianto
Menurunkan hasil pancingan di pelabuhan ikan Cerekang. Foto: Eko Rusdianto

Tak hanya menimbulkan masalah secara ekologi di laut, Zulficar juga menyebutkan, jika laut sifatnya open access, maka masalah sosial budaya, ekonomi, hukum, dan lingkungan juga tidak bisa dihindari. Pada akhirnya, itu akan memicu kenaikan warga pra sejahtera di lingkungan masyarakat pesisir.

“Itu bisa terjadi, karena secara alamiah, nelayan tradisional akan tersisih karena dikalahkan oleh pengusaha besar yang dilengkapi dengan armada dan sumber daya yang jauh lebih maju,” tutur dia.

Menurut Zulficar, jika prinsip open access masih diberlakukan, maka itu sama saja membiarkan laut terus mengalami kerusakan. Karena faktanya, saat ini 85 persen kawasan perairan global kondisinya sudah mengalami over eksploitasi dan itu membuat ekosistem di dalamnya mengalami kerusakan.

Dampak paling signifikan akibat over eksploitasi tersebut, kata Zulficar, adalah semakin banyaknya terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Jika itu terus dibiarkan, maka di masa mendatang, generasi berikutnya di wilayah pesisir semakin kesulitan untuk mencari ikan.

“Saya melihat, jika memang ingin tetap bagus, maka pengelolaan laut harus dijaga dan diatur. Tidak bisa dengan diterapkan prinsip open access,” tegas dia.

Jangan Samakan Impor Produk Pertanian dan Perikanan

Sementara itu, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk KKP Nilanto Perbowo dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, meski sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia masih banyak, tetapi pada kenyataannya Indonesia masih memerlukan impor produk perikanan dan kelautan.

Menurut Nilanto, perlunya Indonesia mengimpor, itu menandakan bahwa memang ada produk perikanan dan kelautan yang tidak ada di Indonesia. Dalam artian, produk yang diimpor tersebut statusnya sangat dibutuhkan.

“Harus dibedakan impor (produk) pertanian dan perikanan. Karena memang keduanya beda dan itu berkaitan dengan izin impor yang juga memang beda,” tutur dia.

Nilanto memaparkan, jika Indonesia memutuskan mengimpor produk pertanian, itu artinya Indonesia memerlukannya untuk kebutuhan pasokan pasar dalam negeri. Sementara, jika Indonesia harus mengimpor produk perikanan, itu artinya Indonesia sedang memerlukan pasokan bahan baku untuk industri.

“Untuk impor perikanan, biasanya itu dipergunakan untuk aktivitas (industri) pengalengan, pembekuan, dan pemindangan. Dan, izin impor yang paling besar itu diberikan untuk pemindangan,” sebut dia.

Pemindangan sendiri, dijelaskan Nilanto, adalah proses pengawetan ikan dengan menggunakan garam dan bumbu untuk kemudian diasapi atau direbus sampai kering supaya bisa bertahan lama. Dan, untuk komoditas impor hasil perikanan untuk kebutuhan industri yang paling besar, adalah ikan makarel, TCT (tuna, cakalang, tongkol), sarden, kepiting dan salmon.

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar
Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar

Namun demikian, meski impor tujuannya untuk industri, Nilanto tetap mengingatkan kepada semua pihak, jangan sampai produk yang diimpor tersebut bisa dijual di pasar-pasar umum. Itu artinya, produk yang diimpor tersebut mengalami kebocoran.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,