Namanya cukup pendek, Ruslah. Usianya beranjak tua, 58 tahun. Tapi nenek dari empat cucu yang menetap di Desa Ulakkemang, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan ini, terus menunjukkan semangatnya dalam memperjuangkan peningkatan ekonomi masyarakat desa, khususnya di sekitar lahan gambut.
Selama penyelenggaraan Jambore Masyarakat Gambut di kota Jambi, Jambi, pada 5-7 November 2016 lalu, Ruslah “bergerak” tanpa lelah. Dia melayani setiap orang yang ingin berbincang dengannya. Termasuk mengatraksikan kemampuan menganyam purun di tengah orang banyak.
“Saya ini seperti artis. Ditarik kesana-kemari, diajak ngobrol. Saya senang, sebab berkenalan dengan banyak orang, dan mereka sangat menghargai apa yang sudah saya kerjakan. Saya sendiri tidak menyangka kerja saya selama ini memberikan dampak penghargaan seperti saat ini,” kata Ruslah saat berbincang dengan Mongabay Indonesia, awal November lalu.
Kegiatan ini diikuti perwakilan masyarakat sekitar gambut dari Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Selama 10 tahun terakhir, Ruslah cukup dikenal oleh para perempuan penggiat lingkungan hidup di Sumatera Selatan. Dia merupakan sosok “pelatih” kerajinan anyaman yang menyebarkan ilmunya ke berbagai kelompok perempuan desa yang didampingi oleh sejumlah NGO atau pemerintah.
Dijelaskan Ruslah, perempuan di dusunnya, termasuk juga di daerah lain di Sumatera Selatan, merupakan tulang punggung ekonomi keluarga.
“Istri tidak hanya diam di rumah. Istri turut ke kebun, ke sawah, dan mencari pendapatan lain untuk menghidupi keluarga. Saya senang mengajarkan ibu-ibu menganyam purun yang tujuannya agar ekonomi keluarganya meningkat.”
Ruslah, seperti umumnya perempuan di dusunya, sejak kecil diajarkan oleh orangtuanya menganyam, baik menggunakan purun, bambu atau pandan berduri. Anyaman yang dibuat mulai dari tikar, wadah ikan, serta peralatan rumah tangga lainnya.
Hasil anyaman tersebut bukan hanya digunakan sendiri juga diperdagangkan. Dari hasil usahanya, Ruslah telah memiliki sebuah toko dan workshop anyaman purun. Di toko ini Ruslah bersama perempuan di kampung terus menghasilkan tikar dan peralatan rumah tangga lainnya dari purun.
“Kami bukan keluarga kaya. Hidup kami tidak cukup mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan. Semua anggota keluarga, baik perempuan maupun laki-laki harus bekerja. Jadi saya dan ibu saya membuat anyaman untuk dijual,” ujarnya.
Dijelaskan Ruslah, saat dia kecil, orangtua maupun warga di desanya tidak pernah mengelola lahan gambut. Mereka hanya memanfaatkan apa yang dihasilkan dari lahan gambut. Baik kayu, ikan, madu, purun, dan lainnya.
“Kami bersawah dan berkebun karet bukan di lahan gambut. Kami percaya gambut tidak bisa dijadikan kebun karet atau dijadikan sawah, kecuali saat kering dapat ditaburi padi. Itu pun hasilnya tidak banyak,” ujarnya.
Persoalan pemasaran
Sejak masuknya peralatan rumah tangga, seperti tikar plastik serta peralatan menangkap ikan dan peralatan dapur yang menggunakan plastik, sekitar tahun 1990-an awal ke desa-desa di Kabupaten OKI, membuat pasaran anyaman seperti purun, bambu atau pandan berduri menjadi menurun permintaannya.
Dampaknya banyak pengrajin meninggalkan profesi tersebut. Mereka akhirnya memilih menjadi buruh sawah padi dan kebun.
“Yang masih bertahan pemintaan hanya tikar purun. Itu pun jumlahnya sangat kecil,” ujarnya.
Sekitar tahun 2004, Ruslah bertemu dengan tim divisi gender program South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) yang dipimpin Yandriani.
Dari pertemuan itu, Ruslah pun diajak keliling memberikan ilmunya pada sejumlah kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Pemerintah OKI pun kemudian menggunakan jasanya untuk memberikan pelatihan.
“Hampir semua perempuan di OKI sudah saya ajarkan menganyam purun. Bukan hanya tikar, juga wadah bumbu, tas, dompet, dan lainnya,” ujarnya.
Tetapi, Ruslah mengaku belum merasa berhasil dengan apa yang dilakukannya karena hanya sebagian kecil ibu-ibu menjadikan anyaman purun ini sebagai sumber pendapatan.
Mengapa? Pertama, kata Ruslah, tikar purun yang dihasilkan tidak segera menjadi uang. Tikar purun baru menghasilkan jika ada yang membeli. Selain itu harganya pun tidak terlalu mahal. Sekitar Rp15 ribu per lembar.
“Ini berbeda menjadi buruh sawah atau kebun yang uangnya langsung diberikan setelah bekerja. Mereka lebih senang menjadi buruh dibandingkan menganyam tikar purun.”
Kedua, banyaknya lahan gambut yang dijadikan perkebunan sawit dan persawahan, membuat bahan baku purun menjadi lebih sulit. “Kalaupun purunnya ada, harus membeli dari pengumpul purun, yang harganya sekitar Rp15 ribu per ikat,” katanya.
Dari aktifitasnya membuat tikar purun dan peralatan rumah tangga lainnya yang terbuat dari purun, setiap bulan Ruslah menghasilkan Rp2 juta. Terlebih jika ada pameran, dimana produknya banyak dibeli oleh pemerintah atau organisasi.
Menurut Ruslah, hasil anyaman purun baru akan menjadi sumber pendapatan ekonomi masyarakat, khususnya kaum perempuan, jika pemerintah mampu menjamin pemasarannya.
“Jika ekonomi kami baik, saya percaya tidak banyak lagi di antara kami akan membuka hutan atau menjadikan lahan gambut sebagai sawah atau perkebunan, yang dinilai menjadi penyebab kebakaran. Di antara kami terpaksa melakukan itu karena mau makan,” ujarnya.