Mongabay Travel: Pesona Desa Konservasi di Ujung Genteng

Petang masih belum hendak beranjak saat kami menapakkan kaki di Desa Pangumbahan, Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi. Di desa ini, ada banyak pilihan pantai bisa didatangi. Ada Pantai Cibuaya, Pangumbaan, Pantai Pasir Putih dan lain-lain.

Daya tarik kawasan ini, selain keindahan pantai, terutama sore hari, bisa menikmati matahari terbenam, juga dapat melihat penyu-penyu dewasa dan bayi penyu (tukik). Sore hari,  bisa menyaksikan pelepasan tukik ke laut di pusat penangkaran penyu Pantai Pangumbaan ini.

Biasanya,  pengunjung yang datang pagi atau siang hari, akan kembali sore jika ingin menyaksikan bayi penyu dilepas ke laut.

Sambil menunggu, pengunjung menyaksikan panorama laut dengan mentari yang hendak menghilang di balik awan. Ada yang bermain pasir, bola atau berfoto ria. Tak ada yang berenang, karena wilayah ini kawan konservasi dan penangkaran penyu jadi dilarang berenang.

Sekitar pukul 17.30, Beben Isyanto, petugas yang tiga tahun terakhir bertanggungjawab melepas tukik, membawa baskom kecil berisi ratusan tukik. Dia memasang pembatas sederhana terbuat dari tongkat kayu dan tali rapia.

Kami beruntung sore itu menyaksikan pelepasan 483 tukik.

Tukik berlari menuju laut di Pantai Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi
Tukik berlari menuju laut di Pantai Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi

Sesaat setelah dilepas, beberapa meter dari bibir pantai, tukik-tukik berlarian lucu melintasi pasir menuju air. Pengunjung dengan pekikan haru dan bahagia ikut melepas tukik. Tentu saja tak sedikit mengabadikan baik melalui foto maupun video.

Teriakan-teriakan tak hanya menyemangati tukik yang sesekali kembali ke darat karena terhempas ombak, juga teriakan khawatir karena ada pengunjung nyaris menginjak tukik saat mengambil foto atau video.

Beben menggulung tali rapia dan merapikan tiga tongkat kayu usai pelepasan penyu.

“Biasa tak saya batasi dengan tali begini. Kalau pengunjung ramai saya batasi supaya tukik tak terinjak,” katanya.

Mengapa dipilih sore hari untuk melepas tukik?

“Kalau pagi takut dimakan predator, kalau siang panas. Mereka tak tahan panas,” katanya.

Tukik-tukik ini menetas pagi hari di penangkaran penyu kelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Sukabumi.

Kala penyu bertelur, petugas penangkaran akan mengumpulkan setiap pukul 9.00 malam. Setelah terkumpul, telur dimasukkan ke area penetasan semi alami.

Memasuki Desa Wisata dan Konservasi Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi
Memasuki Desa Wisata dan Konservasi Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi

Di sebut semi alami karena area 200 meter persegi ini dikondisikan sedemikian rupa, seperti pantai. Pasir dikumpulkan di penetasan, di dalamnya dilengkapi lingkaran-lingkaran kawat yang diberi papan kecil bertuliskan data: jumlah telur masuk ke tiap lingkaran kawat dan tanggal menetas.

Setelah menetas, bayi-bayi penyu dikumpulkan di baskom, sore hari dilepas di pantai.

“Satu hari menetas, tukik-tukik ini langsung lepas lir karena kalau terlalu lama bisa merusak insting alami,” ucap Beben.

Penangkaran semi alami ini terpaksa dibangun pemerintah daerah mengingat spesies penyu yang bersedia bertelur di area ini makin sedikit. Mulanya ada penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu pipih (Ntartor detresa), dan penyu tempayan (Caretta caretta).

“Kini hanya penyu hijau yang masih bertelur di sini,” katanya.

Beben memperkirakan, penyu lain tak terlihat lagi karena populasi makin berkurang sampai perubahan habitat sekitar pantai. Dulu, sebelum 2007, kala belum dikelola dinas, telur dan penyu kerap dijual hingga mengganggu keberadaan penyu.

Tempat penetasan telur penyu di penangkaran penyu Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi
Tempat penetasan telur penyu di penangkaran penyu Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi

Belum lagi, mangrove di sekitar pantai berganti bangunan-bangunan, baik untuk pemukiman penduduk maupun penginapan dan restoran-restoran.

Meskipun belum semasif pantai-pantai lain di Pulau Jawa, penyu-penyu ini merasa terancam.

“Ada jenis penyu tak bisa melihat sinar saat akan mendarat bertelur. Jadi kalau mereka lihat cahaya puntung rokok aja, mereka akan mundur,” ucap Beben.

Benar saja, dari pantai tak sulit menemukan bangunan, nyaris mepet ke pantai. Berjarak tak sampai 100 meter dari bibir pantai. Bahkan, bibir pantai sebagian diberi batas untuk menghindari ombak menerpa daratan.

“Masyarakat banyak belum paham. Pernah (bangunan tepi pantai) akan dipindahkan, itu rencana bupati lama. Ganti pimpinan, rencana mungkin terlupakan,” katanya.

