Kala Batang Ekspor Perdana Kayu Olahan Berlisensi FLEGT ke Belgia

Satu truk kontainer berisi kayu sengon olahan 55 meter kubik berlisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT), pelan-pelan meninggalkan halaman pabrik pengolahan kayu milik PT Bahana Bhumiphala Persada (BBP), di Gringsing, Batang, Jawa Tengah, Selasa, (15/11/16).

“Produk kami kirim itu untuk blockfloor. Kami baru memakai setengah kapasitas. Semoga tahun depan makin berkembang, hingga masyarakat juga memperoleh manfaat,” kata Direktur Utama BBP Tanti Widyastuti, dalam acara pengapalan perdana ekspor kayu berlisensi FLEGT.

Selanjutnya, kontainer dibawa ke pelabuhan Tanjung Mas Semarang, untuk dikapalkan ke tujuan akhir di pelabuhan Antwerpen, Belgia.

“Kami mendukung apa yang dilakukan pemerintah, dan percaya bermanfaat bagi perusahaan. Saat SVLK dikeluarkan perusahaan kami langsung menata diri untuk bisa mengikuti prosedur,” katanya.

Dia menilai, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) berdampak positif bukan hanya bagi perusahaan yang mendapat penilaian baik di mata internasional juga para petani.

“Dengan lacak balak dan terjamin legalitas,  kami berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan masyarakat yang menanam sengon bisa ikut terangkat lewat SVLK,” katanya.

Dengan nomor sertifikat 30, menunjukkan BBP merupakan perusahaan yang mendapat SVLK pada kelompok awal. BBP adalah satu dari lima perusahaan di Batang,  yang memiliki SVLK.

SVLK ini untuk memastikan produk kayu dan bahan baku memenuhi aspek legalitas baik asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, hingga perdagangan.

Wakil Bupati Batang, Soetadi, yang hadir dalam acara itu mengatakan, perusahaan kayu berizin di Batang sekitar 40, telah memiliki SVLK baru sembilan, yakni lima perusahaan dan empat UKM dan kelompok.

“Kami sering mengumpulkan pengusaha memberikan edukasi terkait SVLK agar bisa ekspor. Masih susah, meski sudah bekerja sama dengan pusat, kementerian,” katanya.

Skema lisensi FLEGT berlaku 15 November pukul 00.00, diputuskan bersama oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker di Kantor Komisi Eropa di Brussels, Kamis 21 April lalu.

Data dari Multistakeholder Forestry Programme (MFP) menyebut hingga kini industri tersertifikasi 2.843, sebagian besar ekspor, sebagian kecil perdagangan domestik. Ekspor dilakukan ke 220 negara, dari 107 pelabuhan di Indonesia, ke 2.944 pelabuhan di berbagai negara tujuan.

kayu-lisensi2-pekerja-pt-bbp-batang-jateng-memeriksa-lembaran-kayu-olahan-jenis-sengon Pekerja BBP Jateng memeriksa lembaran kayu olahan sengon. Foto: Nuswantoro

 

Ketersediaan pasokan

Selama ini, BBP menggunakan kayu sengon budidaya petani, bukan hutan alam. Soal pasokan, general manager BPP,  Juli Harjono mengungkapkan bahan baku kayu, terutama ukuran 260 cm mulai berkurang.

“Kami masih bisa mendapatkan dari Batang, Temanggung, Wonosobo, dan sekitar,” katanya, memberikan keterangan kepada rombongan dalam kunjungan ke pabrik, dalam rangkaian acara pengapalan perdana itu.

Uni Eropa, katanya,  sangat ketat menerapkan aturan produk impor agar ramah alam, misal, lem kayu harus rendah emisi.

“Mengenai lem, pasar dunia sangat sensitif. Amerika juga. Formula sudah kita sesuaikan dengan aturan. Agar emisi rendah, kita perbanyak melamim, bukan urea,” ucap Juni.

