Untuk mempercepat proses pengakuan masyarakat adat di wilayahnya, Bupati Enrekang, Muslimin Bando, menerbitkan Surat Keputusan No 470/Kep/X/2016 tertanggal 31 Oktober 2016. Keberadaan panitia ini merupakan amanah Perda No.1 tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Enrekang.
“Ini adalah bagian dari komitmen Pemda Kabupaten Enrekang agar pengakuan masyarakat adat ini segera direalisasikan. Kita berharap ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain, khususnya di Sulawesi Selatan,” ungkap Kasmin Karumpa, Asisten Bidang Pemerintahan Pemda Enrekang, pada acara Focus Group Discussion, yang dilaksanakan oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, di aula Kantor Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Enrekang, Selasa (22/11/2016).
Dalam SK Bupati ini disebutkan keberadaan PMA yang beranggotakan 23 orang ini diketuai oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Enrekang, wakil ketua terdiri dari Asisten Bidang Pemerintahan dan Ketua AMAN Massenrempulu. Sementara sekretaris dijabat oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD).
Sementara keanggotaan terdiri dari seluruh camat yang ada di Kabupaten Enrekang yang berjumlah 12 orang, Kepala Bagian Hukum, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata, Kepala Dinas Sosial, perwakilan masyarakat adat, budayawan dan akademisi.
Menurut Kasmin, ada enam tugas pokok panitia ini. Pertama, membuat dan menyampaikan surat edaran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait mengenai rencana pelaksanaan identifikasi masyarakat hukum adat dalam proses pengakuan tersebut.
“Tugas kedua adalah menyusun petunjuk-petunjuk teknis dalam melaksanakan idenfikasi, verifikasi dan validitasi masyarakat adat. Lalu ketiga, bersama dengan masyarakat adat setempat melakukan proses identifikasi,” tambahnya.
Tugas keempat, tambah Kasmin, melakukan verifikasi dan validitasi berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan, lalu kelima, memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul sebagai akibat dari pelaksanaan proses-proses tersebut.
“Tugas terakhir adalah memberikan rekomendasi penetapan masyarakat hukum adat kepada bupati.”
Menurut Kasmin, dengan adanya SK ini maka ada kewajiban pemerintah dalam hal penganggaran, namun akan tetap merujuk pada mekanisme yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan.
“Kalau merujuk pada Permendagri, maka penganggarannya bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui bantuan sosial dan hibah. Hanya saja karena dana bantuan sosial itu biasanya kecil, maka sebaiknya digunakan dana hibah. Namun ini harus gerak cepat memasukkan proposalnya agar bisa diakomodir dalam APBD 2017,” tambahnya.
Kasmin berharap dalam pelaksanaannya nanti semua pihak bisa bekerja secara kompak tidak sendiri-sendiri.
“Jika kemudian ada hambatan maka segera dikonsultasikan kepada Pemda untuk mencari solusi terbaik agar proses identifikasi dan verifikasi ini bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kita harus disatukan pada persepsi yang sama, jangan jalan sendiri-sendiri. Harus ada kordinasi yang baik dengan instansi terkait sesuai dengan SK Bupati tersebut.”
Betty Tiominiar, Manajer Komunikasi dan Outreach BRWA, menjelaskan alur pelaksanaan identifikasi, verifikasi dan validitasi ini, yang tak jauh beda dengan proses yang ada di BRWA.
“Proses identifikasi nantinya dilakukan oleh camat dan masyarakat adat yang kemudian diverifikasi dan divaliditasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat. Panitia ini akan meminta tangapan dari masyarakat dalam waktu 30 hari, sebelum akhirnya mengeluarkan rekomendasi kepada bupati untuk disahkan.”
Menurut Betty, jika merujuk pada Permendagri No.52 tahun 2014 dan Perda Enrekang No.1 tahun 2016, maka sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebuah komunitas untuk mendapatkan pengakuan antara lain memiliki informasi terkait asal usul atau sejarah komunitas, wilayah adat, hukum adat, kelembagaan adat serta harta dan kakayaan masyarakat adat.