Pengunjung tempat wisata ini antusian mengikuti pelepasan tukik di Pantai Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi
Pengunjung tempat wisata ini antusian mengikuti pelepasan tukik di Pantai Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi

Budidaya lobster

Desa Konservasi dan Ekowisata Pangumbahan, Ciracap, Sukabumi ini terkenal dengan pantai, dan penangkaran penyu. Memasuki desa ini, pengunjung membayar biaya masuk Rp20.000 per mobil.

Dua tahun terakhir, desa ini juga diramaikan budidaya lobster.

Adalah Kusnadi, peternak lobster, pertama kali membudidayakan di desa ini, pada 2014. Budidaya lobster ditekuni Kusnadi dan istri, Nema karena menjanjikan hasil lumayan.

Mereka membeli bibit-bibit lobster dari nelayan. “Kalau sekarang (akhir Oktober 2016) lagi musim susah. Kemarin-kemarin banyak,” katanya.

Musim baik bagi peternak lobster, antara Maret hingga Oktober. Mulai November hingga akhir Februari, biasa nelayan sulit mendapatkan lobster.

Tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan aturan larangan ekspor bibit lobster dengan berat kurang dua ons. Menteri KKP, Susi Pudjiastuti mengatakan, pelarangan ini penting menjaga keberlanjutan ekosistem laut Indonesia.

Selain itu, dibanding bibit lobster, ekspor lobster dewasa akan meningkatkan nilai tambah.

Biasanya, musim pasokan banyak,  Kusnadi dan Nema menjual lobster kurang dua ons Rp80.000-Rp100.000 per kilogram.  Isinya bisa 8-10 lobster. Musim paceklik mereka jual Rp250.000 per kg. “Ada pesen mateng Rp300.000 sekilo. Biasa di saus tiram,” ucap Nema.

Kusnadi membangun tiga kolam lobster masing-masing berukuran 9×6 meter. Mulanya dia hanya coba-coba. Tak punya ilmu tak ada pengalaman. Lobster sering kembung dan sakit. Seiring waktu berjalan, dia mulai belajar.

“Kalau kemasukan air tawar akan kembung, perlu disuntik. Seminggu sekali air musti diganti atau dikasi es balok,” kata Kusnadi. Lobster, satwa laut yang memerlukan air asin.

Setelah tahu tipsnya, Kusnadi mulai lancar memasarkan lobster. Mereka biasa perlu waktu tiga bulan pemeliharaan di kolam lantas dilelang, pembeli datang dari Jakarta.

Satu kali lelang, Kusnadi pernah membawa 380 kg lobster dengan harga lelang Rp660.000 perkilogram. Dengan kata lain,  saat musim lelang dia bisa membawa hasil penjualan Rp250 juta lebih!

Tak heran,  jika dalam dua tahun warga mulai mengikuti jalan Kusnadi. “Sekarang sudah banyak ikut budidaya ini,” katanya.

Suasana Pantai Cibuaya menjelang petang. Kita bisa menyaksikan matahari terbenam. Foto: Sapariah Saturi
Suasana Pantai Cibuaya menjelang petang. Kita bisa menyaksikan matahari terbenam. Foto: Sapariah Saturi

Ke Ujung Genteng

Kala ke Ujung Genteng, banyak pantai cantik dan relatif bersih. Ada Pantai Ujung Genteng, Pantai Cibuaya, Pantai Pasir Putih, Tujuh Ombak, Cipanarikan, sampai Pantai Pangumbaan. Tak hanya wisata pantai, Ujung Genteng juga punya beberapa curug, seperti Curug Cikaso, dan Cigangsa.

Dari Jakarta, ke Ujung Genteng, tempuh jarak 230 kilometer. Jalan menuju ke sana, sebenarnya relatif bagus, beraspal mulus. Hanya, jalur di pegunungan, yang menanjak, menurun dan berkelok tajam membuat pengendara harus ekstra hati-hati. Tak boleh lengah, apalagi mengantuk. Paling baik, waktu berangkat pagi hari, agar sampai di sana, sore atau sebelum menjelang malam.

Dari Jakarta-Sukabumi, di akhir pekan rata-rata menghabiskan waktu delapan hingga sembilan jam dengan rute Jakarta-Bogor-Ciawi-Cianjur-Sukabumi.

Perjalanan panjang mencapai Ujung Genteng, akan terbalas dengan keindahan wisata alam yang cukup terjaga.

Guna menikmati begitu banyak obyek wisata alam dan pantai di Ujung Genteng, setidaknya perlu waktu tiga hari.

Tak usah khawatir dengan penginapan, karena hampir semua warga di tepi pantai menyewakan rumah dan penginapan dengan berbagai jenis.

Ada rumah sederhana milik warga, ada pula villa dan penginapan sekelas hotel berbintang. Anda tinggal mencocokkan dengan kantong dan selera. Jika Anda berjiwa petualang, tak sedikit pengunjung membawa tenda dan bermalam di tepi pantai.

Beben Isyanto, petugas yang tiga tahun terakhir bertanggungjawab melepas tukik, memperlihatkan tukik baru menetas siap lepasliar. Foto: Sapariah Saturi
Beben Isyanto, petugas yang tiga tahun terakhir bertanggungjawab melepas tukik, memperlihatkan tukik baru menetas siap lepasliar. Foto: Sapariah Saturi
Pusat penangkaran penyu di Pantai Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi
Pusat penangkaran penyu di Pantai Pangumbaan. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,