Baru Terbebas dari HTI, Mentawai Kembali Terancam Ekspansi Sawit

Masyarakat Mentawai, Sumatera Barat, tampaknya masih harus berjuang keras membebaskan negeri dari pembabatan hutan dan jamahan perkebunan sawit. Baru saja bisa bernapas lega karena pembatalan surat persetujuan prinsip pengembangan hutan tanaman industri PT. Biomass Andalan Energi tertanggal 2 September 2016, giliran investor sawit bakal tanam modal di Bumi Sikerei ini.

Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit saat kunjungan kerja ke Siberut 8 november lalu membenarkan ada beberapa investor akan masuk Mentawai.

“Sudah ada investor tertarik, ini belum apa-apa, semua sangat tergantung sibakkat laggai (kepala suku) Mentawai jika bersedia. Kita belum berani ambil keputusan menerima atau menolak sebelum ada kesepakatan dengan masyarakat, ini rencana jangka panjang penguatan ekonomi masyarakat,” katanya  di Dermaga Mailepet Siberut Selatan.

Baca juga:  Eksploitasi Hutan Picu Beragam Masalah, Koalisi Tolak Perusahaan HTI Masuk Mentawai

Perkebunan sawit itu akan dikembangkan di Siberut, Pagai dan Sipora. “Untuk perkebunan, taman nasional, hutan lindung pasti tak bisa, ada di APL (alokasi penggunaan lain-red), kita minta bantuan seluruh pemuda dan LSM kehutanan untuk bekerjasama,” katanya.

Dia mengklaim, perusahaan sawit masuk Mentawai dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dalam jangka panjang.

“Ada plasma inti untuk masyarakat, jadi masyarakat tinggal menerima hasil, tak usah bekerja dan kepemilikan atas tanah tetap mereka punya,” katanya.

Saat ditanya daya rusak sawit terhadap lingkungan seperti banjir di Siberut, mantan Bupati Pesisir Selatan ini berjanji mengkaji lingkungan secara mendalam. Dia bilang, semua tergantung kesediaan masyarakat.

“Semua tergantung masyarakat, setuju atau tidak. Ini masih jangka panjang, kita belum berani janji apa-apa dengan investor. Saat ini, fokus pemprov mengeluarkan Mentawai dari ketertinggalan dalam tiga tahun ke depan. Terutama membangun infrastruktur, layanan pendidikan dan akses kesehatan,” katanya.

Hutan Mentawai di Siberut Utara, yang masih terjaga. Foto: Vinolia
Hutan Mentawai di Siberut Utara, yang masih terjaga. Foto: Vinolia

 

Mentawai jadi incaran

Sejarah eksploitasi hutan di Mentawai,  terbentang panjang sejak awal 1970-an. Di Siberut, setidaknya ada tujuh izin hak pengusahaan hutan (HPH) telah keluar. Saat ini, tinggal satu perusahaan beroperasi PT. Salaki Summa Sejahtera. Di Pulau Pagai, satu HPH beroperasi, PT. Minas Pagai Lumber.

Menilik ke belakang, rencana perkebunan sawit dimulai sejak izin lokasi keluar untuk lima perusahaan perkebunan sawit 73.500 hektar pada 2009 dan 2010, dimasa kepemimpinan Bupati Edison Saleleubaja.

Rencana perkebunan sawit itu batal karena mendapat penolakan masyarakat, gereja dan organisasi masyarakat sipil lain.

Pada 2015, dua perusahaan sawit mengajukan penerbitan kembali izin usaha perkebunan sawit di Pulau Pagai sekitar 17.000 hektar. Permohonan tak ditindaklanjuti Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet.

Akhir masa jabatan, Yudas mengeluarkan instruksi menolak eksploitasi hutan dan perkebunan skala besar seperti sawit.

Instruksi Bupati Mentawai No. 1 Tahun 2016 mengamankan Kabupaten Kepulauan Mentawai dari izin eksploitasi hutan dan perkebunan skala besar. Instruksi ini ditandatangani 24 Oktober 2016, empat hari sebelum Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet cuti untuk kampanye pilkada.

“Saya sudah keluarkan Instruksi Bupati untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam,” katanya pada diskusi “Menuju Indonesia Setara dan Bermartabat” di Jakarta, Rabu (9/11/2016).

Instruksi itu keluar karena wilayah kelola masyarakat adat Mentawai sudah sangat sempit, hanya 18% dari total daratan Mentawai, 82% kawasan hutan negara dengan status hutan produksi dan lindung.

Luas 18% itu, selalu jadi incaran perkebunan berskala besar terutama sawit sejak 2010.

“Saya menolak sawit, tak boleh ada sawit di Mentawai, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya,” kata Yudas.

Instruksi bupati itu memerintahkan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Mentawai,  tak memberikan persetujuan atau penerbitan izin usaha perkebunan skala besar sebelum kesesuaian RTRW diterbitkan Bappeda.

Kantor Lingkungan Hidup tak boleh menerbitkan persetujuan pengkajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bagi permohonan izin perkebunan dan usaha pengelolaan hasil hutan berskala besar.

Untuk Bappeda, diinstruksikan segera melakukan langkah-langkah percepatan penetapan Perda Pengakuan dan Perlindungan masyarakat Hukum Adat Mentawai dan percepatan penyusunan rancangan perubahan RTRW Mentawai mengakomodir wilayah masyarakat adat.

Bappeda juga diinstruksikan tak menerbitkan rekomendasi kesesuaian RTRW dengan rencana peruntukan permohonan izin pengelolaan hutan berskala besar dan tak memberikan pertimbangan teknis tentang informasi tata ruang wilayah daerah atas areal untuk izin pengelolaan hutan berskala besar.

Bupati juga mengirimkan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta moratorium (penghentian sementara) izin-izin usaha kehutanan di hutan produksi Mentawai.

“Saat ini,  Pemda Mentawai mengusulkan Perda masyarakat adat, dan berencana mengajukan usulan revisi RTRW tahun depan untuk memperbesar wilayah kelola masyarakat.”

Dia ingin memperluas pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema perhutanan sosial baik melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan hutan adat.

Sagu, sebagai salah satu makanan pokok masyarakat Mentawai. Wilayah ini bakal hilang kala berubah menjadi sawit. Foto: Rachmadi
Sagu, sebagai salah satu makanan pokok masyarakat Mentawai. Wilayah ini bakal hilang kala berubah menjadi sawit. Foto: Rachmadi

Pada kesempatan terpisah, Yudas menjelaskan, kebijakanitu keluar karena banyak konflik muncul antarmasyarakat karena persoalan tata batas tanah kelolaan perusahaan.

“Belum lagi persoalan-persoalan lingkungan, banjir dampak eksploitasi terus menerus.”

Pengembangan ekonomi wilayah kepulauan ini, katanya, lebih cocok pertanian berbasis kerakyatan dan mendorong sektor pariwisata sebagai unggulan meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

“Agar pariwisata maju dan bisa mengundang banyak orang, tentu lingkungan harus terjaga baik dan lestari. Wisata Mentawai memiliki potensi luar biasa, ombak nomor dua di dunia setelah Hawaii dan memiliki budaya unik dan menarik,” katanya.

 

Tolak ekspansi sawit

Penolakan terhadap rencana perkebunan sawit juga diungkapkan Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) dan LSM Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM).

GKPM mengeluarkan rekomendasi kepada Pemda Mentawai agar menolak izin-izin eksploitasi kehutanan dan perkebunan besar di Mentawai. Rekomendasi itu diputuskan dalam Sidang Sinode AM VIII GKPM, 28 Oktober lalu di Sikakap.

Untuk penguatan identitas Mentawai, GKPM juga merekomendasikan DPRD Mentawai segera membahas dan menetapkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA).

GKPM prihatin dengan penjualan tanah dan peralihan hak tanah-tanah masyarakat marak di lokasi strategis. Pemda Mentawai diminta mengeluarkan petunjuk teknis tentang jual beli tanah dengan syarat-syarat lebih ketat.

Untuk mengembangkan ekonomi masyarakat, GKPM merekomendasikan, ada pendataan komprehensif tentang potensi, peluang dan kelemahan ekonomi berbasis produk lokal.

Serupa diungkapkan Direktur YCMM, Rifai Lubis. Menurut dia,  sawit bukanlah jalan keluar melepaskan masyarakat Mentawai dari ketertinggalan apalagi meningkatkan ekonomi.

Belajar dari kabupaten lain, katanya, perkebunan sawit justru menambah kesengsaraan masyarakat dan konflik agraria berkepanjangan.

“Agaknya wakil gubernur abai dengan protes dan jeritan masyarakat korban perkebunan sawit dari berbagai daerah, termasuk dari Pesisir Selatan,” katanya, Minggu (20/11/16).

Gagasan sawit ini, jelas bertentangan dengan sikap penolakan masyarakat Mentawai. Sejak dua perusahaan sawit, Citra Mandiri Widya Nusa dan Puri Citra Maharani, berniat membuka perkebunan sawit 1999, sampai rencana perkebunan empat perusahaan 2010, Sibakkat Polak, tegas menolak.

Penolakan itu, katanya,  sangat mendasar karena mereka tahu persis, sertifikat hak guna usaha yang dipegang perusahaan, berarti pelepasan hak permanen tanah, seperti isi PP 40 tahun 1996.

Di banyak tempat, peralihan tanah masyarakat kepada konsesi perusahaan perkebunan mengawali proses pemiskinan mereka. Mereka kehilangan akses dan kontrol menentukan pola produksi di tanah itu.

Semua keputusan, katanya, oleh perusahaan, semata-mata berdasarkan proyeksi bisnis yang dipahami perusahaan. Masyarakat, sekadar buruh, dengan gaji harian Rp10.000, seperti dituturkan buruh salah satu perkebunan sawit di Pasaman Barat.

Pembukaan perkebunan sawit di Mentawai, katanya, dipastikan menyebabkan deforestasi. APL yang akan dibuka, katanya, bisa berupa hutan sekunder.

Gagasan Wagub juga bertentangan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Juga bertentangan dengan sikap pemerintah pusat yang sedang menggodok moratorium perkebunan sawit.”

Anak-anak Desa Madobag, Siberut Selatan, Mentawai. Foto: Vinolia
Anak-anak Desa Madobag, Siberut Selatan, Mentawai. Foto: Vinolia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,