Pagi di pertengahan November 2016, udara sejuk menyelimuti sebuah desa bernama Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dari kejauhan sayup terdengar suara orangutan Sumatera, bersahutan.
Sanda gurau relawan tim Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP), terdengar riuh memecah suasana pagi di pinggiran hutan Sibolangit. Mereka tengah merawat orangutan di Stasiun Karantina Orangutan Batu Mbelin, Sibolangit.
Ian Singleton, Direktur SOCP, terlihat melatih anak-anak orangutan Sumatera bisa mencari makan sendiri agar mampu bertahan kala lepas liar.
Dokter hewan senior SOCP, Yenny Saraswati tampak bersama tim medis, tengah memeriksa kesehatan orangutan Sumatera dalam kandang.
Area SOCP dibangun semirip mungkin seperti di alam. Pohon tumbuh hijau berjejeran di sepanjang area, dengan kicauan burung. SOCP memberikan batas kepada siapa saja yang datang, agar tak terlalu dekat ke kandang agar satwa tak stres.
Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), berkala datang ke karantina, ini, untuk melihat kondisi satwa-satwa titipan.
Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut, terlihat berada di karantina. Dia turut melatih orangutan di sana.
Uli, sapaan akrab Hotmauli, tengah melatih anak-anak orangutan bisa mengambil makanan di tempat tertentu, mulai yang mudah terjangkau, sulit hingga sangat sulit. Hal ini perlu dilakukan agar saat dilepas, mereka bisa mencari makan sendiri dan mampu bersaing dengan satwa lain.
Sejak 2001, kata Singleton, mereka menerima 350 lebih orangutan dan banyak dilepasliarkan ke alam. Hampir semua, sitaan dari masyarakat. Saat ini, ada sekitar 25-30 orangutan per tahun dititipkan di SOCP. Orangutan jantan dan betina mati dibunuh perkiraan sampai 100 per tahun.
Sebagian besar satwa ini mati dibunuh. Ada juga diambil hidup, bukan karena orang berburu masuk kawasan hutan, kebanyakan karena pembukaan lahan perkebunan sawit, illegal logging dan kejahatan kehutanan lain yang merusak habitat mereka.
Saat ada pembukaan lahan menjadi perkebunan sawit, hutan hilang, orangutan kemungkinan mati. Sebagian ke rumah penduduk, menjadi peliharaan atau bisa diselamatkan lembaga konservasi.
“Kalau dibilang kasihan orangutan disini, itu sebaliknya. Mereka beruntung bisa bertahan hidup, mereka diselamatkan saat penghancuran habitat untuk pembukaan lahan.”
Dia bilang, lokasi paling banyak orangutan berhasil dievakuasi di Aceh Selatan, Nagan Raya, dan Aceh Tenggara.
Di Aceh Tenggara, katanya, paling banyak karena penghancuran habitat oleh pembukaan lahan dan illegal logging, dalam hutan lindung.
Hasil survei SOCP, orangutan Sumatera hidup tak lebih 14.000. Jika ada yang bilang, cukup banyak, kata Singleton, jelas pandangan salah. Kala membandingkan, 14.000 orangutan Sumatera duduk di kursi stasiun bola Barcelona di Spanyol, memiliki kursi 100.000, seluruh orangutan Sumatera di muka bumi bisa duduk disitu. “Begitu sedikitnya jumlah mereka yang masih hidup.”
Sebelum 2010, penegakan hukum terhadap pemburu orangutan jarang. Mulai 2010, ada dua kasus perdagangan orangutan vonis penjara walau hukuman tergolong rendah.
Pada 2015-2016, ada enam perkara perdagangan orangutan di pengadilan Sumut dan Aceh, dengan penjara hingga tiga tahun lebih, dan denda lumayan tinggi.
“Harus ada kerjasama dengan kepolisian dan penegak hukum lain, termasuk bea dan cukai serta karatina hewan baik pelabuhan maupun di bandara,” kata Uli.
Menurut dia, sejak 2001, setidaknya ada 270 orangutan Sumatera lepas ke alam, 180 rilis di hutan Jambi, dan 80 hutan Jantho, Aceh Besar. Hingga 25 November 2016, ada 50 orangutan Sumatera di Karantina SOCP Batu Mbelin. Ada tujuh sakit, selebihnya bisa dilepas ke alam.