“Informasi terkait kelima hal inilah yang harus dikumpulkan dan didokumentasikan sebagai syarat dari pengakuan,” tambahnya.
Persiapan Verifikasi Wilayah Adat
Selain pelaksanaan FGD sebagai upaya penguatan bagi Panitia Masyarakat Hukum Adat, BRWA juga menyelenggarakan kegiatan persiapan verifikasi wilayah adat terhadap sejumlah komunitas adat di Kabupaten Enrekang, Rabu (23/11/2016).
“Meski tidak terkait langsung namun ini adalah dukungan terhadap Perda Masyarakat Adat. Ada enam komunitas yang wilayahnya akan diverifikasi, yaitu Baringin, Tangsa, Orong, Uru, Patongloan dan Marena,” ungkap Syafruddin, Kordinator Unit Kegiatan Percepatan Pemetaan Partisipatif (UKP3) AMAN Sulsel.
Proses verifikasi ini rencananya akan dilaksanakan pada 28 November – 8 Desember 2016 mendatang melalui serangkaian wawancara, diskusi dengan pemangku adat dan pengambilan titik kordinat di wilayah adat yang akan diverifikasi.
“Kita berharap wilayah keenam komunitas adat ini sudah bisa diverifikasi sebelum tahun 2016 ini berakhir. Artinya dalam setahun ini ada 8 wilayah adat di Sulsel yang telah diverifikasi, termasuk dua komunitas adat lainnya di Kabupaten Sinjai.”
Penyerahan Data Wilayah Adat
Menurut Betty, hingga November 2016 ini secara nasional terdapat 1.059 data wilayah adat yang telah tercatat di BRWA. Sebanyak 927 wilayah adat berstatus dalam proses registrasi. Lalu, ada 108 data wilayah adat yang berstatus teregistrasi dan siap untuk masuk tahap verifikasi. Sementara yang sudah diverifikasi sebanyak 22 wilayah adat dan hanya 2 wilayah berstatus tersertifikasi.
“Dua wilayah adat yang sudah disertifikasi ini adalah Kasepuhan Cibarani dan Kasepuhan Pasireurih dari Kabupaten Lebak, Banten, pada akhir 2015 lalu,” tambahnya.
Betty menambahkan, bahwa pada 9 November 2016 lalu BRWA telah menyerahkan data wilayah adat anggota AMAN yang sudah ditinjau, yang diserahkan oleh Kepala BRWA, Kasmita Widodo kepada Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan.
“Ada 487 data anggota AMAN yang tercatat di BRWA dikembalikan ke AMAN untuk dilengkapi. Data ini terdiri dari data spasial atau peta dan data sosial yang berisi informasi sejarah keberadaan masyarakat, batas wilayah adat, aturan adat dan kelembagaan adat yang dimiliki.”
Selain mengembalikan data wilayah yang sudah ditinjau, BRWA juga menyerahkan Piagam Registrasi BRWA untuk 17 anggota AMAN yang sudah mengisi Form F-021 dengan cukup lengkap.
“Selain 17 wilayah adat tersebut masih ada 18 data wilayah dari komunitas di luar anggota AMAN yang mendapatkan Piagam Registrasi dari BRWA.”
Piagam Registrasi sendiri merupakan bukti bahwa informasi wilayah adat yang diserahkan oleh komunitas adat kepada BRWA sudah diperiksa dan dianggap cukup lengkap hingga bisa segera diverifikasi untuk kemudian disertifikasi.
Menurut Betty, BRWA terus berupaya melakukan kordinasi dan kerjasama dengan pemerintah terkait registrasi wilayah adat ini. Pada Maret 2016 lalu misalnya, BRWA bersama AMAN dan JKPP menyerahkan informasi wilayah adat kepada pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Badan Restorasi Gambut.
“Ada 665 data wilayah adat seluas 7,4 juta hektare diserahkan kepada pemerintah pada kesempatan itu. Diharapkan data ini bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan masyarakat adat di Indonesia,” ujarnya.