Soetiadi mewanti-wanti, seiring makin banyak perusahaan pengolah kayu, kebutuhan bahan kayu juga meningkat.

“Kalau gerakan menanam tidak kita tingkatkan, keseimbangan permintaan dan pasokan akan terganggu,” katanya.

“Pemkab setiap tahun menyiapkan 300.000 bibit tanaman, terutama sengon, dikembangkan di kebun bibit.”

Saat ini,  Batang mempunyai kebun bibit seluas lima hektar. Selain Sengon, Pemkab juga mengembangkan cengkih, dan melinjo. Sengon menjadi andalan karena mudah perawatan, dan lima tahun kayu bisa panen.

“Masyarakat sekarang lebih tertarik menanam sengon. Dulu Kecamatan Limpung terkenal melinjo, kini kalah dengan sengon. Yang masih perlu bimbingan petani sengon agar bisa menghasilkan sengon berkualitas. Bagaimana agar sengon tumbuh lurus, rata, tidak banyak mata kayu yang timbul.”

Soal ketersediaan bahan kayu kurang juga disinggung Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia atau Indonesian Sawmill and Wood Working Association (ISWA), Soewarni.

Menurut dia, memenuhi kebutuhan kayu yang terus meningkat, dilaporkan di beberapa daerah pohon buah-buahan pun ditebang diambil kayunya.

“Karena kekurangan kayu. Di Medan banyak pohon durian ditebangi. Nanti kita ke Medan nggak bisa lagi menemukan durian. Mangga juga ditebangi. Jenis kayu keras, biasa untuk flooring. Mereka sebenarnya terpaksa memotong,” katanya.

Dia berharap, jika penanaman kembali secara luar biasa, penebangan pohon buah-buahan itu bisa dikurangi. Kendalanya, kata Soewarni, itu membutuhkan lahan luas.

“Anggota kami mau menanam, tapi di mana? Sengon bagus karena lima tahun sudah bisa ditebang. Mana ada negara tanaman kayu lima tahun bisa ditebang, rata-rata 20 tahun.”

Dia bilang sedang mencari lahan. “Apakah bisa di luar Jawa menanam sengon. Saya lagi menghubungi Litbang Kehutanan, katanya ada cocok untuk sengon.” Kendala lain, di luar Jawa belum ada industri khusus mengolah kayu sengon.”

 

 

Permudah izin

Soewarni meminta, pemerintah mempermudah izin usaha terutama pengusaha kayu gergajian dan kayu olahan. Anggota mereka, katanya, kebanyakan pengusaha menengah ke bawah.

Mereka senang ada SVLK hingga bisa tertib administrasi. “Saya minta tolong yang kecil-kecil dibantu. Mereka bisa menghasilkan devisa kalau perizinan lengkap, tapi mengurus perizinan membutuhkan dana tak sedikit,” katanya.

Dari laporan anggota, persyaratan sejumlah izin mendapat SVLK masih memakan biaya. Di luar Jawa, katanya, biaya SVLK Rp20 juta. Izin HO atau izin gangguan bisa Rp50 juta.

Dia mengeluhkan, perbankan belum bisa memberikan bunga kredit kurang 10%, padahal negara lain hanya 4%.

“Mengurus SVLK tak mahal, yang mahal persyaratannya, izin-izin. Izin itu nggak usah mengulang-ulang. Ada tanda daftar industri yang dikeluarkan setahun sekali, tapi ada yang tiga tahun, lima tahun, 10 tahun. Tidak seragam. Ini karena ada otonomi daerah. Alasannya untuk PAD (pendapatan asli daerah-red). Saya minta supaya pemerintah mengatur bagaimana seragam.”

Wakil Bupati Batang, Soetadi memecahkan kendi tanda peresmian pengapalan perdana kayu olahan berlisensi FLEGT. Foto: Nuswantoro
Wakil Bupati Batang, Soetadi memecahkan kendi tanda peresmian pengapalan perdana kayu olahan berlisensi FLEGT. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,