Indonesia harus bangga dengan anak muda yang terjun pada bidang pertanian, dunia yang perlahan makin ditinggalkan. Lihat saja I Gede Artha Sudiarsana, pemuda asal Karangasem, yang menjadi juara tiga pada pemilihan Duta Petani Muda Indonesia 2016.
Modalnya adalah pertanian jamur. Ia mendirikan Gede Jamur – usaha pertanian jamur dengan memanfaatkan limbah serbuk kayu dari pengrajin di sekeliling tempat tinggalnya. Bubuk kayu dimanfaatkan sebagai media tanam jamur. “Memang sejak awal saya tertarik bertani, saya lihat potensi di desa saya. Petaninya tua-tua, anak muda pergi ke kota, lahan jadi tidak produktif,” ujar Artha usai penganugerahan di Jakarta, Sabtu (19/11).
Artha tinggal di Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali. Berbekal ilmu pertanian yang diperoleh di bangku kuliah, dia memulai usaha di lahan seluas 1,5 hektare. Keterampilan budidaya jamur dipertajamnya di Dinas Pertanian setempat. Modal awal Rp10 juta dari beasiswa saat kuliah yang ia dapat dipakai untuk mengembangkan jamur tiram.
Artha merangkul masyarakat setempat, membentuk Kelompok Tani Pertiwi Mesari. Dia berharap setiap anggota kelompok ini mampu mengembangkan jamur tiram yang lebih baik. Dikarenakan belum banyak pengusaha jamur tiram di wilayahnya, sedikit demi sedikit Artha memasok kebutuhan tersebut di Karangasem.
“Belum banyak. Hanya di pasar dan rumah makan. Pasokan kami baru 15 kilogram per hari,” ujarnya merendah.
Selain jamur tiram, Artha juga berencana mengembangkan budidaya jamur lain dengan melibatkan kelompok tani yang dibinanya. Ini dikarenakan, peluang pasar jamur dengan berbagai macam jenis nya terbuka lebar. “Usaha ini diharapkan dapat menyejahterakan para petani,” paparnya.
Juragan ternak dari Manggarai
Tak hanya Artha, ada pula pemuda asal Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Dengan keuletannya, Yosep Leribun memantapkan diri menjadi petani dan pengusaha ternak. Dia adalah salah satu finalis dari Duta Petani Muda Indonesia 2016. Pernah berprofesi sebagai jurnalis media nasional di Jakarta, rupanya Yosep tak betah berkarir di bidang ini. Dia memutuskan pulang kampung, merintis bisnis peternakan.
Yosep menggagas dan merintis Kampung Ternak di daerahnya pada 2012. Dia membangun sentra peternakan mulai dari ayam broiler, babi, juga ikan lele. “Saya merintis berbekal uang pribadi dan teman-teman muda dengan sistem bagi modal,” ujarnya. Sistem bagi modal ini, kata dia, selain untuk lebih meringankan modal juga untuk meningkatkan tanggung jawab sang pemilik uang.
Yosep pun menggandeng para peternak di desa dan sekitarnya guna memenuhi kebutuhan permintaan pasar yang makin meningkat. Saat ini, tak kurang 30 peternakan bergabung, menjadi mitra usahanya. Di setiap desa, paling sedikit ada dua mitra. “Biasanya, saya mencari yang punya warung, karena mereka tidak akan pergi-pergi. Menunggu dagangannya,” ujarnya. Dengan begitu, jika membutuhkan pasokan, dengan mudah ia mendapatkan kebutuhan tersebut.
Yoseph membuat sentra peternakan beragam ternak karena dia melihat peluang yang cukup besar. Tak hanya kebutuhan ayam, tapi juga babi dan ikan lele di daerahnya. Selain itu, ia juga memanfaatkan kotoran ternak tersebut untuk dijadikan sesuatu yang lebih berguna. “Rencananya, akan dikembangkan menjadi biogas yang pastinya bermanfaat untuk peternak dan masyarakat desa sekitar,” ujarnya.
Sebagaimana dikutip dari Duta Petani Muda.org, dua bulan sejak pendaftaran Pemilihan Duta Petani Muda 2016 dibuka, 11 Agustus 2016, hingga ditutup pada 11 Oktober 2016, panitia menerima 514 pendaftar. Mereka berasal dari berbagai daerah dengan beragam komoditas. Sekitar 22% (113) dari pendaftar merupakan agripreneur perempuan muda.
10 Finalis Duta Petani Muda 2016 dipilih berdasarkan penilaian umur, persistensi usaha, kemampuan ekspresi diri, motivasi, inovasi, keramahan lingkungan, upaya membuka lapangan kerja, sensitif gender, serta pemanfaatan media sosial. Seleksi dilakukan oleh tiga organisasi penyelenggara yaitu Agriprofocus Indonesia, Oxfam di Indonesia, serta Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP).