Pendekatan Bentang Alam untuk Menjawab Konflik Pengelolaan Hutan

Sebagai sebuah kerangka baru, pendekatan bentang alam (landscape approach) terbukti bisa menjawab masalah-masalah kehutanan. Namun, pendekatan bentang alam ini belum banyak dilakukan termasuk di Indonesia, karena kurangnya kemauan politik.

Demikian salah satu kesimpulan dalam lokakarya untuk wartawan yang diadakan Center for International Forestry Research (CIFOR) di Kuta, Bali pada 16-17 November 2016. Lokakarya diadakan bersamaan dengan pelaksanaan PEFC Forest Certification Week di Kuta, Bali pekan lalu.

PEFC, singkatan dari Programme for the Endorsement of Forest Certification, adalah aliansi global lembaga sertifikasi hutan. Kantor pusat mereka di Jenewa, Swiss dengan anggota di seluruh dunia.

Peneliti CIFOR, Josh van Vianen mengatakan pendekatan bentang alam bisa menjawab isu-isu aktual seperti kemiskinan, krisis pangan, hilangnya keberagaman alam, perubahan iklim, dan lain-lain. Menurut Josh, saat ini setidaknya terdapat 900 juta penduduk hidup dengan pendapatan kurang dari $2 per hari. Di sisi lain, setidaknya 795 juta penduduk masih mengalami kekurangan gizi.

Kemiskinan dan kekurangan gizi itu menjadi ironi ketika melihat besarnya kekayaan yang tersimpan dalam hutan. Penduduk-penduduk di sekitar kawasan hutan, salah satu sumber kekayaan, pun masih mengalami masalah-masalah itu karena terlalu dominannya konsep konservasi lingkungan daripada sosial ekonomi. Padahal, seharusnya hutan juga bisa dikelola selama tidak mengorbankan keberlanjutannya.

“Pendekatan bentang alam bisa menjawab semua tantangan tersebut: sosial, lingkungan, ekonomi, dan politik,” kata Josh.

Pendekatan bentang alam, menurut Josh, bisa menjadi jalan keluar terintegrasi karena harus menggunakan proses partisipasi serta negosiasi, perencanaan inklusif untuk mengurangi perdagangan, serta memperbesar sinergi.

Pendekatan bentang alam, secara sederhana, adalah melihat isu hutan dari beragam kaca mata. Tak melulu aspek lingkungan tapi mengintegrasikan hal-hal lain, seperti ekonomi, sosial, dan budaya.

Ada sepuluh prinsip yang harus diterapkan dalam pendekatan bentang alam mulai dari proses perencanaan hingga pemantauan. Beberapa di antara sepuluh prinsip tersebut adalah pengelolaan secara adaptif, pemenuhan kepentingan bersama, pemantauan secara partisipatif, daya lenting (resilience), dan penguatan kapasitas para pihak.

Pengunjung memotret hutan bambu di Desa Penglipuran Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir
Pengunjung memotret hutan bambu di Desa Penglipuran Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir

Berdasarkan penelitian CIFOR, pendekatan bentang alam telah berhasil melestarikan hutan dan memberikan manfaat kepada warga setempat di beberapa tempat di Indonesia.

Elizabeth Linda Yuliani, peneliti CIFOR, menyebutkan setidaknya tiga contoh penerapan pendekatan lansekap di Indonesia yaitu di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; hutan adat di Bulukumba, Sulawesi Selatan; serta Taman Hutan Raya (Tahura) Nipa-Nipa di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara.

Di Kapuas Hulu, berdasarkan riset CIFOR bersama mitra lokal, Yayasan Riak Bumi, telah terjadi pengelolaan secara partisipatif hutan di kawasan hutan seluas 3 juta hektar. Ada dua taman nasional (TN) di kawasan ini yaitu TN Danau Sentarum dan TN Betung Kerihun. Selain menjadi hutan bagi aneka tanaman, mamalia, dan burung, hutan ini juga menjadi rumah bagi sekitar tiga persen populasi orang utan di Kalimantan.

Dengan sekitar 220.000 orang tinggal di kawasan tersebut, Daerah Aliran Sungai Kapuas Hulu juga menjadi lumbung pangan bagi warga etnis Dayak Iban dan Embaloh di gunung maupun warga Melayu di kawasan pantai.

Namun, pada tahun 2007, sebanyak 19 perusahaan minyak sawit mendapatkan izin di wilayah Kapuas Hulu dengan luas 350.000 hektar. Sebagian perusahaan ini terbukti gagal memberikan dampak lebih baik bagi warga, seperti lapangan kerja atau peningkatan taraf hidup.

Dengan pendekatan bentang alam, warga adat kemudian diajak terlibat bersama-sama pemangku kepentingan lain, seperti pelaku bisnis, pejabat pemerintah, organisasi non-pemerintah, serta kelompok masyarakat sipil lain.

