Niat Tanam Bakau Cegah Abrasi, Simon dan Lusia pun Rela Cari Pinjaman Dana Sendiri

Pantai dusun Nurabelen dan daerah lainnya di Desa Nuri, Kecamatan Ile Bura kabupaten Flores Timur setiap tahun mengalami abrasi. Daratan yang dahulunya berjarak lebih kurang 50 meter dari bibir pantai kini sudah terendam air laut.

Bila gelombang besar terjadi, air laut bisa masuk hingga ke dapur rumah warga. Ratusan pohon kelapa dan ketapang yang berada di bibir pantai pun ikut tumbang dan mati akibat terendam air laut.

Melihat situasi ini, pasangan suami istri asal Dusun Nurabelen, Simon Para Puka (59) dan Afra Lusia Riberu (55) pun tinggal diam. Tanpa latar belakang ilmu tentang bakau dan bermodalkan nekat, mereka mencoba menghijaukan pesisir pantai Nurabelen.

Hasilnya ribuan bakau saat ini sudah mereka tanam di sepanjang garis pantai. Sebagai ganjarannya Simon pun memperoleh penghargaan oleh Kapolda NTT pada saat Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2016 lalu di pulau Adonara, Flores Timur.

 

Tanam Bakau Hingga Pinjam Uang ke Bank

Simon berkisah, awalnya keterlibatan mereka berdua dengan bakau dilakukan tidak sengaja. Kejadiannya bermula sekitar saat Simon pulang dari merantau di Malaysia.

Suatu sore dirinya berjalan di pesisir pantai Desa Nuri, dia menjumpai kondisi pesisir pantai sudah jauh berubah dibandingkan saat dirinya sebelum merantau dan saat kecil dahulu.

“Saat saya kecil  jarak pesisir pantai masih jauh ke laut dan saat ini sudah menjorok ke darat sejauh sekitar 50 meter. Banyak pohon ketapang dan kelapa yang tumbang, saya mulai berpikir apa yang harus saya tanam hingga akhirnya saya berpikir menanam bakau,” tuturnya.

Berbekal uang hasil menjual hasil kebun seperti kelapa, kakao, mente, kacang tanah  dan kemiri, suami isteri ini lalu mulai membeli biji bakau seharga 250 sampai 350 ribu rupiah sekarung dan juga membeli polybag untuk mulai melakukan pembibitan.

Pembibitan mulai mereka lakukan sejak tahun 2015, dan sejak April 2016 penanaman di sepanjang pesisir pantai Nurabelen telah dilakukan sebanyak 5.740 pohon bakau setinggi 30 sampai 35 sentimeter. Sedangkan tujuh ribu bibit lagi disiapkan untuk ditanam sepanjang 1,2 kilometer di pantai Nuri.

Simon Para Puka dan Afra Lusia Riberu bersama Kepala Desa Nuri dan anak muda yang peduli lingkungan. Foto: Ebed de Rosary
Simon Para Puka dan Afra Lusia Riberu bersama Kepala Desa Nuri (dua dari kanan) dan anak muda yang peduli lingkungan. Foto: Ebed de Rosary

Dalam menjalankan aktivitasnya, mereka dibantu oleh sekitar 3-5 orang pekerja sekampungnya, meski tidak dilakukan secara rutin.

“Kami memberi uang 30 ribu rupiah dan 2 kali makan dan minum dalam sehari yang sifatnya insentif,” beber Lusia sang isteri.

“Kalau uangnya habis kami tidak kasih uang dulu buat yang bantu kami, setelah timbang (jual, red) kemiri, kakao dan mente baru kami bayar lagi.“

Anak pertama keduanya pun mendukung dan terkadang membantu biaya makan minum pekerja dan mendukung apa yang dilakukan kedua orang tuanya.

Selama setahun terakhir, keduanya mengaku mengeluarkan dana swadaya hingga 27 juta rupiah yang diperuntukkan untuk membeli bibit, polybag dan memberi insentif bagi para pekerjanya.

Penanaman dan pembibitan yang dilakukan pun, tak urung menguras kocek orang tua dari Theodorus dan Dedaktus ini, bahkan hingga seriusnya upaya yang merekan lakukan, saat kehabisan dana mereka pun tak enggan untuk meminjam uang di bank sebesar 25 juta rupiah.

Namun demikian, hingga saat ini mereka sepakat tidak mau menerima bantuan dari pihak manapun. Bagi mereka, menanam bakau merupakan suatu kebahagiaan, apalagi saat bakau yang ditanam tumbuh subur.

“Kami tidak mau minta bantuan, itu bertolak belakang dengan niat baik kami. Tolong jangan dikatakan kami minta dana kami malu,” tutur Lusia. “Apalagi nanti jadi omongan orang, bahwa upaya kami menanam bakau adalah untuk mencari bantuan.”

Kepada siapapun yang meminta bibit, Simon dan Lusia pun sepakat membagikannya secara gratis asalkan bibit ditanam kembali di pesisir pantai dan bukan untuk diperjualbelikan.

 

Bekerja Tanpa Pamrih

Meski bekerja tanpa pamrih, tak urung apa yang dilakukan oleh Simon dan Lusia kerap mendapat cibiran masyarakat. Warga sering menganggap apa yang mereka lakukan sia-sia.

“Bapak  yang paling sedih saat kami tanam ada orang yang melintas dan mengatakan buat apa kerja tapi tidak ada hasilnya,” jelas Lusia.

Bagi keduanya peristiwa yang menyedihkan adalah jika menjumpai jejak telapak kaki di pantai dan mendapatkan anakan bakau mereka dirusak orang.

Demikian pula, jika tiba-tiba mereka kehabisan beras dan uang sehingga terpaksa suami isteri ini harus cari pinjaman.

“Tidak apa-apa sebab apa yang kami lakukan dengan kerja amal ini hanya Tuhan dan leluhur kami yang mengetahuinya. Mudah-mudahan Tuhan dan leluhur merestui kami dan memberi kesehatan sebab meski dengan swadaya sendiri kami ingin tetap berupaya jatuh bangun sehingga bisa terus tanam dari tahun 2016 sampai 2020 nanti, “ ungkap Simon.

Anakan bakau yang ditanam Simon dan isterinya yang sudah tumbuh di pesisir pantai desa Nuri. Foto: Ebed de Rosary
Anakan bakau yang ditanam Simon dan isterinya yang sudah tumbuh di pesisir pantai desa Nuri. Foto: Ebed de Rosary

Untuk lebih efektif Simon berencana bekerja sama dengan pemerintah desa agar bisa mengajak masyarakat lain, termasuk anak sekolah, untuk menanam bakau di sekeliling lingkungan mereka.

Nikolaus Parawolo Kewuta, Kepala Desa Nuri pun menyambut baik. Dia menjelaskan pihaknya akan menganggarkan dana penanaman bakau dalam perencanaan di RKPDes dan APBDes 2017.

Selain itu, pemerintah desa pun berniat untuk membuat Perdes tentang pengamanan lingkungan sehingga masyarakat tidak merusak hutan bakau dan bakau yang ditanam.

“Kita harus mencintai lingkungan, kami juga ajukan ke BLH Flores Timur dan mendapat bantuan penanaman bakau, saya mendukung pak Simon dengan kegiatan yang dilakukan untuk penyelamatan lingkungan,” pungkas Niko.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,