Kala Nelayan Jakarta Sampaikan Keluhan Reklamasi ke Kedutaan Belanda

Puluhan nelayan Teluk Jakarta, aksi damai di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Rabu (23/11/16) bertepatan dengan kunjungan PM Belanda ke Indonesia. Nelayan menyuarakan aspirasi penolakan reklamasi Teluk Jakarta dan proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Sugianto, nelayan Jakarta, mengatakan, kalau reklamasi jalan, Muara Angke akan habis dikeruk jadi waduk. “Era Rizal Ramli (Menteri Maritim), reklamasi sudah jelas ditolak. Tiga menteri menolak. Mengapa harus dipaksakan lanjut,” katanya.

Nelayan lain, Diding mengatakan, sudah beberapa kali aksi tetapi menemui jalan buntu. Padahal, nasib nelayan sangat tergantung kelestarian laut.

“Kalau laut sudah diurug, cari makan susah. Kejahatan bisa merajalela. Kejahatan timbul karena perut lapar,” katanya.

Dia sudah menjadi nelayan sejak 1974. Baginya, nelayan Jakarta selalu terombang-ambing. “Saya alami, dari  Bintang Mas, era Gubernur Ali Sadikin 1977, kita dipindahkan dari Muara Karang ke Muara Angke. Sekarang 2016, kita mau pindah kemana lagi? Muara Angke sudah di ujung laut. Daripada kita jauh-jauh nyemplung ke laut, lebih baik mati bareng-bareng,” katanya.

Aktivis Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata mengatakan, aksi di depan Kedubes Belanda ini karena Pemerintah Belanda terlibat dalam proyek reklamasi dan NCICD.

“Sejak 2001, kami tahu sudah ada kesepakatan pemerintah Belanda dan Indonesia untuk investasi pengelolaan banjir di Jakarta,” katanya.

Yang terjadi, katanya, pengelolaan banjir ini hanyalah kedok untuk investasi dan mengambil keuntungan dari proyek infrastruktur di Teluk Jakarta. “Baik membangun reklamasi 17 pulau maupun pembangunan tanggul laut raksasa melalui NCICD,” ujar dia.

Pemerintah Belanda, kata Marthin, berupaya mendorong NCICD berlanjut hingga fase A, B dan C. Padahal, pada fase A tak pernah konsultasi publik. Justru, Pemerintah Belanda dan Indonesia termasuk Pemerintah Jakarta memaksakan kelanjutan pembangunan tanggul di pesisir utara Jakarta.

Dia tahu, Jakarta, mengalami penurunan muka tanah cukup serius. Meskipun begitu, katanya, dalam penanganan jangan menggunakan pendekatan sama rata.

“Amblesan tanah berbeda-beda di tiap tempat, Pendekatan pun harus beda. Lebih parah pemerintah Belanda mendorong masterplan NCICD, solusi giant sea wall,” katanya.

Pulau G, yang sudah diputus agar izin dicabut oleh PTUN Jakarta dan pembangunan sudah dihentikan permanen oleh Menteri Koordinator Maritim, Rizal Ramli, bakal ‘hidup’ lagi era Menko Maritim Luhut P. Foto: Sapariah Saturi
Pulau G, yang sudah diputus agar izin dicabut oleh PTUN Jakarta dan pembangunan sudah dihentikan permanen oleh Menteri Koordinator Maritim, Rizal Ramli, bakal ‘hidup’ lagi era Menko Maritim Luhut P. Foto: Sapariah Saturi

Pembangunan GSW, katanya,  tak akan menyelesaikan masalah banjir rob di Jakarta. Justru, malah memimbulkan masalah baru, seperti perampasan ruang gerak nelayan tradisional, maupun nelayan-nelayan pesisir tergerus.

“Kita tahu di Jakarta mudah penggusuran. Jika ini diteruskan, sama saja pemerintah Belanda ikut mendukung penggusuran di Jakarta. Harus dihentikan.”

Pemerintah Belanda, ucap Marthin,  seharusnya memberikan model pembangunan lebih baik. “Kita tahu di negaranya Belanda melakukan pembangunan yang baik.”

Dia menuntut, Pemerintah Belanda memikirkan investasi mereka dalam proyek ini. Investasi di Indonesia, katanya, harus menjunjung tinggi HAM.

Reklamasi juga, tak bisa jalan karena masih ada izin lingkungan dibekukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mengenai pulau-pulau yang sudah jadi, Marthin menuntut pemerintah merehabilitasi dan restorasi.

Dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta, Marthin menyebutkan,  beberapa perusahaan Belanda ikut terlibat, seperti Royal Haskoning DHV desain Pulau G, F dan N. Witeven +Bos untuk desain Pantai Indah Kapuk, Pulau C, D dan E dan Van Oord serta Boskalis yang mendapatkan kontrak pengerjaan pengerukan dan pengurukan Pulau G. Perusahaan mendapatkan jaminan ekspor kredit 209 juta Euro dari Atradius DSB.

Perusahaan-perusahaan Belanda yang menjadi konsultan reklamasi, katanya, perlu diberikan sanksi oleh pemerintah Belanda.

“Mereka sudah melakukan kejahatan lingkungan dan mengancam wilayah nelayan tradisional. Ini erat terkait dengan komitmen Belanda dengan prinsip bisnis dan HAM yang harus mereka penuhi,” katanya.

Nelson Simamora dari LBH Jakarta mengatakan, reklamasi menyebabkan banyak orang tergusur dan kehilangan mata pencaharian.

Padahal, area sekitar Pulau G itu dulu tempat ikan berkumpul. Setelah reklamasi, ikan tak ada. Nelayan semakin kesulitan.

Protes reklamasi Jakarta di Kedutaan Belanda. Foto: Indra Nugraha
Protes reklamasi Jakarta di Kedutaan Belanda. Foto: Indra Nugraha

Arieska Kurniawaty, aktivis Solidaritas Perempuan mengatakan, sebelumnya Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta sudah dua kali mengirim surat kepada Pemerintah Belanda. Hingga kini,  tak ada respon. Surat pertama kepada PM Belanda, surat kedua kepada Atradius DSB.

“Isi surat, kita menyampaikan konsen keterlibatan Belanda dalam proyek ini. Sebenarnya, Belanda kan punya komitmen perlindungan lingkungan, juga penegakan HAM.”

“Kami ingin mengingatkan PM Belanda bahwa proyek di Jakarta bermasalah. Tak ada KLHS (kajian lingkungan hidup strategis-red) partisipatif, melibatkan masyarakat. Juga menimbulkan kerusakan lingkungan dan menghilangkan sumber kehidupan peisisir.”

 

 

Janji dialog

Ferdinand Lahnstein, perwakilan Kedubes Belanda keluar menemui para demonstran. Dia langsung dialog dengan warga. Berbagai keluhan disampaikan warga, termasuk soal tak ada tanggapan dari Pemerintah Belanda, soal dua surat yang dikirim beberapa waktu lalu.

“Kami akan menyampaikan tanggapan surat itu seminggu ke depan,” katanya.

Terkait penolakan reklamasi dan NCICD, kata Lahnstein, mereka bukan pemilik proyek. Pemerintah Belanda, katanya, hanya ingin membantu Indonesia,  agar lebih aman. Dia menjanjikan akan memfasilitasi warga berdialog dengan pihak terkait soal reklamasi dan NCICD.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,