Masyarakat adat kemudian menyetujui terjadinya alih fungsi lahan dengan catatan akan mendapatkan kompensasi dari perusahaan. Sebagai tindak lanjut, lahan-lahan yang telah dibuka pun direhabilitasi dengan buah-buahan lokal maupun beberapa jenis tengkawang.

Warga bisa ikut mengelola hutan dan mendapatkan aneka hasil, seperti ikan, madu, rotan, dan buah-buahan. Warga bahkan bisa membudidayakan ikan arwana menjadi ikan paling mahal di dunia. “Keberhasilan itu membuktikan bahwa hutan dan ekosistem alami bisa menjadi sumber pendapatan berkelanjutan, dibandingkan alih fungsi lahan,” kata Linda.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan rombongan, dengan berpakaian hitam-hitam dan bertelanjang kaki sesuai adat, mengunjungi hutan dan Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (08/08/2016). Foto: Wahyu Chandra
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan rombongan, dengan berpakaian hitam-hitam dan bertelanjang kaki sesuai adat, mengunjungi hutan dan Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (08/08/2016). Foto: Wahyu Chandra

Cerita serupa dengan hutan Kapuas Hulu juga terjadi terhadap masyarakat adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, warga adat telah menempati hutan tersebut. Namun, sejak 1960-an, ribuan hektar hutan tersebut diubah menjadi perkebunan karet.

Melihat besarnya potensi konflik antara perusahaan karet dengan warga adat, Pemerintah Kabupaten Bulukumba memulai draf peraturan daerah untuk melindungi hutan tapi tidak terlalu mendapat dukungan birokrasi dan publik. CIFOR dan LSM Balang terlibat sebagai fasiltator sejak 2013 untuk membuat upaya kolaboratif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Kolaborasi ini juga melibatkan pemerintah lokal, masyarakat adat Ammatoa Kajang, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Melalui kolaborasi tersebut, Bulukumba akhirnya memiliki Perda tentang Pengukuhan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang yang disahkan pada November 2015 lalu. Rumusan Perda sendiri telah disepakati pada Maret 2014.

Salah satu poin penting dalam Perda tersebut adalah pengakuan terhadap 313 hektar hutan sebagai hutan adat dari yang sebelumnya menjadi hutan negara. Masyarakat adat Ammatoa Kajang telah menjaga hutan tersebut meskipun juga memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari.

Pendekatan bentang alam yang mengedepankan kolaborasi juga bisa menjawab konflik  di Tahura Nipa-Nipa di Teluk Kendari akibat tidak berjalannya Perda No.5 tahun 2007. Melalui berbagai pertemuan bersama, akhirnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mengesahkan Perda No.6 tahun 2014 untuk melindungi kawasan seluas 7.877,5 hektar sekaligus hulu bagi 15 sungai di Teluk Kendari tersebut.

Para pihak juga sepakat membuat Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Rehabilitasi dan Rencana Blok, dan nota kesepahaman antara pemerintah dan petani di kawasan hutan. Dalam nota kesepahaman antara Kelompok Tani Pelestari Hutan Subur Makmur dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengelola Tahura Nipa-Nipa, kedua belah pihak adanya kelompok tani di blok khusus yang menerapkan pola wanatani yang berorientasi pada konservasi lahan dan peningkatan produksi hasil tanaman.

“Pendekatan bentang alam mengakomodasi tiga hal penting yaitu hutan sebagai bagian dari lingkungan, hutan sebagai tempat hidupnya budaya, identitas, dan pengetahuan lokal, serta hutan sebagai lumbung pangan dan nutrisi,” kata Linda.

Linda menambahkan, sebagai istilah baru yang dipopulerkan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah internasional, seperti CIFOR, WWF, TNC, dan lain-lain, pendekatan bentang alam ini sebenarnya sudah diterapkan secara turun temurun oleh warga adat di Indonesia, termasuk warga adat Ammatoa Kajang di Bulukumba.

Contoh lain juga terjadi di Bali, seperti di Desa Penglipuran, Kecamatan Susut, Bangli. Di desa ini warga melestarikan 112 hektar hutan bambu yang mengelilingi desa. Menurut I Wayan Supat, Bendesa Adat Penglipuran, warga adat melestarikan hutan bambu itu berlandaskan filsfata hidup harmoni.

Taman Bambu di Kebun Raya di Kebun Raya Eka Karya, Bedugul, Tabanan, Bali, menampilkan aneka tanaman bambu di Indonesia. Foto Anton Muhajir
Taman Bambu di Kebun Raya di Kebun Raya Eka Karya, Bedugul, Tabanan, Bali, menampilkan aneka tanaman bambu di Indonesia. Foto Anton Muhajir

“Kami tidak hanya memikirkan manfaat ekonomis hutan tapi juga aspek ekologisi dan budaya. Kami konsisten menerapkan itu,” katanya. Dengan falsafah tersebut, hutan bambu di Penglipuran pun masih asri terjaga sekaligus menjadi resapan bagi desa itu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,